Kehidupan berbangsa memang imajiner, tapi karena itu kita sadar bahwa hidup hanya imajinasi belaka. Ada sebuah cerita menarik yang ditulis oleh Milorad Pavic dalam novel legendarisnya Kamus Khazar. Pada abad ke 9, al kisah ada sebuah bangsa yang hidup di tepi laut hitam. Hari ini, mungkin kawasan sekitar Rusia. Bangsa ini bernama Khazar, yang konon luas kekuasaannya sepertiga luas kuasa Babilonia.
Pada masanya, luas kuasa ini sangat besar, karena untuk mendapat wilayah sepertiga luas Babilon artinya harus berperang dengan orang Badui, kuasa besar seperti Babilon dan kerajaan yang mulai tumbuh seperti Dinasti Islam. Tak pernah ada periwayatan satupun yang jelas mengenai bangsa Khazar ini, maksudnya sepanjang sejarah bangsa Khazar selalu memiliki kisah berbeda-beda tentang sejarahnya tergantung siapa yang menulis dan siapa yang meriwayatkan.
Milorad Pavic merangkum varian periwayatan tentang bangsa Khazar dalam Novel Leksikon. Novel yang bisa dibaca dari mana saja, dari awal, tengah atau akhir takkan mengubah jalannya sebuah cerita. Anda tinggal memilih memulai dari mana dan mampu memutuskan mana cerita yang anda percaya.
Pavic mengambil tiga varian utama kisah tentang ini. Pertama bangsa Khazar berdasarkan periwayatan Islam, kedua Kristen, dan ketiga Yahudi. Masing-masing riwayat memiliki corak bercerita berbeda. Bentuk Khazar versi Kristen memiliki unsur mitologi kuat sebagaimana cara periwayatan kitab Perjanjian, versi Islam seperti model periwayatan hadits yang penuh silsilah, dan Yahudi kurang lebih sama seperti Kristen. Memang anda bebas memilih memulai dari mana dan percaya yang versi apa, tapi yang menarik justru bukan di situ.
Apa yang akan membuat anda tercengang adalah cara pikiran anda ketika membaca novel ini. Seperti kebingungan penulis, akan kebenaran yang ditulisnya sendiri. Pavic bertahun-tahun meneliti tentang “Polemik Khazar” yang dalam teks-teks masa lampau ingin saling membuktikan cerita keberadaan bangsa ini. Hal tersebut dikarenakan akan mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap sejarah yang lampau.
Pavic memulai novel ini dengan perdebatan yang berulang-ulang di kalangan Yahudi, Kristen dan Islam dalam naskah Daubmannus, sebuah naskah yang sebenarnya ditulis setelah bangsa Khazar tiada lagi. Mengapa ketiga agama Abrahamik ini merisaukan persoalan Khazar? Sederhana, jika kebenaran melenceng maka sejarah kisah agama mereka turut melenceng. Dalam kebingungan ini, Pavic menulis kalimat penggalan dari seorang penutur bangsa Khazar yang akan membawa kita masuk ke dalam pintu diskusi tentang problem dalam artikel ini.
Seribu tahun setelah bangsa Khazar dinyatakan hilang, seorang penulis tarikh menulis kalimat kabur yang berbunyi “Setiap orang melenggangkangkungkan pikirannya seperti seorang kera yang mengembara. Ketika membaca, Anda seolah mempunyai dua kera secara bersamaan. Satu ekor kera adalah milik anda dan yang lainnya milik orang lain. Atau lebih buruk, ketika anda membaca naskah sejarah ini bukan dua ekor kera yang muncul, melainkan seekor kera dan seekor hiene. Dua jenis binatang yang berbeda. Pikirkan jika Anda seorang pemilik, maka jenis makanan apa yang Anda berikan, karena seekor kera tidak diberi jenis makanan Hiena. (Pavic, 1989: 14)
Persis seperti Kamus Khazar, bangsa Khazar adalah bangsa terakhir yang ditawari agar masuk ke dalam nilai ajaran agama Abrahamik. Masing-masing ketiga agama Abrahamik mengklaim berhasil melakukan penyucian keyakinan. Hanya saja, kita sebenarnya tak sungguh tahu akhir dari cerita bangsa Khazar penganut agama apa.
