Perlukah Pemerintah Menjadi Tuli?*

Anak tunarungu adalah anak yang memiliki keterbatasan pendengaran maupun tidak dapat mendengar sama sekali meskipun menggunakan alat bantu

Anak tunarungu adalah anak yang memiliki keterbatasan pendengaran maupun tidak dapat mendengar sama sekali meskipun menggunakan alat bantu dengar. Anak tunarungu memiliki kemampuan bahasa yang lebih rendah dari anak normal dengan usia yang sama. Mereka memiliki kesulitan memahami kata kiasan, dan kata-kata yang bersifat abstrak. Seperti mimpi, janji, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan mereka tidak pernah memiliki simpanan bunyi. Kemampuan bahasa mereka terbatas pada Bahasa Indonesia sederhana berupa yang kata dasar tanpa imbuhan.

Bahasa isyarat adalah bentuk komunikasi utama anak tunarungu. Bahasa isyarat dipelajari secara alami oleh anak melalui gerakan tangan sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang di sekitarnya. Bahasa isyarat alami anak tunarungu ini disebut BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). Dengan Bisindo inilah anak tunarungu saling berkomunikasi dan bertukar pikiran.

Namun pemerintah memiliki kebijakan menciptakan bahasa isyarat lain, yaitu SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). SIBI bisa disebut Bahasa Indonesia yang diisyaratkan. Sibi berbeda jauh dari Bisindo, baik dari segi isi maupun sistemnya. Bahkan abjadnya juga berbeda. Perbedaan lain adalah pada Bisindo menggunakan acuan kata dasar sedangkan pada Sibi menggunakan kata dasar disertai imbuhan. Misalnya kalimat ibu membacakan buku. Pada Bisindo isyaratnya adalah ibu baca buku. Sedangkan pada Sibi isyaratnya adalah ibu me-baca-kan buku. Bagi anak tunarungu Sibi sangat rumit mengingat kemampuan bahasa yang dimiliki. Selain itu Bisindo sudah menjadi bahasa ibu mereka yang tidak terganti dan Bisindo juga selalu digunakan dalam perkumpulan sesama tunarungu.

Sebelum Sibi, pemerintah menerapkan kebijakan oral atau gerak bibir untuk komunikasi di sekolah-sekolah tunarungu. Namun kebijakan ini kurang efektif. Anak tunarungu tetap menggunakan Bisindo sebagai komunikasi utama. Dikarenakan oral kurang praktis dan harus di-eja per suku kata. Dan setelah itu pemerintah menciptakan Sibi untuk menggantikan Bisindo.

Pemerintah tidak mengakui Bisindo sebagai isyarat resmi Indonesia. Namun alangkah baiknya jika pemerintah membuat kebijakan dengan mempertimbangkan keadaan para penyandang tunarungu. Apalagi kebijakan itu tentang mereka. Apakah pemerintah harus menjadi tuli terlebih dahulu agar mereka merasakan apa yang dirasakan oleh para penyandang tunarungu terkait kebijakan yang mereka buat?

*Oleh: Imai Larasati (Peserta Magang LPM SIAR 2014)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA