Catatan ini hanya sekedar isu buat ngopi-ngopi receh aja si
Saya kira, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Kota Malang– kalo mau nyebut Dewan Kota (DK), ya monggo – hampir semua mengetahui tentang liputan. “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”. Dua tahun lalu, (06/10/21), catatan ini terbit dari tangan Eko Rusdianto, seorang wartawan asal Maros, Sulawesi. Liputan ini memiliki jangkauan besar bukan? Hampir setiap laman media melakukan posting ulang (repost), untuk menaikkan berita ini ke wilayah publik yang lebih luas. Saya kira semua tahu, sih.
Apa yang tak tampak dari liputan ini adalah perjalanan menarik Eko Rusdianto. Mas Eko ini lahir di Kabupaten Luwu, tempat dia meliput kasus di atas. Mas Eko juga merupakan alumni Jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Fajar. Menurut catatan Andreas Harsono, peranan Eko Rusdianto dalam dunia jurnalistik, mungkin patut dipertimbangkan. Eko bertemu dengan Andreas di kelas penulisan Yayasan Pantau pada tahun 2008. Andreas mengikuti karya-karya yang dihasilkan oleh Eko. Khususnya karya Eko yang terbit di Mongabay, karya-karya yang lekat dengan tema perampasan tanah dan perusakan lingkungan hidup di Sulawesi.
Sepertinya terkadang memang begitu, bukan. Di dunia yang ini, karya yang bagus tak menandakan pengrajinnya bernasib baik, sebagus karyanya. Dalam dunia tulis menulis, misalnya, Madilog Tan Malaka, yang patut diperhitungkan mutu dan dampaknya, tidak menjamin bahwa Tan, harus masuk sel karena dianggap membelot. Atau, karya-karya belakangan, yang menurut saya mutu dan kualitasnya baik adalah karya Bima Satria Putra dengan judul, Perang yang Tidak Akan Kita Menangkan: Anarkisme & Sindikalisme dalam Pergerakan Kolonial hingga Revolusi Indonesia (1908-1948), tidak menjamin Bima diperhitungkan dalam iklim Pengetahuan Sejarah Indonesia. Dari LPM Kota Malang, mungkin satu penulis lain, yang bagi saya karya jurnalistiknya patut dipertimbangkan adalah karya Wahyu Agung, dengan judul Bertahan Dari Kekerasan Negara (2020).
Begitupun Eko. Bagi saya, karya Eko dan ketekunannya dalam dunia Jurnalistik patut dipertimbangkan. Bagi Eko, dunia Jurnalistik adalah kasih cintanya, barangkali setelah keluarganya. Rasa sayang Eko dalam dunia Jurnalistik, melahirkan buku Titik Krisis di Sulawesi: narasi jurnalisme atas kehancuran ruang dan sumber daya alam (2020), catatan ini barangkali, seperti “Anak-anak spiritualnya”. Meskipun Nasib Eko memang berbeda dengan Bima, Tan Malaka, dan atau Wahyu. Eko menganggap dirinya adalah Jurnalis Profesional. Sebuah pekerjaan yang digerakkan kasih sayang.
Proses ketekunan Eko dalam dunia Jurnalistik meninggalkan jejak. Jejak yang perlu diteliti dalam dunia jurnalistik, serta tantangannya kini. Tantangan sebagai buruh. Buruh tulis di tengah tantangan kapitalisasi media yang semakin jor-joran. Kapitalisasi yang sering menimbulkan dilema setiap jurnalis. Tuntutan menghasilkan berita yang banyak, sekaligus bermutu baik. Dua hal yang benar-benar kontradiktif. Sekalipun mampu, ada banyak pengorbanan yang diperlukan oleh seorang jurnalis. Saya kira, semua orang yang mendalami jurnalistik dan terjun ke dalam dunianya, akan mengalami gejala ini.
Saya mencoba mempertimbangkan perjalanan Eko Rusdiyanto. Eko pada tahun 2021 menulis kisahnya dalam laman Remotivi, “Koresponden dan Penulis Lepas, Sama-sama Cekaknya”. Dalam catatan tersebut, Eko merasa resah. Kecintaannya terhadap dunia jurnalistik, ketekunannya menggodok informasi, mempertimbangkan kode etik, dan pertimbangan lainnya, tidak seimbang dengan hasil yang diperolehnya. Satu bulan, ia hanya bisa memperoleh 500 – 1,5 Juta rupiah. Informasi yang baik, dibayar dengan harga yang murah. Tenaga yang besar, dibayar dengan upah kurang layak. Kendati Eko tetap memutuskan untuk tetap tekun, dan menganggap apa yang dilakukannya adalah bagian dari ibadah.
Kasus Eko hanya satu dari sekian banyak jurnalis yang mengalami hal serupa, barangkali. Tentu dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud sedikitpun untuk bicara banyak tentang semua keresahan jurnalis. Saya masih belajar, masih bocil, tetapi saya ingin mencoba berpendapat. Barangkali ini menjadi subjektivitas belaka, tetapi semoga sampai catatan ini terbit, ada diskursus yang baik setelahnya. Diskursus kembali tentang LPM, atau lebih jauh mungkin tentang Perhimpunannya (red. PPMI).
