Perayaan hari Idulfitri tidak hanya identik dengan ketupat dan opor saja. Di masa lalu, terdapat tradisi pertumpahan darah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Syawal ini. Mari berkenalan dengan tradisi Rampogan Macan, gladiatornya tanah Jawa.
Rampogan Macan adalah sebuah tradisi yang hampir sama dengan gladiator pada masa Romawi. Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak masa Kerajaan Mataram Islam dan mengakar pada masyarakat Jawa sejak abad ke 17 hingga 19 Masehi.
Menurut Serat Narpawandawa Surakarta, Rampogan Macan pertama kali digelar di Surakarta sekitar abad ke-17 atau tahun 1623 menurut kalender Jawa. Awalnya, Rampogan Macan diselenggarakan untuk menyambut tamu agung dari Eropa, seperti residen, gubernur jenderal, dan tokoh besar Belanda. Tradisi ini berpusat di Surakarta dan Yogyakarta sebelum akhirnya merambah ke daerah luar seperti Blitar dan Kediri.
Dalam tradisi Rampogan Macan, macan akan diadu dengan kerbau liar dan kemudian akan dirampog (dibunuh) oleh prajurit-prajurit yang bersenjata tombak. Kalah atau menangnya macan ketika diadu dengan kerbau, juga tetap akan dibunuh oleh para prajurit.
Awalnya, macan-macan akan ditangkap dalam kondisi hidup dan dikumpulkan sebelum akhirnya dirampog. Kemudian, macan-macan tersebut dimasukkan dalam sebuah kerangkeng yang ditempatkan di bagian utara alun-alun. Pada malam sebelum pagelaran dilaksanakan, macan-macan yang ditangkap akan dimasukkan ke dalam peti yang sudah terpasang di depan kerangkeng.
Sebelum diadu, macan dan kerbau telah melewati ritual khusus yang bertujuan untuk membuat hewan-hewan itu mengamuk. Kerbau akan diolesi dedaunan yang memicu efek gatal di badannya. Sebagai cara alternatif, moncong kerbau juga akan disiram dengan air cabai. Sedangkan pada macan, tubuhnya akan di press menggunakan besi yang panas. Kemudian, pada tahapan prosesi pagelaran, prajurit akan melingkar dan berbaris di alun-alun lengkap dengan tombak di tangan masing-masing. Barisan dibuat berlapis guna mengantisipasi ketika macan terlepas dari barisan awal.
Rampogan Macan mengalami pergeseran makna dari pertunjukan sakral ke simbol perlawanan terhadap Belanda. Macan sebagai simbol dari orang Belanda dan kerbau sebagai orang Jawa. Simbolisasi ini muncul lantaran macan dikenal sebagai hewan yang beringas dan ganas layaknya orang Belanda. Sedangkan kerbau dianggap sebagai hewan yang tangguh dan ulet, layaknya orang Jawa dengan kegigihannya melawan penindasan Belanda.
Pada masa Hamengkubuwono II, Rampogan Macan digunakan sebagai bentuk perlawanan secara simbolik terhadap orang Eropa. Rampogan Macan pun menjadi salah satu konsep dalam themes of resistance culture yaitu kebudayaan yang digunakan untuk perlawanan melalui pemikiran.
Rampogan Macan juga memuat nilai religius yang berkaitan dengan pemilihan hari utama untuk melaksanakan tradisi hari raya ketupat. Namun, karena adanya hitungan taliwangke-samparwangke (mengunci mayat-kesandung mayat). Taliwangke-samparwangke diartikan bisa membuat perkara rumit dan akan menemui kesusahan yang tak terduga. Adanya larangan untuk melakukan pembantaian pada hari raya, maka Rampogan Macan pun digelar pada hari ke-7 Idulfitri.
Jauh berbeda dengan Surakarta dan Yogyakarta, tradisi Rampogan Macan di Blitar digelar tepat setelah hari raya Idulfitri. Hal ini dikarenakan Idulfitri adalah simbolisasi siklus hidup baru dan anggapan dosa masa lalu yang gugur. Dalam hal ini, macan menjadi simbol dari dosa-dosa yang perlu ditumpas. Oleh karena itu, macan yang digunakan dalam tradisi ini merupakan macan dengan karakteristik yang buruk, seperti berekor pendek, berbadan kecil, dan sebagainya, serta diasosiasikan dengan kekejaman dan kejahatan.
Rampogan Macan juga menunjukkan sifat suci dari acara yang digelar, sebagai konsekuensi atas perilaku macan yang sering membunuh hewan ternak dan manusia. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa darah macan yang mengalir ke tanah dapat memicu Tuhan mengangkat bencana dan kesusahan dari tanah mereka.
Lantaran populasi macan yang melimpah di abad ke-19, muncullah berbagai kasus macan yang memangsa hewan ternak dan manusia. Rampogan Macan pun digelar guna mengurangi populasi macan pada saat itu. Namun, tradisi ini menuai kontroversi karena dianggap sebagai bentuk dari penganiayaan terhadap hewan, baik macan maupun kerbau.
Pada setiap pagelaran setidaknya empat macan akan terbunuh. Berbagai jenis macan digunakan dalam tradisi ini, seperti macan belang, macan tutul, dan macan kumbang. Pada Rampogan Macan di Blitar tahun 1894 ditemukan arsip yang menunjukkan pembantaian terhadap seekor macan belang dan tujuh ekor macan tutul.
Gambar. Pembantaian seekor macan dan 7 ekor macan tutul. (Sumber: Koleksi GetArchive)
Rampogan Macan berakhir pada tahun 1905 setelah adanya larangan dari Pemerintah Kolonial Belanda karena tradisi ini dianggap menjadi penyebab punahnya populasi Harimau Jawa. Hal ini didasarkan pada banyaknya macan yang terbunuh dalam tradisi ini, entah karena kalah pada pertarungan melawan kerbau maupun kalah melawan tombak para prajurit. Namun, pada artikel dengan judul “The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change”, Robert Wessing menyebutkan bahwa pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertanian serta adanya perpindahan penduduk juga menjadi faktor penyebab punahnya Harimau Jawa. Sehingga, fenomena kepunahan ini disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait dan bersinggungan.
Baca juga: Berkenalan dengan Autis, Patahkan Stigma Negatif
Penulis: Sukma Purbaningrum
Editor: Eka Safitru