Bayar Bayar Bayar: Ketika Musik Dibungkam, Kritik Tetap Bergema

Hari ini, tepat 12 tahun Hari Musik Nasional diperingati sebagai bentuk apresiasi bagi para musisi, serta sebagai upaya

detik.com

Hari ini, tepat 12 tahun Hari Musik Nasional diperingati sebagai bentuk apresiasi bagi para musisi, serta sebagai upaya mendorong masyarakat untuk lebih menghargai musik. Tak hanya sebagai hiburan, musik juga sering digunakan sebagai wadah untuk menyampaikan ekspresi, gagasan, dan kritik sosial. Namun, di negara yang mengklaim sebagai negara demokratis ini, kebebasan berekspresi belum dijalankan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lagu yang memiliki pesan kuat, malah menjadi sasaran sensor dan pelarangan.

Lebih dari sekadar hiburan, musik adalah suara masyarakat. Dalam bait-bait lirik dan melodi, tersimpan ekspresi kegelisahan rakyat terhadap realitas sosial. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa lagu-lagu yang berisi kritik tajam sering kali dianggap sebagai ancaman dan perlu dihapus dari ruang publik. Tahun 2025 ini, fenomena pembungkaman terhadap seni musik terjadi pada band Sukatani dengan lagunya yang berjudul Bayar Bayar Bayar. Lagu ini viral di media sosial karena dianggap mewakili keresahan masyarakat terhadap oknum polisi yang kerap melakukan pungutan liar. Namun, popularitasnya justru berujung pada pemaksaan penarikan lagu dan permintaan maaf dari para musisinya.

Sukatani: Musik yang Dekat dengan Realitas Masyarakat

Sukatani adalah band asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang terbentuk pada tahun 2022. Band ini beranggotakan Twister Angel (Novi Citra Indriyati) dan Alectroguy (Muhammad Syifa Al Lutfi). Mengusung genre post-punk, Sukatani dikenal dengan lagu-lagu yang menyoroti isu-isu sosial dan dekat dengan realitas masyarakat.

Nama Sukatani mulai menarik perhatian luas setelah lagu Bayar Bayar Bayar viral di media sosial. Lagu ini secara lugas mengkritik oknum polisi yang melakukan pungutan liar dan mencerminkan keresahan masyarakat terhadap birokrasi yang tidak adil. Berdasarkan survei Populi Center, pungutan liar adalah salah satu masalah utama yang harus dibenahi di kepolisian Indonesia, dengan persentase sebesar 31,3% pada tahun 2023—meningkat dari 29,7% pada tahun 2022.

Kasus pungutan liar oleh beberapa anggota polisi bukan sekadar isu yang muncul di media sosial, tetapi juga fakta yang tercatat dalam berbagai laporan investigasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI berulang kali menyoroti praktik pungutan liar dalam pelayanan publik, termasuk dalam kepolisian dan birokrasi pemerintahan.

Meskipun Bayar Bayar Bayar telah dirilis sejak 24 Juli 2023 dalam album Gelap Gempita, lagu ini baru mendapatkan perhatian luas pada tahun 2025. Bagi banyak orang, lagu ini adalah bentuk ekspresi jujur yang mewakili suara rakyat. Namun, di sisi lain, kritik yang disampaikan dalam lagu ini dianggap mengganggu institusi tertentu. Akibatnya, pada 20 Februari 2025, Sukatani terpaksa merilis video permintaan maaf dan menarik lagu tersebut dari peredaran. Bahkan, Novi, salah satu personilnya yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar, diberhentikan secara tidak hormat tanpa adanya diskusi atau mediasi terlebih dahulu. Bukan hanya itu saja, ternyata mereka sudah mengalami intimidasi dari kepolisian sejak Juli 2024. 

Mengapa Musik Kritik Sosial Selalu Dianggap Berbahaya?

Sejak dulu, musik sering menjadi alat ampuh dalam menyuarakan realitas sosial. Namun, karena kekuatannya tersebut, musik yang berisi kritik terhadap pemerintah atau institusi tertentu kerap dianggap sebagai ancaman. Lagu seperti Bayar Bayar Bayar berpotensi membentuk opini publik dan memperkuat kesadaran kolektif terhadap ketidakadilan yang terjadi. Inilah alasan mengapa pihak-pihak yang merasa terganggu oleh kritik dalam musik sering kali berupaya membungkamnya.

Padahal, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur bahwa kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang tidak boleh dikebiri tanpa alasan yang sah. Namun, dalam praktiknya, pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi masih sering terjadi, baik dalam bentuk tekanan sosial, pembatasan di media digital, maupun tindakan langsung seperti intimidasi, pelarangan, dan pemecatan.

Kasus yang dialami Sukatani bukanlah yang pertama dalam sejarah musik Indonesia. Sebelumnya, beberapa musisi juga mengalami pembungkaman ketika lagu-lagu mereka menyuarakan kritik terhadap oknum tertentu.

Salah satu contoh paling ikonik adalah Iwan Fals. Lagunya yang berjudul Bento sempat dilarang pada era Orde Baru karena dianggap menyindir penguasa melalui karakter fiktif bernama “Bento,” seorang tokoh kaya raya yang sombong dan korup. Selain itu, beberapa lagunya seperti Demokrasi Nasi dan Hio juga dicekal karena menyuarakan kritik terhadap ketimpangan sosial dan politik.

Selain Iwan Fals, band legendaris Koes Plus juga mengalami tekanan pada tahun 1965. Mereka bahkan sempat dipenjara karena membawakan musik bergaya Barat yang saat itu dianggap sebagai ancaman ideologi nasional. Salah satu lagunya, Balada Pelaut, mengalami sensor dan pemusnahan pada era Orde Baru.

Kini, hal serupa kembali terjadi pada Sukatani, membuktikan bahwa sensor terhadap musik kritik sosial masih menjadi terjadi di negeri ini.

Musik sebagai Alat Perlawanan yang Tak Bisa Dibungkam

Kasus Sukatani menunjukkan bahwa musik bertema kritik sosial masih menghadapi tantangan besar di Indonesia. Meski era telah berubah, pembungkaman terhadap karya-karya yang menyoroti ketidakadilan masih terjadi. Padahal, sejarah membuktikan bahwa musik memiliki kekuatan besar dalam membangun kesadaran masyarakat dan mendorong perubahan sosial.

Lagu-lagu yang berisi kritik tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai bentuk aspirasi masyarakat yang perlu didengar. Bayar Bayar Bayar mungkin bisa dihapus dari platform digital, tetapi kritik sosialnya tetap hidup dalam benak masyarakat. Karena kita tahu musik selalu menemukan jalannya sendiri, bahkan ketika ia dibungkam.

Hari Musik Nasional seharusnya bukan sekadar perayaan industri musik, tetapi juga momentum untuk menegaskan kembali bahwa musik adalah ruang bagi kebebasan berekspresi. Jika kita masih hidup dalam situasi di mana musik yang kritis dibungkam, maka pertanyaannya: apakah kita benar-benar hidup dalam kebebasan berekspresi?

Editor: Karunia Citra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA