Catatan Permulaan: Sedikit Kenangan Tentang Munir
Menulis tentang Munir adalah merapikan kembali pahatan mengenai sebuah ingatan yang secara manusiawi bisa saja terlupakan dalam benak setiap insan. Saya memulainya dengan membaca kembali kisah-kisah perjuangan Munir, baik sebagai pejuang Hak Asasi Manusia dan tentu sebagai manusia biasa. Sebagai generasi yang tak sezaman, cerita tentang Munir paling banyak bisa diketahui melalui apa yang orang lain katakan tentangnya. Tentu berdasarkan dari apa yang dia perjuangkan selama ini, yaitu advokasi korban pelanggaran HAM menjadi pilihan utama jalan perjuangan seorang Munir.
Hanya sebuah gambar seorang pria berkumis lebat di tembok-tembok kota yang saya lihat ketika pertama kali menginjakkan kaki di Malang untuk menempuh pendidikan tinggi. Meski ternyata, kini sepanjang yang saya tahu gambar tersebut hampir selalu ada di beberapa sudut di setiap kota besar. Kemudian, dalam forum-forum diskusi dan aksi, nama Munir tak jarang dilontarkan dari mulut orang-orang yang nampak begitu mengaguminya. Hingga pada era digital ini, namanya terus digaungkan baik melalui poster, maupun rangkaian kata perlawanan atas ketidakadilan yang diikuti sebuah tagar #MenolakLupa #MerawatIngatan.
Munir adalah pejuang HAM dan dia juga manusia biasa yang berjuang sebagaimana mestinya manusia bermartabat. Mengenal Munir lebih dekat mungkin alangkah baiknya juga mengenal sosok yang paling dekat dengannya secara emosional. Suciwati, istri yang begitu dicintai Munir dan hingga saat ini kukuh melanjutkan perjuangan suaminya untuk menuntut keadilan. Tanggal 7 September 2015, pada peringatan 11 tahun Munir, ada sebuah poster dari akun twitter Omah Munir yang berbunyi:
“Kalau Plato bilang Cinta itu adalah sebuah ruang dan mencintai itu sesuatu yang ada maka cinta sebenarnya adalah Tuhan. Tuhan adalah kehidupan, maka cinta kita adalah sebuah kehidupan. Aku cinta padamu istriku.” (Munir, UGM, 24 Agustus 2001, Pukul 09:47)
Poster tersebut diikuti dengan sebuah kalimat, “Atas nama cinta, kita berteriak keras kepada negara agar dalang pembunuh Munir diadili.” Siapa yang tak sedih, bahkan negara jika masih ingin disebut sebagai sebuah negara harusnya bersedih kehilangan (menghilangkan) seorang Munir. Dalam perjalanan perjuangan HAM di Indonesia, kematian Munir menjadi bukti bahwa pada kesedihan yang mendalam ada sebuah kekuatan. Mengenang Munir bagai stimulus kekuatan dari sebuah perjuangan legitimasi moral atas kehidupan berdemokrasi. Kita tidak hanya akan terjebak dalam angan sebuah kesedihan kehilangan sebuah sosok, sebaliknya, justru membangkitkan sebuah asa.
Dalam diri Munir kita akan melihat asa. Asa dari Marsinah buruh pabrik arloji yang harus direnggut nyawanya dalam usaha membela kawan senasib. Asa dari para petani Nipah yang diberondong peluru saat berusaha menjaga tanah yang sekaligus “pusaka” dalam kepercayaannya, dan asa dari ribuan hingga mungkin jutaan korban pelanggaran HAM beserta keluarganya akan cita-cita terwujudnya sebuah keadilan.
Munir terlanjur mafhum bahwa hak asasi yang menjadi satu kesatuan dalam diri manusia adalah sebuah martabat dari manusia itu sendiri. Maka, apabila martabat itu hilang, hilang pula kemanusiaannya. Hingga Munir menjadi manusia yang tak terbendung dalam perjuangannya membela hak asasi manusia. Lalu, mungkinkah pohon yang kau rawat selama ini akan bersemi? Sebuah kutipan dari bagian akhir puisi Gus Mus yang berjudul “Munir” ini patut kita renungkan bersama agar apa yang telah diperjuangkan almarhum semasa hidupnya tidak berhenti di sini.
HAM Di Indonesia Saat Ini
Tidaklah sedikit kasus-kasus HAM yang diperjuangkan Munir semasa hidup hingga tiga belas tahun sepeninggalnya, masih juga belum terselesaikan. Ada banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi pasca Munir meninggal, tentu diikuti dengan masalah penuntasan pelanggaran di masa lampau yang belum juga sampai pada titik temu. Dasar pemilahan berdasarkan tenggang waktu ini, sama sekali tidak menekankan pada goal dari perjuangan para pejuang HAM atas suatu kasus. Sekalipun bisa menjadi autokritik bagi pejuang HAM sendiri, kurang elok rupanya jika kita membandingkan perjuangan hanya berdasar pada hasilnya. Tentu selama dalam proses perjuangan tersebut mereka benar-benar berusaha sepenuh hati.
Dengan kata lain, tidak sebagai pembanding kualitas perjuangan atas hak-hak korban pelanggaran HAM pada setiap masa atau generasi, apalagi individu. Sebaliknya, dasar klasifikasi kasus HAM ini, harusnya menjadi peringatan keras bagi bangsa kita bahwa di negara ini memperjuangkan nyawa orang lain memiliki risiko berat. Ironi, seorang pejuang HAM tidak menutup kemungkinan harus mengorbankan nyawanya sendiri. Memperjuangkan hak-hak orang lain, ternyata juga menjadikan seseorang kehilangan haknya sendiri, hak untuk hidup. Betapa hilangnya sebuah nyawa tak cukup mengetuk hati penyelenggara negara untuk benar-benar menuntaskan kasus HAM yang berkepanjangan ini.
Dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai organisasi non pemerintah yang aktif memantau dan melakukan advokasi pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, tercatat pada periode triwulan awal tahun 2017 saja, terjadi 206 peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Angka ini secara tidak langsung mengatakan bahwa di Indonesia, di negara demokrasi dan berlandaskan hukum ini, hak-hak warga negaranya masih belum terjamin. Tidak menutup kemungkinan jumlah ini akan terus bertambah mengingat kesan pembiaran terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM. Sebuah ketidakwarasan hukum yang tentu tidak akan menimbulkan efek jera pada para pelaku pelanggaran.
Pada masa ini, tanpa sedikitpun mengabaikan pelanggaran HAM lainnya, kita bisa menaruh perhatian khusus terhadap kompleksitas dan maraknya konflik agraria. Menengok ke belakang kita masih ingat salah satu kasus pelanggaran HAM yang juga dikawal oleh Munir, peristiwa Waduk Nipah di Madura pada 25 September 1993. Dalam kasus tersebut terjadi penembakan oleh aparat yang mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, satu orang luka berat (kemudian meninggal di rumah sakit), dan tiga orang luka ringan. Kasus ini berakhir tanpa penindakanlanjutan yang berarti, tidak ada peradilan yang digelar bagi pelaku penembakan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Para pelaku hanya dikenai sanksi mutasi. 1
Kini pelanggaran HAM yang bermula dari konflik di sektor agraria semakin marak. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan, sepanjang 2015, konflik agraria masih tinggi dengan 252 kasus luasan 400.430 hektare, melibatkan 108.714 keluarga. Berdasarkan berbagai kasus tersebut, korban tewas lima orang, tertembak aparat 39, luka-luka 124 dan ditahan (kriminalisasi) 278 orang. Dalam diskusi kelompok terfokus Penyelesaian Konflk Agraria Berbasis HAM di Indonesia 2015 lalu, salah satu komisioner Komnas HAM, Dianto Bachriadi menyatakan bahwa sekitar 6000 hingga 7000 kasus yang masuk ke Komnas HAM, 15 hingga 20% -nya adalah pengaduan tentang konflik agraria. Kasus-kasus tersebut di antaranya mengenai sengketa pertanahan, perebutan akses terhadap Sumber Daya Alam di berbagai sektor, baik di kehutanan maupun di non kehutanan, seperti perkotaan, perdesaan, bahkan di pesisir.2
Masih segar di ingatan, pada Oktober 2016 PT BNIL melakukan pengusiran paksa, melibatkan pejabat dan paramiliter menamakan diri Pengamanan (Pam) Swakarsa, terhadap lahan warga petani transmigran di Tulang Bawang, Lampung. Sengketa agraria antara tujuh desa transmigran di kawasan 10.000 hektare dan PT BNIL bermula pada 1986 ketika gubernur Lampung saat itu mengklaim bahwa lahan warga adalah areal konsesi PT Bangun Gaya Modern. Dengan alasan itu, areal tersebut diberikan kepada PT BNIL (3.400 ha), PT Rimba Lampung Abadi (4.000 ha), dan PT Trimulya Adi Kencana (3.000 ha). Tetapi, hingga 1990, ketiga perusahaan itu tidak melakukan aktivitas apapun. Kawasan 10.000 ha itu pun mulai padat penduduk. Ia menjadi pemukiman dan bahkan dianggap sebagai proyek percontohan transmigrasi swakarsa mandiri yang sukses. Sudah ada pasar maupun sekolah.
Tetapi, pada 28 Juli 1990, PT BNIL dan Pemda Kabupaten Lampung Utara (sebelum pemekaran menjadi Tulang Bawang) menugaskan Departemen Transmigrasi melakukan pengusiran terhadap pemukim di tujuh desa. Aksi ini gagal. Buntutnya, pada 1991, aparat dari badan koordinasi stabilitas nasional daerah dan Komando resort militer 043/ Garuda Hitam mengusir warga. Dalih militer, lahan itu akan dipakai sebagai lokasi latihan perang. Tentara juga memakai gajah untuk mengusir warga. Akibat perlawanan warga yang tak kenal lelah, diambil jalan tengah PT BNIL mengelola lahan inti seluas 5.100 ha dan warga menangani lahan plasma seluas 1.500 ha. Namun ternyata baru diketahui, sepanjang awal tahun 1993, dengan melibatkan Korem Garuda Hitam, warga dipaksa untuk teken blanko dan menerima Rp100 ribu. Warga yang menolak dikenai siksaan. Warga baru menyadari sesudahnya bila blangko tersebut adalah Berita Acara Pelepasan Lahan dan Pemberian Ganti Rugi atas jatah plasma, masing-masing seluas 1 ha. Konflik ini berujung pada aksi kekerasan pada dan pemidanaan terhadap empat petani serta seorang pendeta.3
Konflik Agraria seperti yang terjadi di Lampung merupakan satu dari sekian banyak konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Konflik ini terjadi melalui proses yang panjang. Pemerintah terkesan mengabaikan dan menganggap remeh persoalan lahan dan lingkungan dalam masyarakat akibat hadirnya korporasi yang mengeksploitasi. Konflik agraria seperti itu seharusnya diselesaikan sejak awal sehingga tidak menimbulkan akumulasi yang berujung pada kekerasan dan pelanggaran HAM.
Segala macam bentuk konflik tidak semestinya diselesaikan secara represif dengan kekuatan militer yang justru menjadikan rakyat sebagai korban. Semua ini menambah catatan panjang perjalanan berliku perlindungan HAM di Indonesia. Terlebih sejumlah kasus pelanggaran HAM berat mulai dari Pembataian Massal 1965, kasus-kasus di Papua, hingga kematian Marsinah sampai saat ini belum tersentuh hukum.4 Tidak sedikitnya kasus pelanggaran HAM di tahun 2017 dan tak kunjung tuntasnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau menjadi catatan merah dalam pemerintahan di masa ini.
Lingkaran Setan Kejahatan HAM yang Harus Dihancurkan
Pelanggaran HAM yang selama ini terjadi bukan sekadar kasus yang bersifat momentum atau tanpa disengaja. Kejahatan HAM selalu bermula dari upaya dominasi dan eksploitasi yang terpola secara sistemik dengan kekuatan ekonomi politik dari individu atau sekelompok orang berkepentingan atas individu atau kelompok lain, dimana mayoritas adalah rakyat biasa yang hanya sekadar survive sebagai manusia untuk berkehidupan.
Rakyat menjadi objek sasaran tinju yang dihujamkan bertubi-tubi dari segala penjuru. Kita terjebak dalam kuasa aktor-aktor lawas yang makin beringas. Meminjam istilah Radar Panca Dahana, Pengusaha–Pemerintah-Parlemen (Trio P).5 Tiga elemen ini dengan kepentingannya seperti mengangkangi peran rakyat dan hak asasinya sebagai manusia. Pengusaha di sini adalah pemodal besar yang dalam perjalanannya mengeksploitasi, baik alam ataupun manusia perlu diakomodai tepatnya direstui penyelenggara negara, pemerintah. Dimana sebagai legitimasi pelaksanaan kerja pemerintah, diperlukan sebuah pengesahan dari parlemen.
Lingkaran setan ini menjadikan posisi rakyat biasa kian rawan menjadi korban pelanggaran HAM. Kepentingan dari setiap golongan antara pemerintah, korporasi dan aparat keamanan menjelma menjadi bentuk penjajahan baru yang membawa tragedi kemanusiaan dan penderitaan bagi masyarakat. Rakyat sebagai pihak yang lemah harus menanggung penderitaan karena tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan dominan tersebut.
Lingkaran ini semakin solid dengan peran aktor lama yang tak kalah beringasnya. Aparatus militer adalah satu yang terlampau sering bersitegang di lapangan konflik. Militer menjadi aktor pelaku teror, dan penebar paku rasa takut. Tak ayal jika semasa hidup Munir dalam penegakan HAM mensyaratkan perlunya melakukan reformasi militer guna tercipta tentara profesional yang menghormati HAM, tunduk terhadap supremasi sipil dan prinsip negara hukum, akuntabel, tak berpolitik dan berbisnis, serta ahli dalam bidangnya.
Kini, tinggallah bagaimana bangsa Indonesia keluar dari lingkaran setan ini. Lebih tepatnya, memutuskan dan menghancur leburkan konstruksi laten kejahatan HAM di tanah air. Masyarakat bukan hanya bosan, tapi juga bisa setiap saat dirundung ketakutan terhadap ketidakamanan dan ketidakadilan di negaranya sendiri. Para penyelenggara negara perlu melihat kembali pada Pasal 28l ayat (4) UUD 1945 bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pasal 43 Piagam HAM yang terlampir dalam Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998, Pasal 8 UU 39/1999, dan Pasal 71 UU 39/1999, regulasi-regulasi ini merupakan dasar yang jelas dan sudah sepatutnya dilaksanakan pemerintah.
Penyelesaian kasus HAM sudah menjadi tanggung jawab penuh negara yang diamanatkan konstitusi kepada pemerintah. Pasca lengsernya Gus Dur sebagai presiden ke empat di republik ini, nyaris tak nampak adanya perhatian khusus yang dilakukan oleh pemerintah guna menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Demikian pula dengan kepemerintahan Jokowi saat ini, sama sekali belum melakukan gebrakan besar hingga kurang lebih tiga tahun masa pengabdiannya berlalu, yang terjadi keraguan semakin bertambah terhadapnya. Presiden saat ini justru menggandeng orang yang selama ini dicurigai sebagai dalang kejahatan HAM berat di Indonesia sebagai pemegang posisi penting di kabinetnya.
Hingga segala elemen dalam kepemerintahan terutama, mau mengenyampingkan kepentingan pribadi atau golongan, masalah-masalah HAM di Indonesia niscaya segera terselesaikan. Bagaimanapun lembaga yang terkait dalam penuntasan pelanggaran HAM baik lembaga pemerintah mapun nonpemerintah tidak bisa berjalan maksimal sampai pihak eksekutif yang dipimpin oleh presiden benar-benar turun tangan. Presiden haruslah membuktikan bahwa dia tidak hanyut arus terlebih masuk dalam lingkaran setan yang mengorbankan rakyatnya sendiri.
Keterangan Sumber:
- Kasus Petani Nipah Omah Munir ( http://omahmunir.com/archives/105 )
- Penyelesaian Konflik Agraria Berbasis HAM (https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2015/10/13/215/penyelesaian-konflik-agraria-berbasis-ham.html )
- Petani Tulang Bawang: Kami Diusir Dari Tanah Kami (https://tirto.id/petani-tulang-bawang-kami-diusir-dari-tanah-kami-cjLx )
- Data Pelanggaran Ham Di Indonesia Sumber Litbang Kontras
- Ekonomi Cukup, Radhar Panca Dahana.