Sore itu Rais sengaja ke sekret UKM. Niat hati ingin tiduran sambil membaca opini santai Mojok.co. Mengingat sore hari biasanya sekret UKM kosong melompong. Setidaknya dapat suasana baru daripada di kosan terus, begitu pikir Rais.
Dari kejauhan pintu sekret terbuka dan sewaktu mengisi buku kehadiran tahulah Rais siapa yang sedang berada di sekret UKM.
Rais melihat Risa sedang duduk fokus menghadap Novel Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle yang entah seri atau judul kasus apa yang tengah dibaca Risa. Di samping Risa, sebuah layar handphone menyala, tanpa dering maupun getar. Selain kedatangan Rais, Risa nampaknya belum sadar ada panggilan masuk.
Rais mengendap-endap mengintip nama yang tertera di layar handphone Risa. “Daendelsiar“. Rais sontak tertawa membaca nama itu. Suara tawa Rais membuat Risa terkejut.
Menjadi tahulah Rais mengapa Risa ada di sekret UKM sendirian dan hanya membaca novel seri kesukaannya itu. Rupanya Risa “lari” dari teror oleh Herman Willem Daendels alias Redaktur Pelaksana Online Siar yang sedang menagih tulisan Risa untuk web Siarpersma.id. Risa berniat ghosting sejenak dari Daendelsiar karena belum menemukan isu agar dapat dijadikan tulisan.
Rais menggelar karpet dan mulai merebahkan badan, Risa masih duduk di kursi dekat meja buku kehadiran. Masih menatap novel meskipun otaknya sudah tidak dapat menerima narasi-narasi itu. Teror Daendelsiar itu membuat waktu-waktu Risa tidak tenang.
Risa menutup novelnya, menatap sekeliling, dan berhenti pada Rais yang menatap handphone sambil cekikikan.
“Ngapain sih Is?” tanya Risa
“Baca tulisan di Mojok.co nihh lucu tentang Maruko-chan gitu, dan aku baru tahu kalau budaya di Jepang ada hari makan belut.”
Risa juga baru tahu mengenai hal itu. Risa mendesak Rais agar mengirimkan link tulisan padanya. Dari sana, Risa akhirnya punya isu untuk dapat memenuhi teror Daendelsiar.
**
Kemudahan untuk mengakses internet sudah bukan menjadi alasan lagi untuk tidak mendapatkan informasi yang diinginkan, terlepas dari batasan ruang, waktu, maupun device. Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, sebanyak 54 persen atau 143 juta dari 265 juta jiwa penduduk merupakan pengguna internet.
“Kalau begitu aku salah satunya, dong!” baru satu paragraf, Rais sudah berkelakar.
Berbicara tentang informasi, media memiliki peran paling penting dalam melakukan pemberitaan kepada pembaca. Salah satu peran media yakni membentuk antusias masyarakat dalam hal literasi digital.
Dalam buku yang pernah dipinjamkan Rais kepada saya karya Gilster (1997) yang berjudul Digital Literacy, literasi digital didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengakses sumber daya jaringan komputer dan menggunakannya. Dalam buku tersebut dijelaskan kembali bahwa literasi digital adalah sebuah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format ketika disajikan melalui komputer. Dalam literasi digital, pembaca memiliki kemampuan untuk mengolah informasi yang ia temukan secara online.
“Sa.. Risa…” suara Rais memecah keheningan di sekret UKM.
“Setelah pembaca mengolah informasi yang ditemukan, mereka dapat memutuskan apakah informasi yang ia temukan itu benar atau palsu ya?”
Adanya literasi digital, seseorang dapat mengolah informasi yang ditemukannya bahkan dapat memodifikasinya dengan informasi tambahan lain atau informasi sebelumnya. Setelah mengolah informasi, seseorang dapat menarik kesimpulan terkait informasi tersebut dan dapat memutuskan apakah informasi yang ia dapatkan itu benar atau salah. Setelah memutuskan, ia dapat mengambil keputusan harus bersikap seperti apa dari informasi tersebut. Kemampuan ini dapat dijadikan bekal oleh setiap orang untuk menepis adanya miss informasi yang diterima.
Karena seseorang dapat memutuskan sikap yang ia lakukan setelah mengetahui informasi tersebut, saya mulai berasumsi jika media mempunyai kekuatan dalam membentuk persepsi dan stigma masyarakat. Seperti salah satu contohnya ketika media menyiarkan pemberitaan terkait pandemi, masyarakat kemudian berubah menjadi panic buyer hingga menimbun masker dan handsanitizer. Selain itu, masyarakat juga memberikan cap negatif kepada tenaga medis yang mengakibatkan mereka tersisih secara sosial karena kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan yang diterima masyarakat melalui media.
Oleh sebab itu, informasi yang terbungkus dalam digitalisasi literasi hadir layaknya makanan yang siap disantap saat lapar dan saat mengonsumsinya kita dapat memutuskan untuk tetap lapar atau sudah kenyang.
Ah, karena menjawab pertanyaan Rais, muncul sesuatu dalam benar saya tentang seperti apa media online yang dikonsumsi oleh anak muda zaman sekarang. Akhirnya, saya bersama teman-teman Divisi Penelitian dan Pengembangan LPM Siar sepakat untuk melakukan riset data dengan tajuk “Menebak Konsumsi Media Online Anak Muda” yang dilakukan secara online melalui googleform. Riset ini dimulai pada tanggal 10 November 2020 hingga 4 Desember 2020.
Ini hasilnya…
Kami mendapatkan 88 responden yang dimana 71,9% responden mengonsumsi media online sebanyak lebih dari lima kali dalam kurun waktu satu minggu, sedangkan sisanya kurang dari lima kali. Sebanyak 45,5% responden menyebutkan bahwa alasan mereka mengonsumsi media online karena sebagai alternatif untuk mencari informasi. Kebutuhan akan informasi menduduki angka paling tinggi sebagai alasan mereka dalam mengonsumsi media sedangkan sisanya adalah sebagai sarana hiburan ataupun edukasi.
Dari hasil riset data tersebut, kami juga menemukan bahwa topik/isu yang paling dicari/menarik perhatian adalah isu Sosial dan Politik, setelah itu isu Pariwisata dan Kuliner. Sementara itu laman media yang sering dikunjungi dari hasil riset data kami yaitu CNN menduduki peringkat pertama dan kemudian di peringkat kedua adalah Tirto. Dari riset, ini dapat membuktikan bahwa media online telah bertransformasi menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat. Riset tersebut juga merupakan cerminan bahwa kepercayaan publik terhadap pemilihan media sebagai jembatan atas penyampaian informasi ditunjukkan pada hasil lebih tinggi.
Penulis: Agilia An’amta dan Suti Mega Nur Azizah
Infografis: Widhi Hidayat
Penyunting: Mita Berliana