Generasi kita semakin kacau, kita tumbuh dalam sebuah entitas yang sulit memahami sejarahnya sendiri. Justru cenderung mengandalkan keajaiban semu, berharap kelaparannya berhenti, meski hanya dalam ruang imajinasi. Kisah kita dikuasai oleh segelintir orang. Kita diperwayangkan oleh orang kaya sehingga kita semakin tak kenal diri kita sendiri.
Sebuah simulasi kapitalisme memperdaya para pelukis semesta. Namun, ada orang-orang yang menyalakan api. Ada pula yang rela mati. Kita semua berdebat di dalam ruang yang kita miliki, berharap perkelahian ini merebut ruang lain. Ya, ruang itu adalah perubahan atas para penguasa. Maka dari itu, jangan hentikan perkelahian ini!
Jiwa greget saya semakin menggebu, berharap adanya dialektika yang terbangun antar tulisan di tubuh Pers Mahasiswa. Kali ini saya akan menanggapi opini yang ditulis oleh Wahyu Agung Prasetyo dalam laman LPM Siar. Judulnya “Jangan Menyuruh Kami Supaya Tidak Menjadi Putch”.
Pertama, saya cukup apresiasi pada siapapun yang ingin menceritakan pengalamannya, apalagi yang tertuang dalam rubrik khusus bertajuk Coretan Seorang Demonstran. Bukan hal yang mudah, apalagi membangun diskursus kecil seperti ini. Kedua, sebenarnya sebuah kritik-oto kritik tulisan adalah sebuah apresiasi bagi karya seseorang; ia tahu jika ia punya kapasitas di situ, lalu ia membangun forum yang lebih serius menurut perspektifnya. Dan terjadilah perspektif yang utuh atas percampuran dua perspektif yang berbeda. Sejatinya, sebuah tulisan adalah hakim atas dirinya dan orang lain. Dewasa ini, terkadang seseorang menjadikan dirinya sebagai pembunuh atas berbagai hal yang ada dalam kehidupan ini. Jadinya, segala kekuatan tidak terbangun secara kolektif, atau dalam hal lain, persepsi memakan kepalanya sendiri.
Berkaitan dengan opini yang ditulis Wahyu, sesungguhnya ada hal yang lebih objektif daripada menyinggung kata ‘Putch’ dan juga ‘Anarkis’ di dalam tulisan Agil. Saya akan menanggapi kalimat dari tulisan Wahyu yaitu; Penulis kurang adil karena tidak menjelaskan apa itu anarkisme dan mengapa mereka melakukan tindakan yang mempunyai kesan “kekerasan”. Pembenaran saya, lagi-lagi perlu bagi kedua penulis ini (Agil dan Wahyu) untuk memahami isi dari buku Tan Malaka Bab 9 ‘Perkakas Revolusi Kita’.
Putch menurut saya bukan sesederhana orang yang menganut ideologi anarkisme. Perlu memisahkan anarkis dengan Perkakas Revolusi-nya Tan Malaka. Menurut hemat saya, anarkis adalah respon terakhir dari gerakan massa. Tan Malaka berujar, “Kelebihan aksi massa daripada putch ialah, bahwa dengan aksi massa perjuangan kita dapat dijaga, sedangkan dengan putch, kita memperlihatkan iri kepada musuh”. Sepertinya, terlalu jauh jika kita menilai gerakan anarkis adalah karena iri terhadap suatu hal. Terlebih mereka, Anarko, (sebutan untuk orang berideologi anarkisme) yang mayoritas lahir dari rahim buruh, hidup di atas kawasan urban, dan menemukan kebebasan atas dirinya lewat musik-musik pemberontakan.
Putch menurut Tan tidak jauh dari gerakan toxic, yang kala itu adalah orang-orang yang mencari panggung dalam gerakan massa dan mencari kesempatan dalam tujuan politiknya. Isi dalam Aksi Massa adalah gerakan penyadaran, gerakan taktis dan terorganisir, sehingga Tan Malaka tidak menginginkan jika ada orang-orang berwatak fasisme atau kecenderungan mendominasi dalam kelompok di dalamnya.
Lalu, teks Tan Malaka berlanjut, “Di dalam aksi massa, pemimpin boleh berjalan sekian jauh menurut kepatutan yang perlu di waktu ini. Ia selamanya dapat menentukan berapa jauh ia boleh mengadakan tuntutan politik dan ekonomi tanpa tidak menanggung kerugian besar (pengorbanan mesti ada dalam tiap-tiap aksi massa). Dan ia tidak kehilangan hubungan dengan massa. Demikian pun, hubungan antara massa itu sendiri tidak putus. Dengan serangan sekonyong-konyong, yaitu tindakan keras tukang-tukang putch yang disengaja terhadap musuh, mereka dari awalnya gampang diserang musuh.”
Meski Wahyu tidak membahas keterkaitan itu (orang-orang Putch adalah anarkis), tapi saya harus menuntaskan ini. Jelas Putch yang dimaksud oleh Tan Malaka bukan orang-orang berpaham anarkisme. Anarkistis mungkin iya. Tan Malaka berpaham sosialis-komunis, maka dari itu, baik sosialis ataupun anarkis sama-sama memusuhi kapitalisme. Orang-orang penganut anarkisme percaya, jika kapitalisme dan negara adalah penyebab permasalahan antar manusia. Singkatnya, kapitalisme memakai negara sebagai instrumen untuk menciptakan para borjuis lokal maupun internasional, hingga oligarki.
Jauh sebelum kapitalisme ada, tumbuh, dan saling terkoneksi di dalam aktivitas hidup kita, manusia menentukan batas teritorial antar negara, lalu memilih orang sebagai raja, menitipkan modal, lalu memperkerjakan orang lain, kemudian memaksakan hukum yang relevan bagi orang lain. Sebelumnya, masyarakat sudah hidup berdampingan dan saling membantu.
Mengambil pemikiran dari Thomas Edison dalam artikel berjudul ‘Masih perihal Primata: Menyelesaikan Apa yang Tidak Kita Mulai’; “Bagi saya, adalah tidak mungkin anarkisme lahir secara utuh sebagaimana kita pahami saat ini ketika ‘penindasan dan ketidakadilan’ tidak memiliki titik realitasnya.” Itu cukup menjelaskan, jika sebuah otoritas yang dibangun oleh manusia, senantiasa akan menindas.
Dede Mulyanto menggugat pernyataan saya tentang eksploitasi kapitalisme. Hal terdasar yang perlu dipahami adalah Teori Nilai Lebih dalam Das Kapital nya Marx. Untuk memahami kapitalisme, kita tidak bisa melakukan analisis menggunakan moral karena setiap manusia mempunyai moralnya masing-masing. Perspektif-perspektif receh tentang kapitalisme hanya akan menciptakan argumentasi ‘jangan beli rokok di Alfamart, atau pakai barang-barang produk kapitalis’. Perlu digaris bawahi, dalam konteks saat ini, tidak ada cara lain untuk memenuhi kebutuhan selain masuk dalam apa yang disajikan kapitalisme. Hal ini dikarenakan pasar-pasar tradisional sudah tersisih karena negara memberikan ruang lebih kepada mall dan produk-produk kapitalisme lainnya.
Yang perlu dikritik itu sistem, bukan orangnya. Orang-orang salah presepsi dalam memahaminya. Jadi, analisis mereka hanya berhenti pada titik pengusaha yang baik, yang sering sedekah terhadap kaum tak berpunya. Dalam perdebatan ini, baik penganut sosialis maupun anarkis percaya jika kapitalisme adalah sistem yang telah membentuk orang saling bersaing satu sama lain dalam persaingan pasar, sampai mati, sampai manusia benar-benar menemukan kekayaannya atas dasar yang ia mau.
Borjuis atau pemilik modal mewajibkan pekerja terus mencurahkan tenaga mereka hingga apa yang telah dilakukan menghasilkan nilai yang setara dengan nilai tenaga kerja yang sudah dibayarkan. Jika tidak memenuhi target laba, maka buruh dikorbankan. Entah dipotong gajinya atau diPHK sewaktu-waktu. Ada pula petani dan warga yang bekerja tidak tentu, terpaksa menjual tanahnya karena pembangunan industri. Eksploitasi itu terus berlanjut dan berkepanjangan. Dalam tataran ini, kita harus merebut keadilan itu sendiri.
Wahyu tidak sekadar mengedukasi kita tentang pembedaan kata ‘anarkis, anarkisits, dan anarkisme’. Anarkis memang sudah menjadi kata mainstream, itu karena pola perkembangannya yang sudah mendapatkan stigma buruk. Tapi jika kita kenali lebih jauh, anarkis secara sederhana adalah orang yang menuntut kesetaraan antar sesama manusia.
Untuk Agil, saya juga akan menjelaskan jika Putch juga telah melahirkan ‘Hari Buruh Internasional’ yang kita peringati pada 1 Mei. Tindakan radikal artinya konsekuensi logis atas perjuangan untuk merebut perubahan sampai akarnya. Pada suatu kisah, ada sejarah yang justru diperoleh oleh orang-orang yang melakukan pengrusakan besar, yang mungkin bisa saja dia adalah Putch, seperti yang ditulis Agil dalam tulisannya.
4 Mei 1886, di sebuah kota di Chicago berlangsung aksi lanjutan dari gabungan lebih 400 ribu lokal dan imigran menuntut 8 jam kerja karena tadinya para buruh bekerja paruh waktu 16 – 20 jam per-hari. Aksi yang berlangsung 4 hari ini juga merupakan sejarah baru di dunia yang menyebabkan ratusan buruh dan beberapa polisi terbunuh. Penganut ideologi anarkis menghancurkan pabrik, menghentikan aktivitas kapital di dalamnya. Delapan martir yang dituduh anarko itu dieksekusi, dituduh provokasi, dituduh sebagai pembunuh, hingga teroris. Padahal, mereka tidak pernah memukul kalangan rentan, yang dalam subjek ini adalah buruh, petani, dan kelompok rentan lainnya. Mereka hanya geram dengan penguasa. Penghancuran pabrik adalah cara terakhir.
Namun, akibat aktivitas penghancuran itu, mereka yang mempunyai kekuasaan lebih (negara yang didukung oleh elit borjuasi), menghakimi para pelaku pelemparan bom, lalu menghakimi kematiannya. Seperti yang telah diprediksi oleh Marx dan Bakunin, kedua tokoh yang membuat kita berdebat sampai saat ini, kapitalisme berwatak sama, begitu juga negara. Dalam hal ini, pasti mereka akan melindungi properti, tapi tidak dengan manusianya. Sampai saat ini, buktinya mereka membuat semua serba susah.
Ada atau tidak adanya undang-undang, sesungguhnya rakyat akan selalu kalah meski melakukan aksi berulang kali. Tapi perkara aksi, bukan hanya sebuah impian besar yang harus dicapai. Tapi juga penyadaran massa. Untuk kali ini, semoga kita dapat menyadarkan baik-buruk secara politik, ekonomi, sosial, dan lainnya, meski subjektif.
3 Responses
Tulisan ini sangat ringan untuk orang yang belajar. Banyak logika baru bagi saya setelah membaca ini. Sukakk
Artikel nya nambah perspektif baru. Keren Kevin si Gimbal sakepel
Mantap bung..