Berembusnya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo serta kenaikan harga-harga memantik hampir tiap-tiap elemen masyarakat. Diskusi-diskusi terbuka dalam kampus maupun di jalanan menjadikan isu tersebut sebagai topik yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. Orang-orang di pasar, petani, sopir, buruh, hingga mahasiswa memiliki keresahan yang hampir sama ketika kebebasan dibungkam atas nama kesejahteraan palsu.
Dalam konteks ini, peran mahasiswa sebagai kelompok yang menempuh pendidikan tinggi selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Intelektualitas, progresivitas, hingga kemampuan retorika yang dimiliki menjadi senjata andalan untuk mereka bersuara. Kemudian, mereka pun hadir menjadi sosok yang ditokohkan–berteriak melalui megafon, mencela rezim, dan “mewakili rakyat”.
Pengorganisiran aksi yang mayoritas dilakoni mahasiswa tersebut malah cenderung bersifat eksklusif dan tertutup. Bagaimana bisa sekelompok mahasiswa dengan hanya turun ke jalan, berorasi, kemudian mengklaim bahwa mereka mewakili masyarakat? Padahal, rakyat sipil, dalam hal ini non-mahasiswa, secara umum tak pernah dihadirkan di antara mereka. Bahkan, apakah diskusi-diskusi terbuka yang selama ini banyak digelar sudah mewakili suara rakyat? Sifat eksklusif dan elitis yang dipancarkan mahasiswa kemudian benar-benar menjadi masalah ketika hal tersebut menjadi wujud adanya diskriminasi kelas. Sederhananya, mereka memisahkan diri dengan rakyat.
Beberapa hari belakangan ini, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) kembali menjadi sorotan–setelah beberapa waktu lalu senyap–karena memotori demonstrasi di ibukota. Selain BEM SI, aliansi BEM di daerah-daerah pun tak ada bedanya. Pengorganisiran massa yang mereka lakukan selalu tak ketinggalan menghadirkan sekat bernama jas almamater (almet). Alih-alih membentuk massa yang luas dan terorganisir, hadirnya jas almet sebagai dresscode wajib saat aksi malah menimbulkan kesenjangan sosial, terlebih bagi mereka yang tak sempat merasakan bagaimana rasanya mengenakan jas almet. Bagaimana mereka yang tak memiliki jas almet? Bisa saja, dalam hatinya timbul segumpal keresahan yang mahasiswa tak pernah tahu, atau lebih tepatnya, tak ingin tahu.
Alasan keamanan dan upaya pencegahan disusupi kelompok lain kadang menjadi ketakutan sendiri bagi mahasiswa. Hal tersebut kemudian menjadi pembenaran mengapa jas almet diperlukan untuk menunjukan identitas mereka. Padahal, sekalipun ribuan orang menggunakan pakaian yang sama, potensi untuk disusupi kepentingan lain itu masih besar kemungkinannya untuk terjadi. “Dipikir provokator nggak bisa cari almet, apa?”.
Lalu apakah ada ruang bagi mereka untuk bersuara tanpa mengenakan jas almet?
Kurasa, mereka yang tak beralmet sangat bisa untuk turun ke jalan. Caranya adalah dengan mengorganisir orang-orang dengan visi-misi yang sama. Dengan keresahan yang sama, kemudian melepaskan diri dari ketergantungan populisme pada elitis-elitis intelektual (baca: mahasiswa). Karena, tak semua yang disuarakan mahasiswa benar-benar mewakili rakyat. Sama halnya dengan wakil rakyat. Mereka tak benar-benar mewakili suara rakyat, bukan? Mereka tak pernah “turun” untuk menengok dan peduli pada rakyat. Kalaupun pernah, kamera tentu tak ketinggalan. Ada kesenjangan antara rakyat dan elit-elit yang katanya mewakili rakyat. Hal ini memang tak bisa digeneralisir pada semua elit. Akan tetapi, bukankah kita semua sudah melihat bagaimana gaya hidup kemewah-mewahan dan sikap para wakil kita?
Sama saja dengan wakil rakyat tersebut, mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai lidah penyambung rakyat justru kerap bersikap elitis dan menciptakan sekat sosial. Usut punya usut, pola serupa bukanlah hal baru. Jika melihat kembali aksi-aksi besar pada beberapa tahun ke belakang, “Reformasi Dikorupsi” pada 2019, misalnya, hadirnya tokoh-tokoh Presiden BEM yang menjadi aktor gerakan secara tak langsung malah menjadi semacam bumerang bagi gerakan itu sendiri. Kecurigaan adanya dominasi partai beserta buntut kepentingannya yang menggurita di tubuh eksekutif mahasiswa sejatinya tidak mengada-ngada. Aksi di tahun berikutnya yang dikenal dengan “Tolak Omnibuslaw” pun tak jauh berbeda, ketika mahasiswa mengotak-ngotakkan massa, siapa yang beralmet adalah bagian dari mereka sedangkan mereka yang tak beralmet adalah provokator atau penyusup.
Akhirnya, seperti yang terjadi beberapa hari ini, diskriminasi berdasarkan jas almet pun makin terang-terangan. Sikap elitis dan eksklusif mahasiswa sangat tidak mencerminkan sikap merakyat, yang selama ini kerap mereka dengung-dengungkan dalam orasinya. Potensi akan lahirnya penindas-penindas atau “wakil rakyat” baru pun menjadi besar. Telah terjadi sebuah proses alienasi mahasiswa terhadap individu lain, sementara di sisi lain mahasiswa sendirilah yang teralienasi dari masyarakat.
Mahasiswa kini merasa istimewa dengan privilege yang dimilikinya. Ditambah lagi, makin pesatnya perkembangan media sosial mengundang mereka saling berpacu eksistensi, adu paling revolusioner di atas panggung, berkoar perihal kebebasan semu yang kontradiktif. Selain minim substansi, mereka yang berlomba memamerkan instansi tentu adalah tontonan yang lucu. Lantas apa tujuan sebenarnya mereka turun ke jalan? Menuntut sebuah tindakan dengan visi-misi yang jelas, atau sekadar pamer eksistensi?
p
Penulis: Delta Nishfu Aditama
Penyunting: Diana Yunita Sari
satu Respon
Maksudnya PeCaEs ?> Kecurigaan adanya dominasi partai beserta buntut kepentingannya yang menggurita di tubuh eksekutif mahasiswa sejatinya tidak mengada-ngada