Indonesia akan segera mengadakan hajatan demokrasi terbesar pada 17 April mendatang. Konon partisipasi rakyat dalam melubangi surat suara di bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada tanggal tersebut, akan menentukan bagaimana nasib negeri ini selama lima tahun mendatang dan wakil rakyat yang nantinya menduduki kursi parlemen. Pemilihan umum (Pemilu) lazim dikatakan sebagai pesta demokrasi.
Secara umum, pemilu lahir dari konsepsi dan gagasan besar demokrasi, yang mana pemilu ini juga menjadi parameter terwujudnya demokrasi (Huntington, 1993). Dalam demokrasi, ada nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang dijunjung tinggi serta harus dijalankan oleh warga negara dan instrumen negara. Pemilu inilah yang menjadi bentuk partisipasi rakyat untuk turut berperan aktif dan menjadi bagian dari proses demokrasi. Namun, apakah faktanya suara rakyat sudah benar-benar terwakili melalui pemilu?
Hajatan demokrasi 2019 ini telah tercederai beberapa kasus pelanggaran. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar menyebutkan kepada viva.co.id bahwa pihaknya telah menerima 192.129 laporan dan temuan pelanggaran kampanye per 15 Desember 2018.
Pelanggaran kampanye yang terjadi bila dirinci, sebanyak 176.493 pemasangan alat peraga di tempat yang dilarang, 14.255 alat peraga kampanye (APK) mengandung materi yang dilarang, dan 1.381 pemasangan APK di kendaraan angkutan umum. Fritz menambahkan ada juga laporan terkait kegiatan kampanye yang dilakukan di luar waktu yang ditentukan. Terdapat sebanyak 414 iklan kampanye yang sudah dilaksanakan, padahal hal tersebut tidak diperbolehkan.
Belum cukup dengan indikasi pelanggaran kampanye, pemilu 2019 ini juga banyak menyuguhkan drama hoaks di berbagai media. Melansir dari laman kominfo.go.id, sebanyak 62 konten hoaks terkait Pemilu 2019 diidentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) selama Agustus-Desember 2018. Hoaks paling banyak teridentifikasi pada Desember 2018.
Kemkominfo juga merilis informasi mengenai klarifikasi dan konten yang terindikasi hoaks melalui portal kominfo.go.id dan stophoax.id. Hoaks yang disampaikan pun beraneka ragam, mulai dari topik agama, suku, ras, golongan, juga menyasar calon dan/atau peserta pemilu. Ironisnya lagi, masyarakat nampak lebih menikmati hoaks yang beredar di sekitar mereka, alih-alih menelusuri lebih detail visi misi, rekam jejak, serta program dari pasangan calon presiden/wakil presiden dan calon legislatif.
Tidak hanya pelanggaran kampanye dan penyebaran hoaks pemilu saja, masih ada kisruh lainnya yang mewarnai pesta demokrasi 2019 ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada akhir Januari 2019, mengumumkan nama-nama mantan narapidana kasus korupsi yang menjadi calon legislatif (caleg) di Pemilu 2019. Dari 14 partai nasional peserta pemilu, 12 partai diantaranya mencalonkan mantan napi koruptor. Total ada 49 caleg mantan narapidana korupsi yang mencalonkan lagi dalam pemilu mendatang.
Hal ini tentunya menyisakan tanda tanya besar. Bagaimana bisa para pengerat uang rakyat yang sudah pernah tertangkap basah melakukan korupsi masih diizinkan menjadi caleg. Padahal sudah termaktub dalam pasal 7 ayat (1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) 20/2018 tentang larangan mantan napi korupsi juga napi kejahatan berat lainnya untuk menjadi calon, walau vonis hukumannya kurang dari lima tahun karena pada PKPU yang disebut bukan vonis hukuman, melainkan “ancaman” hukuman sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, faktanya masih banyak yang lolos seleksi Banwaslu untuk maju menduduki kursi legislatif, seperti dua politikus yang pernah dipenjara akibat korupsi dan suap: Mohammad Taufik, Wa Ode Nurhayati, dan lainnya.
Uraian di atas hanya sedikit gambaran dari polemik faktual yang membumbui ajang pemilu 2019 ini. Pemilu merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi, dan memang kisruh yang terjadi saat ini merupakan keniscayaan. Abd. Kadir Patta dalam papernya yang diterbitkan Journal Academica Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad) tahun 2009 telah merumuskan masalah yang berpeluang terjadi dari adanya pemilu.
Melalui prosedur pemilu, rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat (parlemen atau legislatif) dan pemerintahan. Prosedur pemilu sendiri, pada dasarnya membuat penentuan bahwa pihak yang berhak tampil memerintah harus melalui prosedur kompetisi di mana pemenangnya adalah kontestan yang berhasil memperoleh suara mayoritas dalam pemilu. Inilah yang patut dikaji kembali.
Apakah tepat jika standar perwakilan rakyat hanyalah berdasarkan suara terbanyak? Bagaimana jika mereka yang sudah memperoleh suara mayoritas ternyata tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas yang mumpuni untuk menjalankan pemerintahan?
Patta juga mengemukakan bahwa sistem pemilihan yang berdasarkan pada suara mayoritas terdapat kelemahan yang krusial. Kekuasaan yang dilahirkan sering tidak adil, karena merugikan suara minoritas yang biasanya dipaksa ikut pada keputusan bersama meskipun tidak menyetujuinya.
Apalagi jika cara yang berlaku adalah pola hitungan suara mayoritas sederhana (50+1) yang berarti jumlah yang menolak relatif masih amat besar. Siapa bisa menjamin jika sisa 49 suara lainnya tidak melakukan hal-hal yang mengganggu jalannya pemerintahan, karena mereka tidak rela untuk dipimpin pemenang suara yang tidak mereka pilih.
Masalah lainnya yang juga berpeluang muncul adalah perwakilan pemerintah yang dipilih oleh rakyat sering kali mengambil keputusan dengan mengatasnamakan suara rakyat sehingga kekuasaannya potensial menjelma menjadi “tirani mayoritas”. Meskipun di sisi lain tak hanya “tirani mayoritas” namun “tirani minoritas” dapat juga menjelma, mengingat posisi satu atas yang lain masing-masing tidak menjamin adanya kepuasan yang adil. Hegemoni kekuasaan akan menjadi hal tak terhindarkan. Semoga saja rakyat tidak menjadi korban.
Semakin hari hawa panas perpolitikan semakin menguar seiring dekatnya 17 April 2019. Entah drama apalagi yang akan disaksikan rakyat di panggung perpolitikan ke depannya, yang jelas sudah saatnya rakyat meningkatkan taraf kemampuan berpikir mereka lebih tinggi lagi.
Sebab persoalan pemilu hanya satu dari sekian banyak problematika yang dihadapi negeri ini. Pemilihan kepala negara dan para wakil rakyat adalah perkara yang masyarakat harus concern untuk ikut memikirkannya. Di tangan siapa yang terpilih itulah nasib 267 juta jiwa (databoks, 2019) dipertaruhkan. Apakah akan menuju ke arah kesejahteraan, atau justru menuju keamburadulan. Mari simak dan saksikan!