Menemukan Peran Keluarga dalam Shazam!

Shazam! adalah film superhero Amerika berdasarkan karakter pada DC Comics dengan judul sama yang rilis 5 April 2019.

Dokumentasi/LPM Siar

Shazam! adalah film superhero Amerika berdasarkan karakter pada DC Comics dengan judul sama yang rilis 5 April 2019. Masih anteng terpajang pada daftar film yang sedang tayang di seluruh bioskop di Indonesia. Sebagai salah satu film superhero, tentu saja cerita yang diusung Shazam! tak jauh dari alur cerita superhero pada umumnya, melawan kejahatan.

Saya bukan pengikut setia DC Universe, tidak begitu tertarik pada film superhero pula. Namun, saat melihat trailer berdurasi kurang lebih 4 menit melintas di lini masa, saya langsung tertarik untuk menonton. Mungkin karena komedi yang disajikan dalam potongan film tersebut mampu memantik gelak tawa saya. Karena kelakuan Shazam sebagai seorang superhero baru yang masih mencari keahlian dan kekuatannya lumayan mengocok perut.

Namun, dalam tulisan kali ini saya tidak akan mengulas film ini secara penuh, melainkan mencoba untuk memahami salah satu pesan moral yang saya dapat setelah menghabiskan 130 menit duduk di kursi bioskop. Dari sana saya belajar untuk memahami dan menemukan peran keluarga.

Shazam Tak Hanya Seorang

Billy batson (14 tahun) berhasil menjadi ahli waris Shazam, seorang penyihir hebat satu-satunya yang tersisa di dunia. Karena usianya yang sudah sangat tua, ia harus segera mewariskan kekuatan hebatnya pada seorang yang berjiwa murni. Bertahun-tahun lamanya Shazam mencari orang yang memenuhi kriteria, namun tak satupun yang dapat melewati ujian yang diberikan.

Mereka semua gagal karena tergoda untuk mengambil The Eye of Envy, salah satu dari Seven Deadly Sins atau Tujuh dosa mematikan (kesombongan, ketamakan, kemalasan, iri hati, hawa nafsu, kemarahan dan kerakusan) yang berperan sebagai monster jahat di film tersebut.

Thaddeus Sivana, seorang anak dari keluarga kaya raya namun selalu diremehkan oleh kakak beserta ayahnya, termasuk seorang yang gagal mewarisi kekuatan sihir Shazam. Hal itu membuatnya terus gigih untuk mencari jalan kembali ke istana Shazam melalui berbagai penelitian yang dihimpunnya dari testimoni orang-orang lain yang sama gagal dengannya.

Kekuatan dan nama Shazam sendiri apabila berdasarkan buku komiknya berasal dari Six Immortal Elders, yaitu Solomon (kebijaksanaan), Hercules (kekuatan), Atlas (stamina), Zeus (kekuasaan), Achilles (keberanian), dan Mercury (kecepatan) yang kemudian menjadi akronim nama Shazam.

Kekuatan besar dan terhebat itupun berhasil didapatkan Billy karena kebaikan hatinya yang rela mengorbankan diri untuk membantu temannya yang tertindas, Freddy. Freddy adalah salah satu anak yang tinggal di rumah keluarga Vasquez, secara fisik ia tidak sempurna karena harus menggunakan kruk untuk berjalan.

Selain itu, terdapat 4 anak lain yang juga hidup bersama Billy di rumah keluarga Vasquez: Darla, Mary, Eugene dan Pedro. Dalam perjalanan Billy sebagai Shazam untuk melawan Sivana yang mendapatkan The Eye of Envy, kelima teman—saudaranya itu ikut berperan serta dengan menjadi Shazam pula.

Karena Shazam bukanlah karakter yang datang hanya untuk satu orang. Siapa saja dapat menjadi Shazam selama orang tersebut memiliki hati dan jiwa yang murni. Tanpa diduga-duga sebelumnya, kelima anak yatim-piatu itu memiliki kelebihan yang sama dengan Billy, menjadi pewaris Shazam.

Memahami Bagaimana Keluarga Berperan

Thaddeus Sivana, pemeran antagonis pada film ini, masa kecilnya digambarkan sebagai sosok yang lemah, bahkan ayah dan kakak laki-lakinya sendiri pun seringkali menganggapnya remeh. Ayahnya seorang pengusaha sukses yang memiliki family resort terkenal yang dalam pengoperasiannya sangat mengutamakan unsur kekeluargaan. Namun ironisnya konsep bisnis tersebut sangat kontras dengan apa yang dilakukan ayahnya padanya. Ia seringkali disalahkan dan dipojokkan, hal itu pun menumbuhkan kebencian dalam dirinya pada keluarganya sendiri.

Dalam satu scene di film tersebut, emosi-emosi yang ditunjukkan Thadd kecil bagai dianggap angin lalu, baik oleh ayah maupun saudara laki-lakinya. Saat Thadd mengekspresikan rasa marah dan kesalnya karena gagal dalam ujian yang “raja penyihir” berikan, ayah dan kakaknya kompak memarahi Thadd dan meremehkan segala penjelasannya.

Pola asuh yang dilakukan oleh Pak Sivana ini menunjukkan pendekatan regulasi emosi yang cenderung menolak-emosi anak (emotion-dismissing). Regulasi emosi adalah aspek penting dalam perkembangan seorang anak. Regulasi emosi berperan penting pada kemampuan anak-anak mengelola tuntutan dan konflik yang dihadapi dalam berinteraksi dengan orang lain nantinya.

Lawan dari emotion-dismissing (ED) adalah emotional-coaching (EC) atau melatih-emosi, keduanya merupakan teori meta-emotions yang dikemukakan oleh John Gottman. Meta-emotions mencakup dua tipe reaksi orang tua dalam menghadapi emosi anak.  Perbedaannya terletak pada cara orang tua mengatasi emosi negatif anak seperti marah, frustasi, sedih dan sebagainya.

Para orang tua EC cenderung menganggap emosi anak sebagai sarana untuk melatih anak dalam melabeli sekaligus mengatasi emosinya secara efektif. Mereka menganggap ungkapan emosi itu sebagai hal yang lumrah, mereka memuji dan tidak menampik apa yang diungkapkan anaknya.

Sebaliknya, para orang tua ED cenderung menolak, mengabaikan, bahkan berusaha merubah emosi tersebut. Hal itu berdampak pada anak. Anak dengan tipe orang tua EC cenderung lebih mudah mengendalikan emosi ketika sedang marah, lebih fokus dan lebih memiliki sedikit masalah.

Bagaimana dengan Rosa dan Victor Vasquez? Apakah mereka tipe orang tua EC? Meskipun peran Rosa dan Victor tak memiliki banyak panggung dalam film, namun setiap kemunculan mereka dapat merepresentasikan orang tua yang mampu memahami emosi anak. Semua itu dapat dilihat dari cara mereka mengatasi Billy yang dilaporkan bolos sekolah maupun cara mereka merespon emosi bahagia Mary saat diterima di kampus impian. Tak lupa pula bagaimana Rosa dapat menyadari perubahan emosi pada Darla yang gemar berbicara menjadi lebih pendiam. Hal itu menunjukkan ciri-ciri orang tua EC sesuai teori Gottman.

Hal menarik yang dapat ditemukan dari pola asuh yang The Vasquez lakukan ada pada saat scene makan. Saat hendak menyantap sajian makanan di meja makan, seluruh anggota keluarga, yang biasanya dipimpin oleh Victor Vasquez, harus melakukan semacam doa bersama.

Mereka bersama-sama menjulurkan tangan kedepan dan menumpuknya dengan tangan satu sama lain kemudian berucap terima kasih untuk sajian makanan dan diakhiri dengan terima kasih untuk keluarga ini. Billy yang selama bertahun-tahun lamanya hidup tanpa keluarga utuh jelas saja menganggap itu sebagai kebiasaan aneh.

Kebiasaan makan bersama dalam keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Orang Amerika tidak biasa untuk melakukan agenda makan bersama keluarga dalam satu meja. Berdasarkan artikel The Atlanthic tentang pentingnya makan bersama, kebiasaan makan bersama tidak biasa dilakukan oleh keluarga kelas menengah dan hanya nampak seperti kebiasaan golongan borjuis. Karena kebanyakan orang tua di Amerika tidak berada di rumah, dan mereka menghabiskan banyak waktu untuk bekerja. Mereka tidak memiliki waktu untuk menyiapkan makanan sehat bagi anaknya. Bahkan beberapa orang tua juga tidak bisa memasak.

Namun, di film ini kita diberi suguhan beberapa kali adegan keluarga Vasquez menghabiskan waktu di meja makan bersama. Padahal mereka keluarga yang masuk golongan kelas menengah. Sehingga hal ini menunjukkan sesuatu hal yang langka dan bernilai positif.

Dalam buku Eating Together yang ditulis oleh Alice Julier, seorang yang aktif menjadi pegiat kajian kuliner. Ia menegaskan bahwa kebiasaan makan bersama dapat dengan mudah membantu orang untuk merubah perspektifnya dalam menyikapi perbedaan baik ras, gender, maupun latar belakang lain serta dapat mengurangi rasa ketidaksetaraan.

Dalam keluarga Vasquez, para anak-anak berasal dari keluarga bahkan ras yang berbeda. Eugene Choi yang seorang Asian-American hingga Darla Dudley yang seorang African-American. Mereka juga memiliki perbedaan watak juga karakterisitik. Namun, mereka dapat bersatu tanpa ada cek-cok sedikitpun dalam satu lingkaran meja makan.

Maka dari itu, tidak mengherankan apabila kemudian banyak yang merekomendasikan film ini untuk ditonton bersama anak-anak atau keluarga. Termasuk saya. Karena Shazam! mampu menghadirkan tak hanya cerita superhero seru dan komedi yang lucu, namun juga pelajaran tentang keluarga yang baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA