“Mohon izin tidak masuk hari ini, karena saya sakit LGBT”

Akhir 2018 lalu, aksi tentang ruqyah massal yang digencarkan Pemerintah Kota (Pemkot) Padang untuk ‘menyembuhkan’ komunitas Lesbian, Gay,

Foto: Dok. Siar

Akhir 2018 lalu, aksi tentang ruqyah massal yang digencarkan Pemerintah Kota (Pemkot) Padang untuk ‘menyembuhkan’ komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) marak beredar di kanal maupun portal berita online. Hal itu memang benar adanya, Komunitas LGBT ditangkap paksa oleh Satpol PP berdasarkan instruksi Walikota Padang dalam rangka memberantas perilaku maksiat dan LGBT yang dianggap sebagai penyakit.

Penyakit tersebut disinyalir datang karena adanya gangguan jin yang masuk dalam tubuh manusia. Sehingga, praktik ruqyah yang biasanya dilakukan untuk mengobati penyakit jasmani seperti arthritis dan asma, hingga persoalan lain seperti kegagalan bisnis, insomnia atau kesurupan perlu dilakukan untuk menuju ‘Padang Bersih Maksiat’.

Wacana soal LGBT tentu saja bukan hal yang baru, apalagi di Indonesia. Bahkan sebenarnya hal tersebut sudah ada sejak dahulu kala. Kita dapat melihat dalam budaya beberapa suku di Indonesia sendiri, seperti bagaimana kultur warok dan gemblak dan suku Bugis yang meyakini 5 gender dalam budaya mereka.

Jauh hari sebelum LGBT menjadi wacana publik seperti ini, ranah privat adalah tempat baginya. LGBT, entah orang itu gay, homoseksual ataupun lesbian adalah urusan pribadi.  Namun, ketika sudah memasuki ranah publik seperti saat ini, LGBT menjadi sebuah topik yang selalu diperdebatkan.

Itu semua karena Indonesia sendiri memiliki banyak keberagaman suku dan budaya. Selain itu Indonesia sendiri adalah negeri dengan mayoritas umat Islam. Apabila ditilik dari ajaran agama sendiri, praktek LGBT adalah sesuatu yang dikecam atau diharamkan. Selain berbenturan dengan agama, benturan norma sosial dan hukum pun masih membuntuti. Seyogyanya manusia berpasangan sebagaimana pada umumnya, laki-laki dan perempuan, Budi dan Ani bukan Budi dan Bambang.

Klaim-klaim normatif yang menentang kaum pelangi akan terus ada di Indonesia. Beberapa solusi yang sekiranya dapat dibangun sejak dini adalah mengedukasi diri (terlebih dahulu). Bahwa LGBT atau tidak, itu adalah masalah pribadi, menjadi hak bagi orang-orang untuk bersikap sesuai kapabilitas dan nalurinya.

Tak terkecuali solusi bagi lembaga formal maupun informal seperti institusi pendidikan dan sebagainya, juga kepada media, untuk terus memberikan edukasi yang konstruktif tentang LGBT. Bukannya malah mengemas berita dan isu sensasional yang menggiring opini publik untuk mendiskreditkan kaum minoritas tersebut.

Lantas, LGBT itu penyakit atau bukan?

Semula, berdasarkan kajian yang dilakukan Lembaga Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), Transgender masuk dalam daftar Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD).

Namun sejak 2018 yang termuat dalam laporan kesehatan terbarunya ICD-11: Classifying disease to map how we live and die, WHO kini tidak lagi mengklasifikasikan transgender sebagai gangguan mental atau penyakit melainkan sebagai kondisi kesehatan seksual.

Sudah jelas bahwa LGBT bukanlah penyakit yang harus dibasmi atau disembuhkan, karena LGBT bukan penyakit maka tentu saja tidak dapat menular. Maka tidak sepatutnya bagi kita untuk memberikan diskriminasi atau perlakuan ‘khusus’ bagi mereka yang sudah bersusah payah memupuk keberanian untuk ‘coming out’.

Logikanya, bila LGBT itu penyakit, kenapa tidak ada layanan kesehatan baginya? Kenapa BPJS tidak bisa meng-cover ‘penyakit’ tersebut?

Mungkin, LGBT itu penyakit yang mana kalau kita mengaku ‘mengidapnya’ bisa jadi kita bukan hanya diberi izin sakit tidak usah masuk kuliah atau kantor. Melainkan, diberi izin keluar dari kampus atau kantor sekalian. Itulah kenapa kita tidak bisa izin tidak masuk kuliah/kerja karena LGBT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA