The Lost Flower Of Alice Hart: Kekerasan Personal dan Ruang Aman Ilusi

Berbicara mengenai ruang aman bagi perempuan, kita akan selalu terpikir dengan kota besar yang marak akan ancaman kriminalitas

Dokumentasi/LPM Siar

Berbicara mengenai ruang aman bagi perempuan, kita akan selalu terpikir dengan kota besar yang marak akan ancaman kriminalitas dikarenakan perubahan sosial yang tinggi. Tindakan kriminalitas itu berupa kekerasan/ pembunuhan, pelecehan seksual dari orang asing, ataupun stigma yang timbul dalam kalangan masyarakat sehingga berakibat pada diskriminalitas terhadap oknum-oknum tertentu. Namun semakin kita dalami, bahwa banyak sekali faktor yang membuat perempuan merasa terancam dan merasa dirinya tidak aman. Baik itu di kota besar yang katanya, “berbahaya” ataupun desa-desa yang katanya “adem ayem”. Selain itu pula kekerasan terhadap perempuan dapat berasal dari mana saja, seperti ruang publik, bahkan ruang personal yang berasal entah itu dari orangtua, suami, kekasih, bahkan anak. 

Dalam drama asal Australia berjudul The Lost Flower Of Alice Hart  yang dirilis pada 4 Agustus hingga 1 september 2023 di aplikasi Amazon Studio, membahas mengenai kekerasan dalam ranah personal. Ranah yang terkadang menjadi keragu-raguan untuk ditindak tegas. Karena selain melibatkan orang-orang yang kita sayangi, namun juga melibatkan keapatisan masyarakat yang beranggapan bahwa hal itu bukan ranah yang bisa mereka pedulikan. Apalagi di pedesaan yang masih sering kali terkurung oleh budaya patriarki, dan ketidaktahuan mengenai hal terkait kekerasan dan cara menyikapinya. 

Drama tersebut menyoroti gadis kecil bernama Alice Hart yang mendapatkan kekerasan dari ayahnya, hingga mendapati dirinya menjadi yatim piatu dan tinggal bersama neneknya hingga dewasa di “Thornfield”, sebuah perkebunan bunga yang dihuni oleh perempuan-perempuan yang disebut “para bunga”. Para bunga adalah perempuan yang diumpamakan sebuah bunga yang kembali lagi menjadi kuncup dan berusaha menyembuhkan diri untuk pada akhirnya dapat mekar dengan indah.

Dalam drama itu Alice Hart hanyalah seorang gadis kecil yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Namun diperlakukan sangat impulsif oleh ayahnya yang terkadang bersikap baik, namun karena kesalahan kecil dapat tiba-tiba berubah menjadi kasar dan hampir membunuhnya. Hidup Alice dan ibunya dipenuhi ketakutan akan ledakan tiba-tiba ayahnya. Belum lagi pengekangan yang mengisolasi mereka dari dunia luar. 

Melihat hal tersebut, bukan hanya di film ataupun di luar negeri saja, namun di Indonesia juga kekerasan terhadap anak maupun perempuan masih sangatlah marak terjadi. Berdasarkan Komisi Nasional Perlindungan Anak  (Komnas PA) sepanjang tahun 2023 menyebutkan bahwa lingkungan keluarga menempati tempat teratas kekerasan dengan perolehan 35 persen. Sementara itu, menurut data  Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahwa terdapat 401.975 kasus di sepanjang tahun 2023.

Selain itu merujuk pada laman Antara, menyatakan bahwa hanya 289 ribu kasus yang dapat mengadukan kekerasan tersebut. Serta kekerasan di ranah personal menjadi dominan sampai mencapai 1.944 kasus menurut Komnas Perempuan, dan 279.503 kasus menurut Badilag, dan 3.294 kasus menurut lembaga layanan.

Selain menyoroti kepedihan hidup Alice Hart yang mendapatkan kekerasan dari ayahnya dan kehilangan keluarganya karena kebakaran, Alice juga mendapatkan perlakukan buruk yang sama dari kekasihnya ketika dewasa. Hubungan yang mengingatkannya pada hubungannya dahulu dengan ayahnya atau mungkin lebih parah, yang pada akhirnya membuat Alice berpikir bahwa dia merasa tidak layak untuk dicintai. Akibat kekerasan verbal yang dilontarkan dan kekerasan fisik yang diterimanya. 

Di era sekarang ini, toxic relationship memang marak terjadi. Serta tidak dipungkiri bahwa orang-orang sulit keluar dari lingkaran setan itu. Karena mereka merasa terikat secara emosional,  dan tidak ingin merasa sendirian lagi.  Padahal kalau dipikir,  hal itu hanya bentuk penyiksaan akan diri sendiri,  dan perasaan akan kesendirian tidak akan menghilang walaupun ditemani secara raga. 

Drama ini juga sedikit menyoroti kisah para bunga. Perempuan-perempuan yang hidup di Thornfield untuk menghapus masa lalunya, terutama oleh pria. Pria yang tidak dimintai tanggung jawab atas perbuatan mereka. Karena mereka adalah putranya, saudaranya, ayah, ataupun kekasihnya. Orang-orang yang mereka cintai.

Para bunga itu bersembunyi, dari suami yang memukulnya dan anaknya, dari ayah yang melecehkan putrinya, dari pengasingan keluarga akan orientasi seksual, bahkan anak-anak yang sengaja dibuang dan dibiarkan mati di jalanan. Mereka bersembunyi dari lingkungan yang menurut mereka tidak aman, dan menciptakan ruang amannya sendiri, yaitu perkebunan Thornfield. 

Ruang aman yang ditempati para bunga di Thornfield merupakan kediaman June Hart yang sudah diwariskan dari keluarga-keluarga terdahulunya. June adalah nenek Alice dengan masa lalu yang tidak kalah menyedihkan. Ia merupakan lesbian yang terasingkan dari masyarakat, dan mendapatkan pelecehan seksual hingga melahirkan seorang anak lelaki yang kelaknya menjadi seorang ayah dari Alice Hart.

Kita tahu bahwa kepedulian akan timbul jika kita merasakan sesuatu yang sama, entah pengalaman ataupun kesedihan yang bernuansa sama. Maka June Heart menerima, mempekerjakan, dan melindungi para wanita yang datang ke tempatnya untuk bersembunyi, ataupun menyembuhkan diri. Dia melindungi para bunga dari masyarakat luar, membiarkan mereka punya dunianya sendiri. Dunia yang indah dan aman tanpa adanya ancaman. 

Perkebunan Thornfield diisi dengan berbagai macam bunga yang indah. Setiap bunga di perkebunan itu memiliki maknanya tersendiri yang hanya diketahui oleh para bunga. Mereka berkomunikasi melalui bunga. Seolah bunga adalah bahasa cinta mereka, dan ungkapan akan harapan mereka terhadap cinta yang ingin selalu mereka dapatkan. Bukan hanya dari diri mereka sendiri, namun dari semuanya. Menciptakan perasaan yang tentram dan hangat dan tentu saja aman.

Namun dalam drama ini kita dapat melihat bahwa ruang aman adalah sebuah ilusi bagi perempuan. Pada akhirnya para perempuan selalu menciptakan ruang amannya sendiri. Ruang yang mungkin akan selalu ada celah, namun tak akan henti-hentinya untuk selalu ditambal dan perbaiki. Karena mereka hanyalah aman di Thornfield, namun diluar sana mereka seolah sedang berada di hutan rimba yang penuh dengan hewan buas. 

Selain di drama tersebut kita juga dapat melihat tindakan nyata di lingkungan kita. Bahwa sekuat apapun kita menciptakan ruang aman untuk diri kita sendiri, namun kita tidak bisa mencegah bahwa terjangan dari luar dapat merusak dan menembus ruang aman yang kita ciptakan sendiri. Kita berusaha melindungi diri dari amarah ayah atau suami dan tindakan abusivenya, namun kita tentu saja tidak akan tahu kapan tindakan itu akan muncul, atau dari nafsu yang muncul dengan tidak masuk akal di kepalanya hingga berujung pelecehan seksual. Kita tidak tahu, dan bukan salah kita.

Belum lagi terkadang orang-orang, apalagi di pedesaan masih melumrahkan bahwa parenting yang keras itu merupakan salah satu cara mendidik anak yang baik. Mereka mengatakan bahwa dengan cara begitu, anak akan tumbuh dengan kuat. Tapi mereka tidak tahu, bahwa mereka sedang menciptakan orang yang akan bergulat dengan kemuraman, atau mungkin pelaku selanjutnya. Belum lagi segala macam tindakan yang membatasi ruang gerak perempuan dalam berekspresi. Baik itu dalam aspek pendidikan, pekerjaan,  kedudukan, orientasi seksual,  dan lain-lainnya. 

Orang terdekat tidak selalu menjadi ruang yang aman. Serta semua ruang aman-aman yang ditawarkan terkadang hanya ilusi semata atau hanyalah bangunan yang tidak tegak berdirinya. Kita semua berhak berekspresi semau kita tanpa takut.  Namun sampai kapan kita harus menahan ruang aman kita sendiri ini? Jika ruang aman itu benar-benar ada, lalu mengapa kita masih tetap merasa waspada?

Penulis: Tian Martiani
Editor: Shofi NJ

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA