Pergolakan Pergerakan Mahasiswa Generasi Intelektual Apatis

Pada era 60 hingga 90-an mahasiswa adalah MAHASISWA yang ditulis dengan huruf kapital. Artinya, peran dan keberadaannya diakui

Dokumentasi/LPM Siar

Pada era 60 hingga 90-an mahasiswa adalah MAHASISWA yang ditulis dengan huruf kapital. Artinya, peran dan keberadaannya diakui oleh masyarakat dan pergerakannya ditakuti pemerintah. Entah, apakah mungkin politik di negeri ini telah menjadi lebih baik dari yang lalu, sehingga indera perasa mahasiswa saat ini pun melemah dan pergerakannya makin santai. Mungkin pula Indonesia telah tumbuh lebih baik, sehingga tak perlulah mahasiswa mempertaruhkan masa depan perkuliahannya untuk berjibaku turun ke jalan memperjuangkan nasib rakyat  atas nama keadilan dan kemiskinan yang makin mencekik leher. Ataukah ini hanya eskpetasi dari para mahasiswa yang matanya ditutup-tutupi oleh kompetisi, prestasi dan piala saja? Yang otaknnya melulu disuapi oleh teori-teori, teknologi terbarukan, dunia masa depan, foto-foto tentang dunia negara tetangga yang tenang, teratur, rapi yang terlihat apik untuk dijalani. Mungkin begitulah birokrasi ingin membentuk mahasiswa melalui sistem pendidikannya.

Di tahun 2005 saat kepemimpinan presiden SBY jilid 1, saya menonton layar televisi. Saya melihat berita tentang demontrasi akibat harga BBM naik. Hampir setiap hari saya disuguhkan berita- berita seperti itu. Saya ingat betul, bapak saya pernah berkomentar, “Nyapo to uwong-uwong iku? Kurang gayan. Kerjo, golek duit gawe mangan anak bojo ae luweh becik, timbang demo ora jelas,” (Kenapa sih orang-orang itu? Kurang kerjaan, apa. Kerja, cari duit untuk anak istri saja lebih baik, dari pada demontrasi tidak jelas). Saat itu, umur saya masih 9 tahun. Masih belia untuk berpikir kenapa ribuan manusia itu rela berdempet-dempetan, berteriak-teriak, baku hantam dengan aparat, hingga merusak fasilitas umum. Seperti bocah pada umumnya, saya telan mentah-mentah omongan Bapak saya, meraka adalah orang-orang tak jelas yang sudi melakukan hal-hal bodoh. Ada janji tidak terucap pada diri saya, kelak jika saya kuliah tidak akan pernah sudi mengenal demontrasi macam itu.

Awal saya memasuki bangku perkulian, janji itu tetap saya pegang. Janji menjadi mahasiswa yang tidak akan pernah turun kejalanan. Hingga pada suatu hari di semester IV, seorang senior mengajak saya ikut aksi peringatan Hari Pers Dunia. Ratusan orang berkumpul di sekitar Gedung Balai kota Malang, berbaju hitam-hitam, membawa poster, spanduk dan properti yang semua isinya menuntut kebebasan pers di Indonesia. Di tengah kerumunan massa penyebab macet jalanan ini. “Apa sih yang dilakukan orang-orang ini? Mereka berorasi, mengkritik, menuntut dan menyalahkan pemerintah. Seolah pemerintah adalah dalang dari semua bencana di Indonesia. Seberapa besar pengorbanan yang telah orang-orang ini berikan untuk Indonesia sehingga mereka berhak menghakimi ?” pikir saya.

Saya pernah tau sebuah kata mutiara, kunci gagal adalah menyenangkan semua orang. Pemerintah tentu tidak bisa menuruti semua tuntutan atau mengikuti semua keinginan rakyatnya. Saat itu, dalam batin saya membela pemerintah atas semua tuduhan dan tuntutan demonstran.

Tapi ada suatu momen dari serangkaian aksi yang menyentuh dan kelak menjadi candu bagi naif seperti saya. Yaitu, momen ketika semua orang serentak mengangkat kepalan tangan kiri sambil menyanyikan lagu berjudul Darah Juang. Saya telaah tiap lirik lagu tersebut, tiba-tiba pedih dan miris mengoyak perasaan, barangkali saya saja yang terlalu melankolis. Saya tau, detik ini, Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

Hari-hari berikutnya, di tiap kesempatan yang bisa saya ikuti, saya turun ke jalan. Meski pula saya hanya ikut-ikutan tanpa mengerti isu apa yang akan didemonstrasikan dan sering juga saya tidak setuju dengan orasi-orasi yang saya pikir terlalu omong kosong. Tidak penting, tujuan saya adalah merasakan momen menyanyikan Darah Juang, berdiri di atas tanah pertiwi yang merana, diterpa panas diguyur hujan dan debu jalanan. Pedih dan miris masih menyentuh. Meski juga tersisa pertanyaan, “Apa sih yang dilakukan orang-orang ini?”

Lalu di waktu dan tempat yang lain, saya mengajak diskusi seorang kawan tentang demonstrasi. Kawan tersebut menjelaskan efek buruk demontrasi yang membuat saya mulai menghitung-hitung berapa kerugian yang disebabkan oleh demontrasi. Kemacetan yang menghabiskan beribu liter bensin, mogok kerja, penurunan harga saham belum jika terjadi ricuh yang merusak fasilitas umum. Demontrasi bisa berdampak negatif untuk perekonomian Indonesia, tentu saja. “Kenapa orang-orang sibuk menuntut kemerdekaan bukan sibuk mengisi kemerdekaan?” kembali muncul pertanyaan dalam benak saya.

Berselangnya waktu saya mulai mencari tahu, apakah ini benar atau salah. Beberapa sumber tentang aksi pergerakan mahasiswa saya lahap untuk memahami mengapa orang-orang suka berdemo. Seperti di era pemerintahan Soekarno, ribuan mahasiswa turun ke jalanan. Untuk yang pertama kali dalam pertumbuhan Indonesia setelah kemerdekaan, pemuda tidak lagi melawan kaum penjajah asing, tapi memusihi Bapaknya sendiri. Harga-harga melambung, tarif angkutan umum naik, sembako mahal, sedang Soekarno sibuk mengoleksi istri-istri baru. belum lagi DPR Gotong Royong melakukan korupsi, sedang Soekarno dibutakan oleh stok wanita-wanita cantik.

MAHASISWA dengan huruf kapital, bukan hanya mahasiswa, berbaur menjadi satu untuk turun ke jalanan memperjuangkan nasib rakyat. Pergerakan gila-gilaan menuntut penurunan harga hingga pencopotan pemerintah, ditulis dalam sejarah kurun waktu 1966-1967.

Selanjutnya, pergerakan di era kepemimpinan Soeharto. Diktator yang mengelu-elukan pembangunan, memanjakan rakyat dengan kemudahan yang ternyata di dapatkan dari hutang Indonesia ke luar negeri. Awal sebelum kekuasaanya sudah diwarnai pembantaian terhadap fanatikan Partai Komunis Indonesia (PKI), kemudian penangkapan tanpa pengadilan puluhan tahun kepada terduga simpatisan PKI, kebebasan mengemukakan pendapat di bungkam, ribuan orang hilang tanpa kabar jika menyuarakan perlawanan, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merajalela selama 32 tahun lamanya.

Sekali lagi atas nama rakyat, MAHASISWA turun ke jalanan tanpa embel-embel nama besar ormas, golongan atau kampus. Matipun disambut dengan tangan terbuka apalagi hanya membekam tahunan merasakan dinginnya tembok penjara, adalah hal biasa. Akhirnya, perjuangan ini membuahkan hasil, di tahun 1998 Soeharto mundur dari jabatan presiden RI juga atas desakan MAHASISWA. Sistem pemerintahan pun diperbarui demi mencegah KKN terulang kembali, salah satunya presiden boleh terpilih maksimal 2 kali dengan periode 5 tahun dalam sekali masa jabatan.

Indonesia sejenak terbebas dari tirani yang bercokol puluhan tahun mengengkrami kursi kekuasaan. Akan tetapi, sudahkan kini perjuangan melawan tirani selesai? Tentu belum. Masa-masa perjuangan harus selalu dikobarkan.

Timbul pertanyaan di benak naif seperti saya ketika membaca kisah-kisah pergerakan mahasiswa tersebut, apakah tirani di Indonesia masih tetap mencengkeram tanpa adanya aksi- aksi demonstrasi? Mungkin, TIDAK. Akankah sistem presiden boleh terpilih maksimal 2 kali dengan periode 5 tahun dalam sekali masa jabatan tanpa adanyanya demontrasi besar-besaran bisa ada? Mungkin, TIDAK. Naif seperti saya berpikir bahwa demo adalah cara terputus asa untuk melawan, tidak terkendali, rusuh dan merusak. Tapi haruslah diakui, mengerakkan ribuan orang untuk mencapai satu tujuan yang sama adalah luar biasa, demontrasilah satu-satunya cara terkuat untuk menggulingkan tirani.

Lalu bagaimana dengan mahasiswa di awal abad ke 20 ini? Masihkan sekuat dan sesangar mahasiswa tahun 60-an, 80-an dan 90-an? Menurut pandangan dari kacamata naif saya, mahasiswa sekarang cenderung menjadi intelektual apatis yang mengejar medali dan prestasi, bercita-cita lulus cepat lalu mendapat pekerjaan mapan. Pemuda dari desa berbondong-bondong ke kota untuk kuliah, kuantitas mahasiswa tentu lebih banyak dari tahun dulu, namun pergerakan seperti itu-itu saja. Berdiskusi, berdebat namun kurang aksi. Organisasi pergerakan mahasiswa digunakan untuk memperebutkan kursi jabatan mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dewan Perwakilan Mahasiswa) namun setelah mendapatkan jabatan mereka mlempem. Kesungguhan dalam mengusung isu-isu di kampus saja kurang, apalagi sepak terjangnya dalam mengusung isu nasional (pengamatan ini masih saya dapatkan di kampus saya saja).

Tidak ada penangan serius terhadap isu di kampus. Seperti isu kenaikan UKT yang terjadi tiap tahun, pembangunan gedung yang tidak kunjung selesai, dosen yang malas mengajar padahal bergaji penuh, pemotongan jatah beasiswa hingga 50% dari tahun sebelumnya, pembatasan kreativitas mahasiswa, pemotongan jatah dana Organisasi Mahasiswa (ORMAWA) hingga isu kecil seperti keamanan dan fasilitas kampus. Seolah pasrah dan saling diam, atau jika ada pergerakan terkotak-kotak dalam kelompok kecil yang mudah ditumbangkan. Akhirnya, isu tersebut terbawa angin lalu basi. Ketetapan birokrasi terlaksana tanpa adanya perlawanan yang nyata.

Dua kali dalam setahun kepengurusan ORMAWA memang diadakan dialog interaktif antara mahasiswa dengan birokrat/dekanat. Akan tetapi, yang namanya dialog berakhir juga sebagai dialog. Mahasiswa boleh menuntut para birokrat/dekanat di dialog tersebut, mempertanyakan kenapa isu A, B, C terjadi. Setelah diberikan penjelasan oleh birokrat/dekanat mereka diam, ada sanggahan namun mudah dipatahkan. Dialog berakhir dengan damai tapi penuh ketidakpuasan di hati para mahasiswa.

Begitu terjadi berulang-ulang, tidak ada aksi yang membara dan kesungguhan perjuangan. Saya pikir, terkadang aksi memang perlu dilakukan. Sedikit brutal demi suatu perubahan bukanlah salah. Hingga suatu jalan keluar yang diinginkan semua pihak tercapai, barulah aksi boleh berhenti.

***

Seperti itulah pergolakan pergerakan mahasiswa di generasi saya (khususnya di kampus saya). Entah apa yang terjadi, apakah perebutan kekuasaan di dalam kandang sendiri yang menjadikan mahasiswa menjadi lemah dan tidak satu suara? Ataukah jiwa perlawan sudah tenggelam oleh arus kemajuan jaman? Mahasiswa yang menyebutkan dirinya anggota golongan organisasi pergerakan mahasiswa atau mahasiswa yang berada dalam organisasi pemerintahan mahasiswa pun tidak mampu menggerakkan mahasiswa lain untuk ikut melakukan perubahan. Jadilah, kami generasi naif, intelektual yang apatis.

Kalau boleh saya memberi saran, saya ingin bilang, “Hei mahasiswa.. sesekali menjadilah brutal, melawan birokrat/dekanat tidaklah salah jika perlawananmu demi kepentingan umat.”

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA