Awal tahun 2020, tepatnya pada bulan Januari, saya berniat untuk menyusuri berbagai “rumah” di Indonesia. Niat hati membuat jurnal perjalanan untuk keperluan pribadi, malah ketemu pandemi. Pada akhirnya, jurnal perjalanan itu berhenti sampai dengan bulan Februari, karena belum tahu harus ngapain lagi selain di rumah sambil nangkring depan laptop buat ngerjain deadline tiap hari.
Saya pergi ke Lampung tepatnya di Pulau Pisang untuk melakukan sociotrip dengan teman-teman dari universitas lain. Saya berangkat dari Malang bersama rekan saya dari universitas sebelah. Kami berangkat menuju Jakarta yang merupakan titik kumpul untuk menuju lokasi sociotrip.
Kami sampai di Stasiun Pasar Senen sekitar pukul 01.56 WIB padahal keberangkatan menuju pelabuhan Merak sekitar pukul 08.00 WIB. Sembari menghabiskan waktu, kami melihat paras ibu kota—yang akan digantikan, yang selama ini banyak menghegemoni di banyak media. Selanjutnya kami menuju Terminal Rambutan.
Selama perjalanan dari Terminal Rambutan ke Pelabuhan Merak, saya tertidur lelap karena lelah oleh perjalanan Malang-Jakarta naik kereta ekonomi, ditambah lagi saya tidak mandi selama dua hari. Namun, hal itu menjadi angin lalu karena selama kami mengarungi lautan di atas kapal untuk menuju Pelabuhan Bakahueni, kami disambut oleh promotor produk minyak gosok yang melancarkan aksinya di depan penumpang kapal. Bisa dibilang seperti stand up comedy karena asli menghibur sekali.
Setelah sampai di Pelabuhan Bakhueni, kami menuju ke Terminal Rajabasa, Lampung sebagai lokasi meeting point kedua. Sembari menunggu bus, kami menyempatkan untuk istirahat dan makan. Pastinya sebagai umat kos, tentu senang bercampur haru disuguhi beraneka makanan, tapi tetap saja saya memilih pecel lele untuk menutup ruang hampa di perut saya.
Tidak lama setelah itu, bus yang akan digunakan menuju lokasi Dermaga Tembakak yang akan membawa kami ke Pulau Pisang pun datang. Teman-teman menyebutnya bus tekotek, karena selama perjalanan kami akan disuguhkan dengan sebuah pengalaman yang mengguncang. Bagaimana tidak jika musik dj remix ala dangdut diputar, roda bus yang khusyuk bergoyang, dan supir yang melaju dengan kecepatan raja hutan terjadi dalam waktu bersamaan. Membutuhkan waktu sekitar 7 sampai dengan 8 jam untuk sampai dilokasi tujuan.
Sesampainya di sana, nampak terlihat pelabuhan kecil dengan deretan perahu nelayan dan ingar bingar rutinitas di dalamnya. Kami menuju ke lokasi utama yaitu Pulau Pisang dengan perahu milik nelayan warga sekitar. Kami menjadi orang yang sangat beruntung karena ombak di lautan Samudra Hindia kala itu sedang ramah, juga cuaca yang sangat cerah.
Menuju ke tempat penginapan, kami disambut oleh penduduk Pulau Pisang. Sapaan dari anak kecil, dan juga raut antusias warga yang ingin tahu tentang maksud kedatangan kami. Saya benar-benar tidak dapat berhenti mengucapkan “keren banget” di dalam hati saya. Tempat ini benar-benar keren, mulai dari pemandangannya, penduduk yang ada di dalamnya, juga budaya yang mengisi keseharian penduduknya.
Saya sempat berpikir bahwa tahun 2020 begitu menyebalkan karena kita dipaksa untuk membatasi aktivitas di luar rumah karena pandemi Covid-19. Namun, saya menyadari bahwa mata dan pikiran kita sering kali tertuju pada hal-hal yang terlalu banyak menghegemoni hingga luput bahwa di antara itu kita telah sampai. Entah itu sampai pada suatu momen di mana kita menjadi bersyukur atas apa yang kita rasakan dan terima ataupun tumbuh seperti tunas walaupun secara perlahan.
Berikut sedikit racikan surga di Indonesia bagian Sabang
Fotografer: Agil/Siar
Penyunting: Mita