Seperti seekor Kera dan Hiena, ketika kita mengatakan Khazar adalah kumpulan umat kristiani, tidak mungkin kita mengatakan mereka adalah umat islam. Puncak atas kebingungan ini, seorang santo dari Konstantin yang kesal membakar catatan Daubmanus karena keraguan sejarah yang dicatat oleh buku ini.
Baca juga: Sanggar Gembira: Kegiatan Menarik di Bekas Kandang Sapi
Dalam hal ini, Khazar persis kasus Indonesia. Di Timur Tengah, orang-orang sudah mengenal aksara melalui peradaban Mesir misalnya. Sementara di Nusantara, aksara baru ditemukan sejak bertemu peradaban Indo-Eropa yang tersebar dari seluruh wilayah selatan.
Sansekerta ditemukan sejauh ini sejak abad 1500 – 2000 abad SM. Sementara Mesir beribu abad sebelumnya. Barulah setelah itu, Lingua-Franca Melayu, Jawa, Sunda dan sebagainya menyebar luas. Dalam hal positif, hal ini menandakan keragaman, tetapi di tengah keragaman sebetulnya banyak mengandung keraguan. Segala bentuk keraguan dalam banyak keragaman saya kira akan mampu melihat bagaimana kita menyaksikan betapa mudahnya bangsa ini melupakan sebuah peristiwa sosial yang berkaitan dengan kebangsaan.
Khazar adalah salah satu contoh kasus sejarah dilema dalam sejarah sekaligus fenomena kebahasaan. Para penulis sejarah, bahkan dibuat gamang atas peristiwa bangsa Khazar. Hanya saja mereka serius menyikapi ketelitian sejarah itu, meski pada akhirnya hasil rekam jejak mereka dibakar.
Tak ada yang lebih serius dari tragedi besar di dunia selain pembakaran buku-buku, kata seorang Pustakawan Brazil Fernando Baez dalam bukunya Pembakaran Buku dari Masa ke Masa. Bayangkan di Indonesia, ada berapa catatan peristiwa yang habis dibakar kekuasaan, atau bahkan belum tercatat sebelum peristiwa itu berlalu. Saya berikan gambaran sedikit.
Pada 26 Agustus 1883 Gunung Krakatau yang biasa saya kunjungi ketika pulang meletus. Total korban letusan berdasarkan catatan majalah History berjumlah 35.500 orang. Di luar data, mungkin jauh lebih banyak. Alasannya karena waktu itu suhu bumi turun sehingga menyebabkan banyaknya gagal panen hampir di seluruh wilayah. Setelah itu, masyarakat pesisir Banten khususnya, mengalami paceklik panjang dan kesenjangan ekonomi akibat Kolonialisme VOC.
Lima tahun berselang, karena letusan menyebabkan paceklik, kesenjangan ekonomi, kelaparan, dan kematian ratusan orang para ulama sufi yang bermukim di kampung-kampung kecil melancarkan pemberontakan terhadap kolonial yang memonopoli sumber penghidupan rakyat. Pecahlah Pemberontakan Petani Banten 1888.
Masih tentang Indonesia dan peristiwa yang serupa dengan Krakatau ialah letusan Tambora. Setengah abad sebelum Krakatau meletus, pada 15 Juli 1815 Tambora meledak hebat. Daya ledak vulkaniknya mencapa VEI-7 atau satu tingkat letusan paling tinggi menurut ukuran ledakan gunung berapi. Dengan kata lain, setingkat lebih tinggi mungkin tanah Nusantara habis tsunami lava. Dunia seketika berubah dingin dan tahun berubah. Tak pernah ada lagi musim panas. Karena musim panas hilang selama bertahun-tahun, masyarakat mengalami masa paceklik panjang.
Apa yang menarik dari keduanya adalah tak ada satupun penulis modern Indonesia hari ini yang mencatat kejadian itu secara utuh. Seolah ingatan kita sebagai bangsa tidak terikat dengan fenomena besar yang kejadiannya justru berada di Nusantara.
Tentang letusan Krakatau misalnya, barulah Sartono Kartodirdjo, bapak historiografi modern Indonesia menulis ini secara komprehensif meski dengan pendanaan Ford Foundation. Selain itu, entah kita yang justru hidup di lingkaran cincin gunung berapi seolah sangat jauh dengan Krakatau. Padahal letusan itu menyebabkan kehilangan dalam skala besar.
Begitupun dalam kasus Tambora. Sebelum pada tahun 2015 ada yang menulis tentang Novel Tambora, sebagai catatan paling baru tentang Tambora, kita justru mendapat informasi utuh Tambora melalui buku Gillen D’Arcy Wood, seorang Profesor Sastra Inggris dari Universitas Illinois. Memang patut diapresiasi, dalam hal adegan utuh, seorang penulis Lekra Utuy Tatang yang mendiang di Soviet pernah menulis novel bagus berjudul Tambera.
Hanya tiga buku, sementara ribuan buku motivasi menjalani hidup ala stoik justru berjumlah segudang. Lagi, bukankah ini peristiwa yang sangat dekat dan sangat mungkin terjadi dalam tahun-tahun mendatang. Gillen bahkan menulis, dalam hal Tambora pada masanya, penulis yang merekam kejadian itu hanya seorang penyair dari Tiongkok bernama Li Yu Yang yang menulis Syair Tujuh Tahun Kesedihan.
Kehilangan agaknya tidak memiliki tempat yang baik dalam bahasa kita, karena itu barangkali sangat sedikit penulis yang membahasakan kehilangan dalam konteks sosial secara baik. Bahkan kata yang baru lahir belakangan adalah kata yang miskin makna. Misalkan kata ”galau” yang entah akar kata linguistiknya berasal dari mana, berfungsi sebagai gambaran perasaan kehilangan seorang pribadi akan kekasihnya, sangat individualistik.
Memang kita tidak menafikan, misalnya dalam bahasa-bahasa adat yang tersebar di Indonesia, perihal kehilangan digambarkan dengan baik. Seperti dalam peribahasa orang-orang Dayak misalnya, yang banyak memberikan arti kehilangan sebagai sumber kekuatan sosial. Berbeda dengan Jawa misalnya, yang sebelum kita memiliki spirit kehilangan bersama untuk hidup lebih baik justru lebih dulu “merasa hilang” karena sesungguhnya kita bukan apa-apa di dunia ini.
Mengapa bahasa menjadi penting? Mari lihat sejenak pada contoh ini. Ketika Ottoman yang pernah berkuasa hampir separuh dari dunia kuasanya jatuh mereka memiliki kata Huzun yang diadopsi dari bahasa Fushah (Quraish) Arab. Huzun yang diadopsi ini, memiliki kata kehilangan akan sesuatu yang pernah menjadi milik bersama.
Ketika seorang dari Turki berjalan melintas objek bangunan yang telah hancur, yang dahulu milik kekaisaran Ottoman mereka akan bersedih dan merasa kehilangan sehingga muncul imaji pengandaian, kita orang-orang Turki adalah orang yang pernah mengalami kehilangan besar. Adakah kata dalam Bahasa Indonesia yang mampu menggambarkan bentuk kehilangan secara kolektif? Entah, tampaknya bangsa kita lebih peduli pada bahasa-bahasa yang kian hari kian miskin makna.
Apakah dengan demikian ingatan Masyarakat Indonesia akan peristiwa besar yang telah lalu menjadi mudah dilupakan. Dalam bahasa orang-orang yang kecewa pada terpilihnya Prabowo di tahun 2024 misalnya, mereka mengatakan tampaknya hanya butuh 25 tahun kita melupakan reformasi. Reformasi sebagai lintasan sejarah bangsa yang pernah dilalui dengan cita-cita yang luhur, apakah ini juga menyebabkan pemilu dengan segala hiruk pikuk pertengkaran antar sesama dari kita, teman nongkrong, keluarga dan lain-lain itu miskin gagasan.
Entah saya enggan menjawab, tapi ada satu hal yang saya mengerti, pada akhirnya kita yang terjebak pada bahasa ibu; Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya dipaksa berdialog dengan Bahasa Indonesia yang isinya semata hanya perebutan kekuasaan yang mustahil berakhir, kecuali barangkali Tambora dan Krakatau meletus lagi di tahun mendatang. Kelak pada akhirnya, nasib kita hanya bumbu cerita dalam sejarah dunia yang terus menerka “memang ada ya bangsa Indonesia“ seperti orang-orang yang bertanya tentang kebenaran cerita bangsa Khazar.
Penulis: Ajmal Fajar/Kontributor
Editor: Afifah Fitri