Pencapaian Propaganda oleh Pemerintah Melalui Media

Awal kemunculan propaganda dapat dilacak pada hadirnya komisi propaganda bentukan presiden Amerika Serikat ke-28, Woodrow Wilson yang bernama

Sumber gambar: bukalapak.com

Awal kemunculan propaganda dapat dilacak pada hadirnya komisi propaganda bentukan presiden Amerika Serikat ke-28, Woodrow Wilson yang bernama “Creel Committee”. Pemerintahan saat itu  memiliki keinginan untuk merubah pandangan mayoritas publik yang anti-perang menjadi masyarakat yang haus perang. Lewat propagandanya, komite –yang banyak diisi oleh kaum intelektual– ini berhasil meraih pencapaian luar biasa dalam waktu yang terbilang cukup singkat dan juga memberi jalan bagi keberhasilan-keberhasilan propaganda selanjutnya. Beberapa contoh seperti propaganda yang dilakukan saat masa kampanye pemilihan dan juga slogan-slogan politik demi memperoleh dukungan publik.

Namun, menanamkan satu persepsi yang sama ke dalam suatu masyarakat bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai. Di belahan bumi manapun, pasti ada saja individu atau kelompok yang tidak mudah dipengaruhi oleh propaganda atau dalam istilah lain “kawanan yang sulit untuk dijinakkan”. Praktik penyeragaman berupa pemaksaan atau pembatasan secara langsung pun dirasa bukanlah cara yang tepat. Seperti yang dikatakan Chomsky:

“Untuk itu beralihlah ke teknik propaganda. Logikanya sangat jelas. Propaganda untuk negara demokrasi dan garis batas untuk negara totaliter. Cara ini lebih bijaksana dan baik, karena, sekali lagi, kepentingan bersama dapat mengecoh kawanan pandir. Mereka tak mampu memecahkan teka-teki seperti itu.” (Chomsky, 2017:11-12)

Akan tetapi, bukan berarti dalam suatu praktik propaganda tidak ada pembatasan yang dilakukan. Pembatasan terhadap masyarakat tetap ada, hanya saja bukan pembatasan ala negara totaliter. Hal ini dapat dilihat pada era 1980-an saat presiden Reagan berkuasa. Ketika itu, lebih dari separuh masyarakat Amerika Serikat tidak menyetujui kebijakan-kebijakan Reagan. Namun, tidak ada pengaruh signifikan yang terjadi dikarenakan keberhasilan rezim tersebut dalam membatasi publik. “Selama publik terus dibatasi, dialihkan perhatiannya dan tidak punya akses untuk berorganisasi atau menyatakan sentimennya, atau bahkan untuk mengetahui kalau orang lain juga menyimpan sentimen yang sama, keadaan tidak akan berubah.” (Chomsky, 2017:22)

Adanya pembatasan seperti ini, akhirnya menghambat ruang gerak masyarakat yang kritis terhadap pemerintah. Menurut Chomsky dibatasinya akses mayarakat, terlebih akses untuk berkumpul dan berorganisasi, membuat individu-individu yang kritis jadi merasa seperti orang aneh. Perlu diketahui bahwa sosial media masih belum eksis saat Chomsky menuliskan pandangannya ini. Media pemberontakan yang menjadi akses untuk berdiskusi perihal politik serta melakukan aktivitas pemberontakan saat itu kebanyakan berasal dari gereja-gereja atau serikat-serikat. Dari periode 1930-an selalu ada aktivitas pemberontakan yang menentang kebijakan pemerintah. Namun, aktivitas semacam ini selalu bisa diredam, salah satunya dengan kekuatan propaganda.

Banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk meredam segala bentuk aktivitas yang mereka sebut sebagai “krisis demokrasi” ini. Salah satu cara yang paling sering dilakukan, khususnya di Amerika Serikat, ialah “rekayasa opini”. Rekayasa opini ialah cara yang dilakukan agar publik mau mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama jika publik tidak peduli atau berseberangan dengan kebijakan tersebut. Salah satu contohnya ialah memunculkan musuh bersama dan histeria ketakutan dalam masyarakat agar mereka mau mendukung negaranya terjun dalam perang. Praktik seperti ini dapat dilihat dari respon masyarakat Amerika Serikat terhadap terlibatnya negeri Paman Sam dalam perang dunia I dan II, perang Vietnam, invasi ke wilayah-wilayah Amerika Selatan dan Timur Tengah, dan intervensi-intervensi militer lainnya. Selain merekayasa opini, pemerintah juga melakukan apa yang disebut Chomsky “representasi sebagai kenyataan”. Demi memperoleh dukungan publik, pemelintiran sejarah merupakan pekerjaan wajib bagi pemerintah. Segala bentuk peristiwa sejarah yang dirasa dapat menjadi penghalang bagi kebijakan pemerintah direkonstruksi sedemikian rupa. Banyak masyarakat Amerika Serikat yang masih percaya bahwa negaranya terancam oleh kehadiran kelompok teroris, sehingga aktivitas militer di wilayah Timur Tengah dirasa memang perlu dilakukan. Banyak dari mereka yang sebenarnya tidak mengetahui bahwa jutaan rakyat tidak bersalah menjadi korban keganasan aktivitas tersebut. Peran media dan sistem pendidikan turut andil dalam membantu pemerintah untuk menjaga publik tetap pada tempat dan cara berpikir yang semestinya.

Cara propaganda lain yang dilakukan oleh pemerintah, lewat bantuan media, ialah dengan menciptakan berbagai jenis hiburan yang dapat menghipnotis masyarakat. Selain harus menuruti kemauan pemerintah, publik juga harus dijaga agar tidak kritis terhadap pemerintah. Terciptanya masyarakat yang apatis juga dirasa penting. Berbagai macam produk buatan media dimasukkan ke dalam masyarakat agar perhatian mereka tetap teralihkan. Mengalihkan perhatian masyarakat juga dapat mencegah mereka agar tidak berpikir atau bertindak lebih jauh disaat rasa skeptis terhadap pemerintah mulai muncul dalam benak mereka, dan menjaga kawanan kritis –yang jumlahnya tidak banyak– ini agar tetap relevan dengan keadaan mayoritas publik.

Jika praktik-praktik propaganda di atas masih kurang efektif –walaupun sebenarnya sudah cukup efetif– pemerintah masih dapat menggunakan suatu cara yang di dalamnya media memainkan peran yang sangat penting. Chomsky menyebutnya “diskriminasi persepsi”. Di dalam buku ini Chomsky memaparkan narasi yang terjadi pada tahun 1986 untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan diskriminasi persepsi. Presiden Reagan pada saat itu menggunakan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai alat propaganda untuk memberi citra buruk terhadap pemerintahan Fidel Castro. Pemerintah Reagan menggandeng media-media besar yang menjadi rujukan utama publik Amerika Serikat sebagai motor penguatnya. Media arus utama Amerika beramai-ramai membuat headline provokatif yang menyerang pemerintahan Castro, walaupun belum ada bukti kuat perihal apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, di suatu tempat di wilayah Amerika Tengah, di tahun yang sama, terjadi kasus pelanggaran HAM berat yang menimpa para aktivis HAM. Laporan-laporan rinci soal kasus ini telah menyebar keluar, namun media-media saat itu menolak untuk meliputnya dan akhirnya kasus tersebut terkubur bersama para korban-korbannya. “Kejadian ini memperlihatkan Anda bagaimana sebuah rekayasa opini bekerja dengan baik.” (Chomsky, 2017:38)

Kejadian di atas hanyalah salah satu dari sekian banyaknya praktik diskriminasi persepsi atau rekayasa opini yang telah dilakukan oleh pemerintah dan juga media. Isu-isu atau permasalahan –yang dapat membantu propaganda pemerintah– terus diperlihatkan dan diperbincangkan ke hadapan publik, walaupun kadang bukanlah isu yang serius atau bahkan merupakan isu yang telah direkayasa. Sementara itu, isu yang dapat atau berpotensi memberikan dampak buruk terhadap suatu pemerintah akan sangat sulit untuk mendapatkan tempat di hadapan publik –bahkan jika isu tersebut menyangkut soal kejahatan suatu negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA