Telah dikisahkan dalam banyak sejarah peradaban umat manusia, bahwa pemuda selalu memegang peranan penting dalam revolusi. Pemuda itu tergambar jelas dalam sosok mahasiswa yang kini eksis dalam dunia pendidikan maupun politik. Dalam aksi demo menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law yang beberapa waktu lalu mencuat, mahasiswa adalah penggeraknya—di samping buruh. Sebelum itu, mahasiswa di banyak wilayah di Indonesia juga menggelar aksi menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019, dengan menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan elite politik lainnya. Atau bahkan jauh ke belakang, yakni aksi demo pada tahun 1998 yang menjadi pemicu reformasi.
Baru-baru ini pun, mahasiswa kembali unjuk gigi di hadapan pemerintah dan rakyat, dengan mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap keliru dan absurd. Sebut saja akun media sosial BEM UI yang pada 26 Juni lalu mengunggah meme untuk mengkritik kebijakan Presiden Jokowi yang dinilai penuh dengan kebohongan dan bualan. Meme berjudul The King of Lip Service itu menuai respon keras dari sejumlah pihak yang merasa tak sepakat. Mulai dari akun pengurus BEM UI yang diretas, pengurus BEM UI yang dipanggil pihak rektorat, dan tudingan yang dilontarkan oleh politisi sekaligus dosen Ilmu Komunikasi UI, Ade Armando, yang mengatakan bahwa BEM UI melakukan kekeliruan dalam meriset kondisi perpolitikan Indonesia, yang berujung pada “kritikan yang salah tempat”.
“Kekerasan” yang dialami BEM UI tersebut membuat rakyat—khususnya mahasiswa—geram. Negara demokrasi mestinya memberikan jaminan keamanan bagi siapa saja yang menyuarakan kritik. Namun saat kritik itu disuarakan, malah dilibas dengan tuduhan “kritik yang salah tempat” dan “tidak memenuhi kode etik”. Belum lagi pihak kampus yang independensinya makin terlihat menurun, bukannya membela dan mendukung mahasiswanya yang menyuarakan kebenaran, tetapi justru menciutkan dan menenggelamkan suara mereka. Bukan pihak luar, melainkan kampus sendiri yang berusaha untuk membungkam kebenaran itu. Inilah kenyataan perpolitikan di negeri tercinta ini, di mana kekuasaan makin hari makin mereduksi kepercayaan rakyat.
Tak tinggal diam ketika BEM UI ditekan, BEM UGM menyuarakan aksi lawan pembungkaman. Tindakan aksi yang dilakukan oleh BEM UGM ini pun diikuti oleh sejumlah BEM universitas lainnya di Indonesia, seperti BEM Unpad, BEM Universitas Yarsi, BEM KM Universitas Sriwijaya, dan BEM Unair. Mereka sepakat bahwa beberapa kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Jokowi memang tidak sesuai dengan apa yang ia janjikan ketika berkampenye dulu.
Kritikan kepada pemerintah makin panas, ketika BEM KM Unnes mengunggah meme berisi kritikan yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, Wapres Ma’ruf Amin, dan Puan Maharani pada 6 Juli lalu. Dalam meme yang diunggah, bukan hanya melabeli Jokowi sebagai The King of Lip Service, BEM KM Unnes juga melabeli Ma’ruf Amin sebagai The King of Silent dan Puan Maharani sebagai The Queen of Ghosting. Pasalnya, dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja, Wapres Ma’ruf Amin justru terkesan diam, alih-alih menjadi poros kedua—di samping Presiden Jokowi—dalam membangun mindset dan kebijakan yang baik. Sedangkan Ketua DPR, yakni Puan, yang memiliki peran vital dalam pengambilan keputusan perundang-undangan negara, justru banyak mengurusi undang-undang yang dianggap tidak memiliki urgensi, bahkan tidak diperlukan dan malah menyengsarakan rakyat. Sayangnya, aksi BEM KM Unnes tersebut kembali mendapatkan pembungkaman dan penjegalan dari sejumlah pihak, berupa peretasan dan penghapusan akun media sosial BEM KM Unnes serta adanya pemanggilan dari pihak birokrasi kampus.
Hal tersebut di atas tentu makin membuat geram. Kritik yang berdasarkan fakta justru dibungkam dan dikecam oleh negara, buzzer, dan kampus. Sungguh sangat disayangkan, pengebirian dan pendangkalan intelektualitas kini rentan dialami oleh mahasiswa. Padahal, kesadaran komunal di antara mereka telah makin nyata dan makin kuat. Mahasiswa yang dulu bak kehilangan taringnya dan dianggap tidur oleh sebagian pihak, kini mulai muncul. Jelas, peran dan fungsi mahasiswa sebagai social control dan agent of change kini telah dirasakan kembali. Jika suara mahasiswa dibungkam, di mana letak demokrasi dan kebebasan yang kerap dijanjikan demi terlahirnya generasi muda yang intelek dan melek politik? Bagaimana kemudian peran dan fungsi mahasiswa dapat terlaksana?
Kesadaran politik mahasiswa harus terus ada, bahkan ditumbuhkan ke generasi berikutnya. Jangan sampai kesadaran politik dikebiri sehingga intelektualitas menjadi dangkal. Kebenaran dan tuntutan perubahan harus terus didengungkan, bahkan pergerakan dalam mencapainya harus segera dipersiapkan. Namun, perlu diingat, bahwa revolusi dan perubahan paradigma yang absurd di negeri ini tidak lantas dapat dicapai dengan hanya mengkritik seorang pemimpin, lalu menggantinya dengan individu yang lain. Tentu individu yang baik diharapkan memimpin dengan lebih baik. Akan tetapi selain individu semata, diperlukan rancangan untuk mengganti kebijakan-kebijakan yang absurd menjadi tatanan kebijakan yang baru, komprehensif, dan jauh dari kepentingan segelintir orang. Maka, jangan pernah berhenti berjuang, wahai kalian para mahasiswa, pembawa perubahan dunia! Pastikan diri kalian membawa kebangkitan yang sesungguhnya!
Penulis: Mala Oktavia (Mahasiswa Biologi UM ‘19)
Penyunting: Avif Nur Aida