“Perasaanku saja, atau di luar memang gila,” ujar Arthur Fleck saat diinterogasi
Lihatlah, kota Gotham menjadi porak-poranda atas ulahnya.
Tawa berkepanjangannya menandakan beberapa kegilaan yang ia lalui. Pembunuhan, penembakan, sampai bikin gaduh kota dirasa cukup untuk mengobati masa lalunya yang kelam. Pria berperawakan kurus dengan sejuta mimpi yang besar ini, telah merebut wacana publik, tentang bagaimana orang jahat itu jadi jahat.
Siapa pun pasti butuh planning yang tepat dalam target yang diinginkan menjadi tercapai. Strategi itu juga tidak mungkin dimiliki orang gila yang tak tau jati dirinya, bagaimana dengan Joker? Ia tidak begitu. Kehidupannya tanpa rencana, tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, mengacaukan apapun sesuka hatinya, tidak sadar atas dirinya.
Dalam tulisan ini saya tidak akan berbicara banyak hal terkait definisi orang jahat dan orang baik, atau menggugat pernyataan Fiersa Besari terkait cuitannya yang kontroversial. Semua dirasa menjadi hal yang mainstream, tidak ada pembahasan lain selain definisi orang jahat dan orang baik. Serta tidak terbangunnya forum lain yang bisa kita samakan dalam perspektif manapun. Fenomena itu seperti diglorifikasi tanpa henti, semua tersebar dan masif di sosial media sebagai forum publik.
Sebenarnya, saya mampu menjawab itu. Tanpa ikut campur urusan mereka, tapi memang harus ikut campur sedikit, bahwa sesungguhnya “Orang baik itu saling mendukung untuk menciptakan kebaikan lainnya”. Rais pun sudah menjelaskan hal itu sebelumnya dalam cita-cita revolusionernya.
Namun, ada hal yang luput dalam pembicaraan kita selain ‘mental illness’ yang diderita oleh Joker. Tentang bagaimana ‘kasih sayang sejak kecil’ dan ‘hak istimewa sosial’ (privilege) itulah masalah dari film ini. Pengalaman yang membuat kita menjadi seperti ini. Bukannya itu sudah dijelaskan dalam mata kuliah Psikologi – Sigmun Freud? ‘Kita hari ini terbentuk dari masa lalu’. Atau bisa saya contohkan pada setiap penyintas di seluruh dunia. Jika penindasan yang dialami manusia, baik itu sejak semasa kecil maupun kemarin, akan memengaruhi tekanan mental manusia sampai tingkat emosional yang sulit dikendalikan.
Mari lihat Joker versi The Dark Knight (2008), Joker yang begitu menyayangi sang istri akibat kematiannya, kembali mendapatkan cobaan yang datang bertubi. Masuk ke dalam cairan kimia berbahaya yang menjadikan wajahnya hancur, lalu ditolak dalam dunia kerja hanya karena seorang badut.
Saat adegan di penjara bersama Batman, Joker berhasil membuat Batman emosi dan memukulnya bertubi-tubi. Katanya sembari menirukan ayahnya, “Ayah merebut pisau dan datang kepadaku, lalu berkata ‘why so serious?’ lalu dia menusukan pisau padaku dan berkata kembali ‘put on your happy face!’.”
Joker jelas adalah produk masa lalu, ia menyaksikan sendiri ibunya disiksa terus menerus. Joker yang lugu, adalah hasil dari bobroknya suatu kota yang tidak mampu menyerap manusia, dan menjadikannya tempat yang aman. Ia hanya seorang komedian yang punya impian tinggi, hanya sebatas impian, sebelum akhirnya ia tak punya mimpi lagi akan hidupnya.
Bagaimana hak istimewa seorang Joker? Pastinya suram.
Beranjak ke versi Todd Philips (Joker: 2019), jelas dalam narasi yang diangkat membuat versi baru yang berbeda dari tokoh-tokoh di film Joker kebanyakan. Apalagi ini adalah musuh bubuyutan Batman. Dengan dibalut kegelapan dan kehidupan yang kelam seorang Arthur Fleck, film ini dikatakan berhasil mengingatkan kita jika setiap manusia mempunyai proses kehidupan serupa nanti. Kita jadi tau akan masalah yang dialami oleh para penyintas, terlebih orang yang mendapatkan penyakit mental di hidupnya, perlu kita genggam bersama.
Todd Philips berhasil membuat presepsi yang berbeda bagi para penonton. Yang pertama, Joker bertindak benar atas apa yang ia lakukan. Thomas Wayne (ayah Batman), pantas mendapatkan ganjaran kematian.
Kedua, Joker tetap salah. Karena penyakit yang dialaminya adalah turunan dari ibunya, Penny Fleck. Dimana sang ibu mengalami penyakit narsistik yang luar biasa, yang menjadikan Arthur sebagai korban, dan hampir seluruh hidupnya mencuci otak Arthur.
Di dalam konteks masyarakat kita, kejahatan bukan turun dari langit begitu saja. Ada ketidakpastian ekonomi, kebencian, dan relasi sosial yang buruk. Ini pun digambarkan jelas dalam teori kekerasan menurut N.J. Smelser, kemiskinan dan ketidakadilan melahirkan kekerasan yang terus terjadi, membuat si miskin yang iri karena hidup begini-begini saja, namun tetap bekerja sampai paruh waktu sampai lupa rasanya bercinta, membuat mereka geram dan melakukan tindakan demonstrasi anarkis di setiap sudut kota.
“Killing Rich People, Killing Rich People, Killing Rich People”
Bagi kita, itu multidimensi dan tidak cukup untuk memperdebatkannya secara sederhana. Tapi bagi Joker dalam film itu, ‘Kebeneran itu substansial, sama seperti komedi’. Meski bukan kebenaran secara utuh, Joker adalah representasi dari kita semua, dari beberapa RKUHP dan RUU Kolonial lainnya yang membuat kita turun ke jalan. Saya pikir, inilah lelucon sebeneranya dari negara.
Sebagai pesan moral dari saya, “Orang baik itu saling mendukung untuk menciptakan kebaikan lainnya”. Selama ini agaknya kita tak pernah ada, bahkan untuk sekadar menyempatkan diri menengok ke dalam kehidupan penyintas. Film Joker telah mengubah stigma. Depresi, delusi, penyakit mental apapun, harus diobati dengan rasa empati. Setelah itu kita harus mengerti apa yang dilalui orang lain dengan sudut pandang yang tidak kita miliki sebelumnya. Dengan itu kita dapat perspektif yang utuh, tentang keragaman dunia dan kesetaraan di dalam setiap manusia.
Penyuting: Rizka Ayu Kartini
satu Respon
Bagus banget artikelnya.