Awalnya, tulisan ini tak memiliki tendensi apapun selain hanya untuk mengekspresikan keresahan saya terhadap kondisi dan berbagai gejolak situasi yang dialami selama bergumul di dunia Pers Mahasiswa (Persma). Akan tetapi, pada akhirnya saya tersadar bahwa dengan menulis, merupakan salah satu cara untuk mentransfer gagasan agar dapat diterima sehingga dapat menyamakan persepsi, syukur-syukur jika nantinya memunculkan perbedaan argumentasi. Sebagai mahasiswa biasa saya pun memiliki hak asasi untuk bisa mengekspresikan diri.
Bebas berkespresi dan mengungkapkan pendapat menjadi hak dasar mahasiswa dan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut juga tertuang dalam peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945, pasal 28 menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Begitu pula dengan Pasal 28 E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Sebagai Pers Mahasiswa, tentu wadah menuangkan ekspresi dilakukan melalui media. Media yang merupakan jantung persma harus mampu menjadi tonggak serta perjuangan dalam menumpaskan segala ketidakadilan yang dialami mahasiswa.
Dalam perjalanannya, Persma seakan menjadi musuh para birokrat kampus. Dicari-cari bahkan diintimidasi ketika awak persma menulis sebuah pemberitaan yang mengungkap fakta tentang kebobrokan dan kebusukan oknum-oknum bahkan sebuah lembaga di kampus. Dipandang sebelah mata saat mengkritik dan mengoreksi kebijakan birokrat. Bukankah sudah sewajarnya persma bertanggung jawab untuk mengkritisi kebijakan birokrat karena fungsi pers sendiri salah satunya sebagai kontrol sosial?
Beragam kasus dan permasalahan yang dialami Persma, seperti pelarangan peliputan, pembredelan bahkan sensor seakan menunjukkan sinisme terhadap Pers Mahasiswa. Antikritik. Mungkin, itulah predikat yang tepat untuk menggambarkan beberapa oknum pejabat kampus saat ini. Mereka seakan tutup mata, tutup telinga, inginnya yang baik-baik saja. Selalu geram dengan pemberitaan mengenai kritikan. Ini bukan rezim orde baru yang apatis terhadap kritik.
Dulu, Wiji Thukul dilenyapkan ketika mengkritik dengan sajak-sajaknya yang menghujam. Kini, beberapa mahasiswa diperkarakan kritiknya terhadap Kemenristekdikti. Tuan- tuan, ini sudah bukan zamannya lagi menyampaikan aspirasi kemudian dikebiri.
Apabila sikap represif tetap terpelihara, terlalu percaya diri karena hanya menyukai masukan yang nonkritik, tunggu saja saatnya sebuah kampus bahkan bangsa ini akan mengalami keterpurukan.
Mahasiswa sebagai agen perubahan tentu harus lebih berani mengambil sikap tegas ketika dihadapkan pada kesewenang-wenangan kebijakan kampus. Bukan berarti seorang mahasiswa boleh melakukan tindakan sebebas-bebasnya, sebagai kaum intelektual, sebelum bertindak pastilah seorang mahasiswa telah memikirkan segala sebab dan akibatnya.
Jika pada suatu waktu kami, awak Persma memang dipaksa untuk diam, maka kami harus bicara lewat tulisan. Jika karena tulisan, kemudian kami diserang, mungkin senjata hanya aksara. Kami bukan penjahat atau kriminal bahasa. Kami hanya ingin mengakrabkan diri lewat kata-kata