*Fajar Dwi Ariffandhi
Diskusi sudah menjadi kegiatan wajib bagi orang-orang yang digolongkan sebagai kaum intelek atau cendekia, yaitu kaum terpelajar yang menjunjung tinggi daya akal budi. Apalagi dalam ranah akademis, ruang diskusi merupakan tempat pertarungan ide. Berbenturnya argumen-argumen yang bahkan disampaikan dengan nada tinggi menjadi keindahan tersendiri dalam proses pencarian jawaban atas sebuah problema. Budaya diskusi terus ada karena keterbukaannya dalam proses pencarian sesuatu berdasarkan ilmu.
Akan tetapi, saat ini forum-forum diskusi tidak jarang dibubarkan secara paksa atau langkah yang lebih sopan: diskusi diminta supaya untuk ditunda entah sampai kapan. Memang tidak semua diskusi dilarang. Sejauh pengamatan penulis, forum diskusi yang seringkali mengalami tekanan adalah forum diskusi yang tema pembahasannya sebetulnya cenderung menimbulkan sikap skeptis. Semisal isu komunisme; sebagai negara yang mempunyai sejarah kelam dalam tragedi tahun 1965 dan doktrin paranoid terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) selama lebih dari 30 tahun kejayaan rezim Orde Baru, pembahasan isu komunisme akan selalu menimbulkan konfrontasi. Begitu pula diskusi LGBT, atau diskusi lain yang dianggap tabu oleh banyak kalangan, pasti akan menimbulkan dua reaksi berlawanan yaitu skeptis dan sinis.
“Saya ragu ini benar. Saya akan coba mencari tahu.” Inilah sikap skeptis. Sebagai manusia yang dikaruniai akal, tentu selalu memiliki hasrat ingin tahu. Dan hasrat ingin tahu ini dimulai dari sikap skeptis. Sikap skeptis adalah modal awal untuk tidak menjustifikasi suatu hal yang belum kita ketahui. Sedangkan lawan dari skeptis adalah sinis.
Seorang penulis dan kritikus sosial, H.L. Mencken mengatakan orang sinis itu seperti orang yang ketika mencium bau bunga, justru matanya melihat sekelilingnya mencari peti. “A cynic is a man who, when he smells flowers, looks around for a coffin.” Yang terjadi pada orang yang bersikap sinis adalah keyakinan diri sebagai yang paling benar. Sehingga sedari awal, ketika ada hal baru baginya dan bertentangan dengan keyakinannya, seketika itu juga timbul penolakan dari dalam diri. Vertan Greorian dari Brown University mengatakan bahwa sikap sinis adalah kegagalan manusia yang paling korosif karena menyebar kecurigaan dan ketidakpercayaan, mengecilkan arti harapan dan merendahkan nilai idealisme.
Penyakit sinisme inilah yang merusak dan ruh intelektual dalam budaya diskusi. Ketika penyakit sinis menjangkit masyarakat maka proses penyadaran dalam ilmu pengetahuan pun akan terhambat. Parahnya, penyakit sinis ini seakan ditanam, dan disuburkan oleh sebagian kalangan yang kita anggap kaum cendekia. Pelarangan dan pembubaran diskusi seringkali dilakukan oleh birokrat kampus, aparat keamanan, dan Ormas. Mereka orang berpendidikan yang tentu saja merepresentasikan wajah seorang intelek, namun justru melestarikan budaya sinis.
Terelepas dari segala bidang profesi yang ditekuni: tenaga pengajar, pelajar, pengusaha, atau buruh tani sekalipun, setiap orang bisa dikatakan sebagai cendekia. Tidak ada rumusan bahwa seorang intelek haruslah bergelar professor. Hemat saya, seorang intelek merupakan orang yang mau berpikir dan membaca, terlebih mengamalkannya. Alangkah indahnya, ketika diskusi membahas komunisme, aparat keamanan ataupun ormas keagamaan juga ikut serta duduk bersama mahasiswa dan akademisi, barangkali ada yang perlu diluruskan bisa disampaikan, atau justru mendapat hidayah. Setidaknya budaya diskusi, saling bertukar gagasan dengan tertib, bisa kita lestarikan bersama.
*Pegiat Lembaga Pers Mahasiswa SIAR