Bandung merupakan perpaduan sejarah dan budaya masyarakat yang beragam. Hal yang terlintas ketika menjajaki tempat ini adalah destinasi wisata yang banyak diagungkan masyarakat dan sebuah struktur kota yang memiliki daya tarik bagi turis. Sebuah daya pikat yang tidak hanya sekadar meminta tuk bersinggah, tetapi juga untuk menetap lebih lama.
Seberapa jauh kita paham bagaimana keadaan yang kita lihat melalui kenampakan di muka dengan keadaan sebenarnya yang tidak diceritakan orang-orang? Masyarakat berpandangan dan menilai jika semua rekam jejak akan keharmonisan dan perkembangan kota, menjadi titik kesejahteraan masyarakat. Masalah penggusuran, belum sepenuhnya dipahami oleh kebanyakan orang. Hal itulah yang kini menjadi titik persoalan, tentang bagaimana Bandung melawan penggusuran kota dan menolak rumah deret sebagai master plan pemerintah.
Polemik Penggusuran Tanah Tamansari
Tamansari Bandung adalah bagian kecil dari penataan kota yang gencar digalakkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Pembangunan kota itu berangkat untuk merealisasikan progam Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang menargetkan 256 kota/daerah di Indonesia. Pada 26 September 2017, keluar Surat Keputusan (SK) Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung Nomor 538.2/1375A/DPKP3/2017. SK tersebut berisi tentang penetapan kompensasi bangunan, mekanisme relokasi, dan pelaksanaan pembangunan rumah deret di Kelurahan Tamansari.
Tata cara penerbitan SK tersebut menjadi objek gugatan warga Tamansari, karena tidak mencakup hak-hak warga dalam mekanisme dan penerbitannya. Namun, gugatan yang diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tersebut tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim dengan dalih bahwa gugatan tersebut bukan menjadi ranah kewenangan PTUN.
Dengan keberhasilan Pemkot Bandung memenangkan gugatan, akhirnya proses pengosongan wilayah Tamansari RW 11 pun dilakukan melalui penerbitan surat peringatan. Warga terpaksa harus angkat kaki dari tempat tinggal yang telah menjadi bagian hidup mereka selama beberapa tahun lamanya. Sebagian warga masih bersikukuh untuk mempertahankan tempat tinggalnya, sambil terus menunggu hasil banding atas keputusan PTUN sebelumnya.
Setidaknya selama proses pengajuan banding belum menghasilkan keputusan terkahir, warga masih akan terus bertekad untuk tetap tinggal di wilayahnya. Hal lain yang juga menjadi penguat tekad warga untuk bertahan adalah masih diprosesnya pelaporan tindak kejahatan lingkungan di Kepolisian Wilayah Jawa Barat.
Terlepas dari itu semua, banyaknya dukungan yang datang dari berbagai elemen masyarakat mulai dari organisasi mahasiswa, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), aktivis lingkungan, para musisi, seniman, supporter Persib Bandung hingga pelajar Kota Bandung, mampu untuk menghimpun semangat warga Tamansari RW 11 dalam mempertahankan ruang hidup meraka.
Program Kotaku dan Anggapan Kumuh
Kumuh, kata yang digadang-gadang sebagai faktor utama Tamansari harus direlokasi, ditolak warga karena pemkot tidak memberikan alasan yang jelas akan penggambaran tempat kumuh. Hal itulah yang menjadi konflik, antara implementasi rumah deret dan anggapan kumuh dari Pemkot.
Pemkot tidak mengandaikan garis besar kata ‘kumuh’ dan tidak menilainya secara objektif. Program yang dijanjikan awal menjadi penggusuran besar-besaran. Yang tadinya kurang lebih 150 Kartu Keluarga (KK), setelah penggusuran tersisa 34 KK, 16 bangunan dan satu masjid yang masih bertahan.
“Kalo rumah deret, (adalah) rumah yang berderet-deret, disusun secara rapih. (Rumah kami) Ini disebutnya kumuh. Kalo kumuh itu acuannya kemana? Rumah kami disebut kumuh itu berdasarkan apa? Tapi kok ketika sebelum ada sosialisasi dengan warga, Ridwan Kamil sudah melelang duluan proyeknya?” ungkap Eva, salah seorang warga yang masih bertahan.
Pada pengesahan SK 6 Oktober 2018 tersebut, Eva merasa bahwa RW 11 bukanlah kampung yang kumuh dan berhak menolak. Menurutnya, banyak prosedur yang harus dijalani untuk menilai suatu kota itu kumuh atau tidak. “Kalo mengenai kumuh kan yang diperlihatkan di SK Pemkot itu RW 20 dan sudah masuk UNESCO. Kan bukan kampung kita, RW 11, tentu saja kita protes. Kok jadi melebar gini penggusurannya,” ujarnya.
