Ayo Ikut, Tapi Jangan Ikut-Ikutan

Senin, 23 September 2019, untuk pertama kalinya aku ikut aksi selama menjadi mahasiswa kurang lebih 4 tahun. Memang

Dokumentasi/LPM Siar

Senin, 23 September 2019, untuk pertama kalinya aku ikut aksi selama menjadi mahasiswa kurang lebih 4 tahun. Memang ada pro dan kontra pendapat dari orang-orang, khususnya teman-teman sesama mahasiswa tentang cara mengekspresikan diri mahasiswa terhadap negaranya.

Turun ke jalan atau lebih sering disebut demo merupakan salah satu caraku menunjukkan kecintaanku terhadap negaraku. Namun, memang ada beberapa kalimat yang sering digunakan teman-teman yang berbeda cara dengan kita untuk mendebatnya, antara lain:

Orang tuamu bekerja banting tulang di rumah untuk membiayaimu kuliah sementara kamu malah berteriak-teriak di jalan. Kamu dikuliahkan untuk belajar biar pintar bukan untuk berkeliaran tidak jelas di jalan.

Kalimat yang seperti itu terkadang membuatku berpikir keras, apakah iya keinginan dari orang tuaku seperti itu ? Apakah iya demo itu tidak ada gunanya? Apakah ketika aku bilang pada orang tuaku kalau aku ikut demo mereka akan marah dan kecewa? Hal itu tentunya yang terus membayangi pikiranku.

Tapi, pada hari Senin dan Selasa lalu aku memutuskan untuk ikut turun ke jalan, tentunya (belum) atas izin orang tua. Hingga pada Selasa malam bapak telepon dan berkata “nduk, jangan ikut demo lo…” Lalu aku jawab, “Tadi aku sudah ikut demo, Pak, hehe..” Lantas bapakku menjawab, “Kamu baik-baik saja kan?”

“Alhamdulillah baik, Pak.” Tanpa kuduga bapak merespon “Ya udah kalo ikut demo, hati-hati ya”.

Sungguh aku tidak menyangka kalimat terakhir bapak, kukira aku akan dimarahi tapi ternyata malah direstui. Lalu aku tulis ulang dan aku posting percakapanku dengan bapakku di status WhatsApp. Ada beberapa temanku yang menanggapi dan ternyata kasusnya sama, orang tua melarang kita demo karena takut anaknya akan terluka.

Poin penting di sini adalah bahwa sebenarnya orang tua melarang anaknya untuk ikut demo bukan karena mereka menganggap demo itu tidak berguna. Bukan karena demo hanya akan membuang waktu dan tenaga atau sesuatu yang buruk lainnya. Mereka hanya khawatir anaknya akan terluka. Maka, setelah kita membuktikan bahwa bisa menjaga diri dan kepercayaan mereka, serta kita bisa menjelaskan maksud dan tindakan kita, mereka (pasti) akan mengerti dan mendukung kita. Kita tidak disekolahkan atau dikuliahkan untuk pintar saja, tetapi juga untuk menjadi peka dan mengerti keadaan sekitar. Bapak juga pernah suatu kali berkata, “Kamu tak sekolahkan untuk mengerti, pintar itu bonus.”

“Kamu itu mahasiswa, harusnya bisa mengkritik dengan cara yang akademis dan elite.” Sementara itu adalah salah satu kalimat lagi yang sering saya lihat dan dengar dari teman saya sesama mahasiswa.

Itu yang membuat saya berpikir, cara yang akademis itu seperti apa? Teman-teman sudah seing mengkritik lewat tulisan, baik berupa opini, feature maupun karya ilmia. Bahkan, teman-teman sudah mengkritik melalui media sosial namun tidak ada respon. Memang mungkin tidak dibaca dan dianggap hanya angin lewat saja. Mau berdialog? Apakah kita diberikan panggung dan jalan? Tentu saja tidak. Bahkan, kita bingung untuk berkomunikasi dengan “mereka” yang katanya adalah wakil dan pemimpin rakyat yang akan menyejahterakan rakyat.

Fenomena yang terjadi di Indonesia kalau mau dilihat dan ditanggapi harus jadi viral dulu. Kalau berteriak seorang diri saja mungkin tidak terdengar atau mereka terlalu tuli untuk mendengar. Maka untuk itu, perlu suatu aksi dan gebrakan bersama. Berteriak lebih keras dan lantang agar mereka bisa mendengar, kemudian melihat keresahan masyarakat yang disuarakan oleh para mahasiswa. Oh iya, sebenarnya mahasiswa tidak hanya mewakili suara kegelisahan rakyat saja. Mahasiswa juga rakyat, rakyat Indonesia dan ini adalah kegelisahan mereka.

Foto: Yunis

“Daripada kamu mengkritik saja, lebih baik kamu belajar supaya berprestasi agar bisa membangun neegri ini”. Sebaris ucapan lain yang kerap kudengar.

Oke, mungkin dari sini pandangan dan cara kita mencintai negara berbeda kawan. Ketika aku berpikir saat ini aku akan diam dan mereka bebas memutuskan, aku takut negara ini akan jadi apa nantinya. Apakah ketika aku sudah siap dan prestasiku sudah banyak, negara ini masih ada? Apakah ketika aku diam dan hanya melihat apa yang mereka putuskan saat ini, hidupku di masa depan akan baik-baik saja?

Tidak semudah itu kawan, menurutku itu berkaitan langsung ketika saat ini mereka memutuskan itu bukan buat mereka sendiri, tapi juga untuk generasi selanjutnya, masa depan kita. Mereka yang membuat dan memutuskan tapi kita yang menjalankan. Apakah dengan mendapat piala, prestasi secara akademik dan yang sejenisnya bisa membuat terlepas dari sistem? tentu saja tidak. Jika dibiarkan dan tidak dilawan itu akan menjeratmu dan aku di masa depan. Oke kita buat kesepakatan saja, selagi kamu berusaha untuk memantaskan diri, aku akan mendoakanmu sambil menjaga negri ini agar ketika nanti kamu sudah siap dan pantas, negeri ini masih ada untuk kamu perbaiki.

Kembali membahas tentang aksi mahasiswa turun ke jalan, ada pro dan kontra baik dari masyarakat maupun sesama mahasiswa itu sendiri. Perlu dijelaskan sekali lagi bahwaiIni adalah soal pilihan, soal jalan apa yang kita tempuh. Tujuan kita sama tetapi bungkusnya saja yang berbeda. Bukankah harusnya kita bisa saling mendukung? Terlebih lagi bisa saling mengingatkan ketika kita mulai menyimpang dari jalan yang kita pilih. Ketika memilih jalan pun harus ada alasan kenapa kamu memilihnya dan tau resikonya. Kalau mau ikut, ayo! Tapi jangan ikut-ikutan.

Penyunting: Rizka Ayu Kartini

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA