“Mahasiswa yang terlampau masuk kampus terlebih dulu dari adik-adiknya bukan tidak mau punya angkatan penerus yang ekspresif dan kritis. Masalahnya, kalau ekspresif nanti saja, jangan di depan saya, dan kalau kritis jangan kepada saya.”
Ratusan mahasiswa baru suatu fakultas dari universitas terkemuka sebuah kota pelajar dikumpulkan dalam satu gedung. Dalam ritual wajib bagi mahasiswa baru ini didatangkan seorang pakar dan diperkenalkanlah deretan gelar pendidikan yang disematkan kepadanya berserta daftar panjang karier ilmiahnya. Anak-anak muda ini tidak memperdulikannya. Sama seperti kesehariannya yang tak begitu peduli peredaran matahari yang bertugas agar kehidupan tetap dimungkinkan bagi mereka.
Mereka membagi diri dalam berpuluh suasana individu dan bergerombol. Menghidupkan temanya masing-masing, dan “alam hura-hura” atau “psikologi gang-gang”, tidak ikut terhenti oleh formalitas agenda atau bahkan oleh pembacaan ayat-ayat Tuhan. “Saya tidak akan berceramah pada anda, meskipun dalam pertemuan pagi ini kita disuguhkan dengan tema-tema besar yang kalimatnya berlapi-lapis sehingga susah dipahami. Saya yakin anda semua tak suka hal-hal yang muluk-muluk.” Sang pakar memulainya. Terlihat lagat merayu, sepertinya ia sudah siap menyesuaikan diri dengan takaran forum.
Tapi mahasiswa baru itu terus saja menenggelamkan diri dalam tema Studium Generale mereka masing-masing. “Saudara-saudara!” sang pakar meningkatkan nada suaranya. “Saya ingin berangkat dari aspirasi anda. Dan saya sangat membatasi obsesi-obsesi saya sendiri. Marilah kita mengobrol sesantai mungkin…”
Tetap saja tidak ada yang berubah dari air muka mahasiswa-mahasiswa baru itu.
“Siapakah anda? Murid atau Murad? Murid adalah orang yang menghendaki. Murad adalah orang yang dikehendaki. Siapakah Anda pagi ini di acara ini? Apakah Anda datang kemari karena menghendaki sesuatu yang barangkali bermanfaat bagi proses studi Anda nanti, ataukah sekadar hadir karena dikehendaki oleh pihak yang mengatur Anda di kampus ini?”
Wajah mereka masih saja kosong. Tidak ada jawaban yang muncul bagi pertanyaan random dari sang pakar. Sesekali ada yang menjawab namun tak cukup untuk menolong forum tersebut agar tetap hidup. Sang pakar terus menghujani mereka pertanyaan-pertanyaan yang tak kalah menohok dengan tetap berusaha sedemokratis mungkin. Berharap pertanyaanya mendapatkan atensi yang tinggi dari para mahasiswa baru.
Setelah sekian lama tak seorang pun membuka mulut, pakar kita meledak. “Jadi apa sebenarnya yang Anda kehendaki dari forum ini? Anda ingin saya mengucapkan seribu kalimat dan Anda akan sibuk mencatati satu dua bagiannya agar memperoleh sertifikat?”
Wajah mereka tak mengungkapkan “diri” apa pun. “Apakah Anda ini enthung?” Pakar kita semakin meledak. Dia mulai benar-benar kalah.[1]
Apa yang kita pikirkan setelah membaca penggalan cerita ini, tentang mahasiswa yang cuek bebek ? Apatis? Acuh tak acuh ? Tidak ekspresif? Atau kita juga mengiyakan bahwa ritus seperti ini, dalam setiap agenda penyambutan mahasiswa baru memang sangat membosankan dan wajar saja kalau “mahasiswa” yang sudah tak sekadar “siswa” ini bersikap apatis dan terkesan acuh tak acuh.
Dalam kurun waktu kurang lebih empat tahun terakhir, penyambutan mahasiswa baru berubah drastis. Setelah pada masa orientasi sebelumnya, mahasiswa baru harus datang ke kampus ketika hari masih gelap. Kini, pukul tujuh pagi mereka baru mulai berkumpul. Diisi dengan materi-materi ceramah plus sedikit hiburan lewat video-video promosi kampus yang diharapkan dapat mengurangi rasa kantuk para mahasiswa baru. Penyambutan mahasiswa baru seperti ini menjadi pilihan karena yang sebelumnya, dianggap sudah tidak relevan dan seringkali diwarnai ajang bullying oleh senior mahasiswa kepada juniornya.
Sekilas memang pergantian tata cara ini adalah niat baik yang bisa terlaksana dan patut diapresiasi, sebab kekerasan yang seringkali terjadi pada agenda penyambutan mahasiswa baru nyaris tidak ada –setidaknya di kampus saya sendiri. Tetapi, terlalu dini untuk mengatakan bahwa metode ini sudah berhasil terutama dalam menciptakan karakter intelektual bagi mahasiswa. Sebab dalam prosesnya tidak banyak menyentuh hal substansial dalam pembentukan karakter.
First impression yang diciptakan melalui penyambutan mahasiswa baru memang menjadi sangat penting, selain akan menggambarkan bagaimana karakter mahasiswa lama dari sebuah kampus, –secara inheren menggambarkan kualitas kampus itu sendiri – kesan pertama yang dilihat oleh mahasiswa baru sedikit banyak juga berpengaruh terhadap bagaimana pengambilan sikapnya dalam berkehidupan di perguruan tinggi dan di masyarakat sebagai “mahasiswa”.
Pada penggalan kisah di atas kita menemukan sebuah generasi yang sama sekali tidak ekspresif. Mereka seakan tidak tahu terhadap dirinya sendiri. Di kelas, dosen atau guru mungkin tidak jarang menemukan murid-murid yang jika ditanya diam saja. Sesekalinya menjawab hanya potongan kata bagian belakang setelah diejakan. Adalah budaya mendikte yang masih ada dan dirawat baik oleh setiap elemen di perguruan tinggi bahkan oleh mahasiswa sendiri.
LIHAT JUGA: MABA FE DIHIMBAU BISU, ASAS DEMOKRASI PKKMB DIPERTANYAKAN
Beberapa waktu lalu, seorang kakak senior (mahasiswa lama) memerintahkan para mahasiswa baru untuk diam saja, tidak bicara apa pun kepada siapapun. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dilakukan oleh seorang pakar pada cerita di atas. Sepertinya mahasiswa seperti ini lebih mengerti apa yang harus dilakukan terhadap para mahasiswa baru. Jika dengan pengalaman dan kapabilitas seorang pakar tidak mampu masuk ke dalam takaran forum ratusan mahasiswa baru. Mahasiswa lama ini bisa masuk ke dalam studium generale adik-adiknya.
Perbedaanya, ada pada masing-masing stadium generale antara sang pakar dan mahasiswa lama. Jika sang pakar sedari awal berusaha memasuki alam mahasiswa baru dengan tujuan untuk menciptakan sebuah karakter. Sang mahasiswa senior sebaliknya, dia berlaku seperti mahasiswa baru berlaku. Karena sejatinya dia tidak benar-benar menginginkan sebuah perubahan. Kalaupun iya, perubahan yang dia angan-angankan hanya menguap lewat ocehan belaka. Namun tidak dalam tindakan.
Sebuah potret statis perihal suatu tindakan yang dianggap ideal. Mahasiswa yang terlampau masuk kampus terlebih dulu dari adik-adiknya bukan tidak mau punya angkatan penerus yang ekspresif dan kritis. Masalahnya kalau ekspresif nanti saja, jangan di depan saya, dan kalau kritis jangan kepada saya. Persis sebagaimana birokrat kampus berlaku.
[1] Kisah ini adalah hasil saduran dari kolom yang berjudul Mahasiswa Baru oleh Emha Ainun Najib dalam Bukunya Slilit Sang Kyai (1991)
4 Responses
Tulisan yang menarik, tapi masih ada beberapa kekurangan, terutama masalah pemenggalan kata.
Selain itu, beberapa kalimat juga masih bertele-tele dan kurang efektif, misalnya “Sekilas memang pergantian tata cara ini adalah niat baik yang bisa terlaksana dan patut diapresiasi, sebab kekerasan yang seringkali terjadi pada agenda penyambutan mahasiswa baru nyaris tidak ada –setidaknya di kampus saya sendiri”.
Kalimat diatas bisa disederhanakan menjadi “Perubahan tata cara tersebut patut diapresiasi, sebab kekerasan yang kerap terjadi saat ospek sudah tidak lagi ditemui, setidaknya di kampus saya sendiri”
Sebenarnya masih ada beberapa koreksi, tapi keseluruhan tulisan ini sangat patut diapresiasi.
Salam Persma
Terimakasih atas sarannya. 🙂