Dalam data http://kotaku.pu.go.id saat ini setiap kota di Indonesia sudah memiliki setidaknya 14 dokumen Strategi dan Rencana Induk dalam Perencanaan Permukiman dan atau Penanganan Kumuh. Seluruhnya menginduk kepada Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP). SPPIP diantaranya memiliki induk kelola yaitu: Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kemudian strategi lainya diantara lain adalah Strategi Sistem Sanitasi Kota (SSK), Strategi Sistem Pengelolaan Persampahan (SSPP), Rencana Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan (RKPKP), dan sedang menyusun Strategi of Infrastructure Action Plan (SIAP).
Dalam data di atas, Tamansari Bandung menggunakan progam SPPIP, SKK, dan SIAP. SPPIP merupakan program pengelolaan tata kota kembali dengan mengutamakan kelayakan masyarakat. Selanjutnya, SKK yaitu program untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik di bidang kesehatan terutama masyarakat. Terakhir, SIAP adalah program untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas infrastruktur melalui pemberian layanan secara berkelanjutan. SIAP sendiri merupakan kebijakan World Bank untuk mendukung komitmen baru kepada negara-negara klien atau yang dilayani (negara yang menaruh investasinya di World Bank).
( Baca http://siteresources.worldbank.org/INTSDNETWORK/Resources/SIAP-Final-July08.pdf..)
Pembangunan kota seharusnya memperhatikan kondisi material masyarakatnya. Ridwan Kamil yang menjabat sebagai walikota saat itu, jelas merepresentasikan program ini dengan pendekatan yang humanis. Skenario yang dibuat seakan-akan Rumah Deret adalah hunian yang ideal bagi masyarakat kota. Bandung menawarkan imajinasi berbagai kelompok, tetapi tidak mengindahkan kekhawatiran yang masyarakat terima setelah menjalankan progam Kotaku. Warga Tamansari sendiri yang hidup layak dan berkucupan, apakah jika menerima SK nanti akan menyewa tempat tinggal untuk keberlangsungan hidup mereka?
Tamansari Melawan
Kehendak warga dengan kehendak Pemkot yang tak kunjung menemukan titik temu menjadi masalah, polemik terjadi begitu warga mampu membaca situasi akan implementasi program Pemkot tersebut yang malah cenderung menciderai dan mendiskriminasi hak asasi warga. Meskipun warga dijanjikan akan adanya relokasi, namun persoalan sengketa antara kedua pihak dinilai tidak objektif karena malah terkesan memperjualbelikan tanah warga.
Dari data Tamansari Melawan, pada 1969 Warga Tamansari mendapat sebidang tanah dengan ukuran tertentu (Persil) oleh Dinas Perancangan dan Perencanaan Kotamadya Bandung dengan menyebutkan status tanah adalah tanah negeri bebas.
Kemudian status dan hak milik daerah Tamansari semakin jelas. Keputusan Presiden (Kepress) No 32 Tahun 1979 Tentang Kebijakan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat pada Pasal 5 yang berisikan ‘Tanah-tanah perkampungan bebas Hak Guna Bangunan (HGB) dan hak pakai asal konvensi barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki oleh rakyat akan di prioritaskan oleh rakyat sepenuhnya’.
Dari data yang semakin kuat diatas, seharusnya warga punya jaminan yang kuat akan hunian yang menjadi hak mereka. Namun, itu bukan lah jaminan, karena rakyat hanya bagian kecil dari nafsu pemerintah. Sebagian daerah Tamansari sudah digusur dan prosesnya berhenti. Hanya beberapa persen yang bertahan. Saat ini warga bertahan masih was-was, termasuk warga RW 11 Tamansari yang terus melawan Pemkot Bandung untuk hak hidupnya.
“Klaim mereka tanah RW 11 itu tanah Pemkot. Kan kita tahu bahwa itu kesalahan. Jika melihat peta interaktif dari data Badan Petahanan Nasional (BPN) bahwa tanah disini adalah tanah negara bebas. Kalo mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 bahwa warga yang menempati secara fisik, memelihara lingkungan dengan itikad baik, seharusnya diberikan legalisasi tentang sertifikasi,” tegas Eva.
Jika menyoal hak untuk menolak, Tamansari RW 11 seharusnya lepas dari ‘SK Kompensasi, Relokasi kembali, dan pembangunan rumah deret’ karena Taman Sari sudah memenuhi prosedur UUPA No 5 Tahun 1960. Eva sendiri berani menentang Ridwan Kamil yang kala itu menjabat sebagai Walikota Bandung.
“Saya pernah bilang juga pada Ridwan Kamil ‘kalo akang tidak mau terjerat oleh hukum, dengan aturan yang dibuat sendiri, akang seharusnya memberikan kesempatan kepada warga untuk sertifikasi dulu dan keterbukaan informasi’, tapi kenapa warga yang jadi disalahkan? sedangkan warga tau ini hak warga. Ya seharusnya dikembalikan dong ke warga,” ujar Eva.
Mengutip kata Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Jejak Langkah (1985) “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”. Kata magis dari Novel Memoar Satu Bangsa tersebut menumbuhkan semangat untuk perlawanan. Dengan berpegang pada kebenaran dan hak asasi manusia untuk hidup, narasi dan proses hukum mereka lewati, seringkali melakukan demonstrasi, keberanian tumbuh menjadi sesuatu yang saling menyemangati lainya.
Sosok Teh Eva yang Bertahan dan Berjuang untuk Ruang Hidup
Pada hari Sabtu, 13 Januari 2019, reporter LPM Siar berkesempatan mengunjungi Tamansari untuk melihat berbagai kegiatan di daerah bekas reruntuhan akibat penggusuran. Kebetulan pada saat itu, warga Tamansari, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, dan berbagai elemen organisasi mahasiswa serta pelajar Bandung berkumpul di tempat bekas reruntuhan.
Mereka berkumpul untuk menyuarakan solidaritas dengan membuat video solidaritas atas kasus kriminalisasi, fitnah, dan rekayasa hukuman bersalah Heri Budiawan alias Budi Pego, seorang aktivis lingkungan asal Kota Banyuwangi. Budi Pego yang jauh-jauh datang dari Jawa Timur merefleksikan kembali pentingnya memperjuangkan ruang hidup masyarakat. Berharap semua elemen masyarakat tersebut sama-sama menyuarakan keadilan dalam hak asasi manusia untuk hidup, khususnya untuk warga Tamansari Bandung.
Budi Pego pun sempat meninggalkan pesan pada para peserta aksi solidaritas, “Kita harus menjaga semangat perjuangan ini supaya tidak redup atau mati. Semua manusia, semua mahluk yang hidup, pasti membutuhkan tempat hidup yang layak dan aman,” tuturnya.
Sementara itu, sesosok wanita yang merupakan salah seorang warga Tamansari RW 11 yang masih bertahan, berada dalam kerumunan. Eva Eryani, biasa disapa Teh Eva, ia membagikan pemahaman akan titik awal konflik. Perempuan paruh baya tersebut menganggap ada suatu kesalahan dan kecacatan hukum dalam keputusan rumah deret yang termasuk dalam SK DPKP3 tersebut. Pertama, dalam sosialisasi progam yang direncanakan Pemkot hanya ketua RW yang dilibatkan. Kedua, uang kerohiman atau ganti rugi juga tidak sesuai dengan yang diharapkan warga.
Selama satu tahun lamanya, Eva yang merupakan warga Tamansari Bandung, terus berjuang untuk keadilan. Kegelisahan pasti ada, apalagi mereka berada dalam titik yang tidak sejalan dengan pemerintah. Dari 150 KK , hanya 34 KK, 16 bangunan dan satu masjid yang masih bertahan dari penggusuran. Eva yang tidak berpengalaman sama sekali dengan demonstrasi, pengorganisiran, sampai hukum, akhirnya menjadi sosok teladan dari pengalaman-pengalaman dan penderitaan yang ia rasakan.

Hal-hal penuh tangis, jelas dirasakan oleh warga Tamansari RW 11, jika melihat secara langsung bagaimana bahaya yang dijalani pada hari-hari mereka. Mesin bego telah menjadi sesuatu yang kejam bagi rakyat yang hanya ingin hidup layak. Namun, keberanian merupakan utusan jiwa yang diturunkan oleh Tuhan. Dengan berpegang pada kepercayaan yang penuh, segala perlakuan apapun tak akan menurunkan cita-cita yang diimpikan. Itulah yang membuat Eva berani, menyerukan hak hidupnya. Ia pun menceritakan sebuah narasi ketika alat berat memberangus tempat tinggal warga setempat.
“Ketika mesin bego datang, semua warga pada pergi. Kepindahan itupun karena terpaksa. Tapi siapa yang benar-benar berani? Hanya Allah yang memilih kita di sini yang sedikit ini,” ucap Eva tanpa menurunkan semangatnya.
Sejak Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jawa Barat, penggusuran tidak terlalu masif. Namun, nasi sudah menjadi bubur, sebagian kampung runtuh, tetapi segala yang diperjuangkan tidak sia-sia. Reruntuhan Tamansari saat ini berubah nama menjadi ‘Kampung Aliansi’. Tempat itu jadi ajang berkumpul, berbagi, ruang seni dan ruang belajar bagi siapapun. Terutama untuk kalangan orang-orang yang pro-demokrasi dan hak asasi manusia. Meskipun bukan hunian yang ideal, Kampung Aliansi dapat merangkai surganya sendiri dengan hubungan yang mereka jalin.
‘Kampung Aliansi’ – Rekonstruksi surga diatas puing kota, senandung kemenangan dengan nada swakelola.(kvn//rzk)