Jika kita membicarakan tentang korupsi memang tidak akan pernah ada habisnya. Dari siapa yang bertanggung jawab sampai bagaimana korupsi itu selau meracuni moral bangsa Indonesia. Banyaknya koruptor juga tidak lepas dari peran pendidikan yang ada pada jenjang sekolah ataupun pendidikan yang tertanam pada keluarga sejak kecil. Kebiasaan berbohong yang di ajarkan oleh para orang tua memicu salah satu bibit-bibit koruptor. Contohnya seperti ini, ada orang tua bilang ke anaknya “nak nanti kalau ada yang mencari mama, bilang yaa mama sedang keluar” padahal si mama sedang asyik-asyik menonton TV di dalam rumah. Secara tidak langsung sang mama mengajarkan berbohong pada si anak. Ketika anak terdidik untuk tidak jujur, maka kebiasaan ini akan membentuk karakternya, apalagi tanpa adanya landasan agama yang jelas.
Sikap tidak jujur akan terbawa pada prilaku di sekolah, contohnya mencontek. Mencontek menjadi hal biasa pada kalangan pemuda jaman sekarang. Sangat miris sekali jika melihat fakta di sekeliling kita yang katanya pemuda itu Agent Of Change. Moral yang terbentuk dari tingkat dasar hingga menjadi mahasiswa saat ini sulit untuk di hilangkan, ditambah dengan kebijakan di Universitas yang mendidik mahasiswa secara tidak langsung untuk korupsi. Seperti fakta yang kita dapat bahwa banyak koruptor adalah orang berpendidikan dan mereka adalah alumni mahasiswa. Walaupun tidak semua alumni maha-siswa adalah koruptor, akan tetapi peraturan yang telah di buat oleh universitas tehadap mahasiswa terkadang meuntut kita untuk tidak jujur. Seperti halnya ketika kita dituntut untuk membuat Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ).
LPJ merupakan laporan setelah kegiatan berlangsung, LPJ tidak hanya di tuntut pada kegiatan kalangan Organisasi Mahasiswa (ormawa) saja, akan tetapi LPJ juga di tuntut pada mahasiswa setelah menjalankan acara kelas seperti Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Yang menjadi masalah di sini adalah ketika mereka melaporkan anggaran dana yang dikeluarkan harus sama persis dengan anggaran dana yang di dapatakan dari fakultas. Padahal pengeluaran dan pendapatan tidak bisa sama persis. Hal ini membuat para mahasiswa berfikir bagaimana cara menanipulasi anggaran dana supaya dana dari fakultas dapat cair sepenuh-nya. Permasalahan seperti ini sering di jumpai pada acar-acara ormawa HMJ ataupun BEM.
Jalan untuk memenuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh universitas salah satunya adalah nota kosong. Mereka menggunakan nota kosong untuk memanipulasi semua anggaran dana agar pas, seperti dana yang telah di keluarkan oleh fakultas. Para birokrat tersebut tidak peduli bagaimana cara kita mendapat kuitansi yang sesuai dengan pengeluaran sebenarnya. Dengan begitu bagaimana pintar-pintar cara kita mendapatkan nota kosong agar dapat memenui peraturan tersebut. Nota merupakan salah satu syarat untuk mengerjakan LPJ, nota yang di setujui oleh para birokrat tersebut adalah nota yang berstempel, beralamat lengkap, nama toko dan nomor telepon. Para birokrat tersebut beralasan agar menghindari dugaan korupsi ketika di periksa Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).
Memang baik cara tersebut untuk menghindari dugaan korupsi untuk para petinggi universitas maupun fakultas, tapi dampak negatif dari hal tersebut adalah bagi para maha-siswa dalam proses pembelajaran. Mereka di ajarkan untuk tidak jujur, ketika mereka menipulasi anggaran-anggaran dana tersebut secara tidak langsung mereka belajar untuk berkorupsi. Hal tersebut akan terbawa ketika mereka menginjak kedalam sosial masyarakat. Jika pemerintah menginginkan negara yang bersih, salah satunya adalah memperhentikan peraturan-peraturan yang membuat mahasiswa terdesak untuk memanipulasi anggaran-anggaran dana. Mungkin dengan hal tersebut dapat mengurangi jumlah koruptor yang semakin merajalela di negara ini.
*Oleh : Devi Puspitasari (Peserta Magang LPM SIAR 2014)