Universitas Negeri Malang dengan segala keunikannya, tak pernah gagal membuat banyak kehebohan yang bikin geger sana sini. Contohnya saja sabtu kemarin (4/1) sebuah tulisan capslock dari pylox, “Eksperimen Sistem Takkan Mengubah Nasib Orangtua di Kampung” terpampang nyata di dinding putih Gedung A3. Tidak hanya itu, tulisan “Liburanku Penuh Jelajah Tehnologi. Aku Lupa Rebahan” juga ditemukan di Gedung Fakultas Psikologi.
Jika dilihat-lihat, aksi ini sudah bisa dikatakan sebagai vandalisme. Lalu, apakah ini salah satu bentuk perlawanan mereka yang tidak didengar keluhannya, sehingga kaum rebahan mulai bangkit? Mengingat beberapa hari belakangan, mahasiswa UM harus menghadapi kebijakan yang ngeri-ngeri sedap dan mendadak tanpa adanya sosialisasi yang jelas dan terarah. Seperti kewajiban untuk memproses cuti kuliah bagi mahasiswa yang telat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sistem Informasi Aktivitas Mahasiswa (SIMAWA) yang wajib diisi sebagai persyaratan untuk memprogram Kartu Rancangan Studi (KRS).
Aksi ini menuai pro dan kontra dari mahasiswa UM semenjak story akun instagram @lpm_siar membagikan foto vandalisme di Gedung A3 dan menyediakan kolom pendapat bagi viewersnya, “Ada perbedaannya antara vandalisme dan menyuarakan komplain. Kalau vandalisme seperti ini, jatuhnya malah merugikan pihak-pihak lain” kata @stu.pit yang didukung oleh pernyataan dari @chandralaksana22 yang mengatakan bahwa, “protes itu diperbolehkan asal tahu tempatnya, misalnya musyawarah dengan pihak kampus atau berpendapat di media massa dan saluran komunikasi di kampus yang terlihat lebih beretika daripada hanya sekadar corat-coret di dinding.”
Memang, dilihat dari sisi manapun vandalisme tidak dapat dibenarkan karena perbuatan ini dapat merusak fasilitas-fasilitas umum, yang pada kasus ini, ada di kampus. Namun, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa vandalisme adalah upaya terakhir yang bisa dilakukan agar keluhan, ketidakpuasan, dan kegelisahan didengar oleh birokrat. @kopikodiary misalnya, ia menyampaikan, “secara pribadi, aku menganggap vandalisme memang bukan sesuatu yang dibenarkan, tapi kita juga tidak tahu seberapa usaha yang dia sudah lakukan untuk menyuarakan pendapat secara baik-baik namun tidak digubris dan diabaikan. Mungkin, dia sedang berada pada fase kecewa yang mendalam.” Rasa kecewa tidak melulu karena pasangan yang tiba-tiba cuek, tetapi sambatan-sambatan yang tidak didengar oleh kampus juga bisa mengakibatkan rasa kecewa yang mendalam.
Hal ini mengingatkan saya pada lagu “Coretan Dinding” dari Iwan Fals yang dirilis pada tahun 1992. Lagu tersebut berbunyi, “Sebab coretan dinding adalah pemberontakan, kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah. Cakarnya siap dengan kuku-kuku tajam, matanya menyala mengawasi gerak musuhnya. Musuhnya adalah penindas yang menganggap remeh coretan dinding kota.”
Setelah dilihat, diraba, dan diresapi maknanya, lagu itu seakan jadi peringatan bagi orang-orang yang meremehkan coretan dinding. Coretan di dinding tidak bisa dianggap remeh karena itu adalah salah satu bentuk perlawanan rakyat Indonesia pada zamannya.
Bisa saja, apa yang dilakukan si pembuat coretan di dinding bercermin pada perjuangan rakyat Indonesia dulu kala. Jangan karena keluhan yang tidak didengar, administrasi yang dipersulit, bahkan pelayanan yang setengah hati, membuat lebih banyak mahasiswa berbuat lebih jauh dari sekadar vandalisme ini. Mempertegas boleh, tapi tentu saja dengan mempertimbangkan semua kemungkinan yang ada. Jangan sampai mahasiswa yang memiliki semangat kuliah harus kandas karena kebijakan yang menghalangi.
Penulis : Umniyah Juman Rosyidah
Penyunting : Mita Berliana