Pengalaman saya di LPM, selama kurang lebih 3 tahun, menimbulkan pertanyaan yang sampai sekarang belum bisa dijawab oleh saya sendiri. Hanya sebatas inikah, kemampuan saya melakukan eksplorasi lebih di lembaga ini? Inikah batasan Pers Mahasiswa, khusus yang berada di Kota Malang, melakukan eksplorasi ruang pembelajaran lebih jauh? Kemampuan dan keterbatasan yang dimaksud adaah ruang-ruang belajar untuk mengembangkan belajar tulis-menulis dalam koridor jurnalistik. Mulai dari teknik penggalian data sampai dengan teknik menulis, misalnya.
Tentu terlalu naif bila terus menerus menyalahkan keadaan. Menyalahkan kondisi kampus, LPM atau bahkan PPMI sekalipun. Saya tak berharap masalah ini terus berkutat dalam lingkaran setan itu. Hanya saja, menjelang akhir masa studi saya di kampus dan semoga lulus hehe, saya ingin menawarkan satu diskursus obrolan di lingkup LPM. Tentang tujuan dan wadah LPM untuk awak-awaknya setelah lepas dari LPM, atau setelah lulus dari kampusnya masing-masing. Semoga ingatan saya tak salah, Wahyu pernah berkata kepada saya, bahwa nafas Persma terlalu pendek untuk menjadi wadah yang ideal.
Tentang tujuan, agaknya tiap-tiap LPM, atau individu yang sedang belajar di Lembaga ini, perlu merefleksikan kembali, tujuan yang mungkin dicapai dan tidak. Tentang yang jangka pendek dan jangka panjang. Dengan penuh rasa malu saya menulis tulisan ini, tentang tujuan, saya pernah berkata, bahwa orang-orang yang memutuskan belajar di LPM, memiliki orientasi yang beragam. Ada yang hanya sekedar ikut temannya, ada juga yang kadung nyemplung, bahkan ada yang sudah bermimpi menjadi jurnalis top macam Najwa Shihab – untuk seperti kasus Najwa ini saya pernah menemukan di LPM saya . Bagaimana menimbang beragam macam orientasi ini, untuk menciptakan iklim belajar yang sehat?.
Diskursus ini yang saya tawarkan. Perluasan paradigma tentang Pers Mahasiswa itu sendiri. Bila dalam forum-forum diklat dasar jurnalistik, penjelasan tentang Pers Mahasiwa berkutat seputar sejarah Persma, dan biasanya cenderung heroik – saya gak menolak, tentang heroisme ini, sumpah. Tetapi mari perluas, tentang paradigma siapa Persma itu sendiri. Persma, secara historis memang patut dipertimbangkan sebagai identitas khusus dalam narasi sejarah. Sayang jika hanya berkaca pada masa lalu tanpa mengkontekstualisasikan sistem sosial pada hari ini.
Dalam keyakinan saya yang paling dalam saya percaya dan sungguh yakin bahwa mahasiswa adalah buruh. Setidaknya penegasan itu saya imani, sejak ada perubahan Paradigma Kemendikbud terhadap Perguruan Tinggi. Implikasinya pada kehadiran program Merdeka Belajar, misalnya. Sudah jatuh ketimpah tangga, nasib mahasiswa kini. Dituntut bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin tinggi, ruang akademik semakin sempit, kampus gak beda jauh sama korporat, dan mahasiswa diserap habis-habisan baik dari kekayaan material (UKT) sampe tenaga kerjanya (produk omong kosong jurnal, sampe jadi anak magang perusahaan yang ongkos pulang perginya ditanggung sendiri). Kampus hegemonik, yang menutup kesadaran mahasiswa tentu memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas Persma. Jauh lebih halus dan berdampak dibanding kebijakan NKK/BKK Orde Baru.
Mahasiswa dipaksa manut. Kalo gak manut kamu gak lulus matkul. Kalo gak lulus matkul kamu telat kuliah. Kalo telat kuliah kamu bayar UKT. Kalo kamu tetep bayar UKT kamu ga sayang ortu. Faklah! Masalah selanjutnya adalah, bagaimana mempertimbangkan masalah ini dan menerjemahkannya dalam ruang belajar kita, LPM kita masing-masing. Ini tawaran saya, sadarlah jika kita semua, mahasiswa, begitupun Persma, tidak lain adalah buruh. Buruh yang perlu dialog terhadap struktur dominan di atas kita, agar dapat mencari jalan keluar. Mencari celah. Agar kita dapat belajar kembali pelan-pelan.
Saat ruang belajar sudah mampu ditemukan formulanya. Mungkin diskusi selanjutnya adalah, kita, buruh, ini perlu mencari pemahaman tentang dunia yang akan kita hadapi. Maksudnya bila awak Persma ini kelak memiliki keinginan untuk menjadi jurnalis. Bagaimana membaca dunia digital, yang konsentrasi keuntungannya tidak cukup untuk membayar tenaga jurnalis secara memadai. Diskursus ini kiranya perlu hadir dalam dunia Pers Mahasiswa. Sekedar diskursus saja, obrolan ringan di warung kopi. Tak harus sampai rancangan membuat media inklusif, egaliter dan kooperatif, sebagaimana impian buruh pada umumnya. Memulai untuk belajar berserikat, bekerja sama sebagai kelas pekerja, bukan hanya sekedar identitas historis Persma itu sendiri.
Penulis/Kontributor : Ajmal Fajar Sidiq
Editor : Delta Nishfu