Mulanya, harga parkir Rp.500,- itu meresahkan mahasiswa yang berkendaraan motor di tahun 2014 sampai penghujung 2016. Beberapa akal bulus mahasiswa lakukan agar dapat menghemat biaya dalam aktivitas sosial dan mobilitas di kampus.
Bagi mahasiswa yang orang tuanya berpunya, tentu mempunyai privilege tersendiri. Mejeng motor bahkan mobil di depan fakultas, lalu mengantarkan setengah populasi mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) ke kos-kosan. Yang kere-kere akhirnya hanya menjadi penonton diantara pasangan-pasangan mesra nan mabuk asmara yang berboncengan ke kampus, karena sadar akan ke-tidak-punya-an atas siapa pun (alias jomlo ngenes). Untungnya, tarif parkir Rp.2000,- hanya berlaku kondisional kalau Pak Satpam lagi mood. Jadi, mari tinggalkan persoalan ini.
Lahan parkiran yang tersedia semakin sempit saja rasanya karena UM baru saja menerima 6.762 mahasiswa baru. Maba dapat dibilang sebagai mereka yang masih ‘suci’ dan penuh dengan prasangka baik terhadap lingkungan kampus. Masih berbangga pada alamamater, mengunggah dan menyemarakkan sosial media dengan twibbon penuh warna, kata-kata yang indah.
Di masa Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru alias Ospek dan pasca Ospek, apakah prasangka ‘baik’ itu akan terus ada dalam diri Maba? Sebelum mereka masuk dalam organisasi dan dibuat gaduh oleh suatu tugas revolusioner: berpolitik dalam kampus.
Pada saat yang sama, mahasiswa UM, para kakak tingkat, mencari solusi terbaik untuk mempertahankan ke’suci’an Mabanya, membantu mereka, supaya akses kampus lebih luwes dan meringankan kegiatan Maba. Kala itu pula atensi seluruh mahasiswa memuncak menjadi satu pandangan yang sama: “Mari bangun kekuatan terbaik untuk kampus kita.”
Secara khusus, saya menggarisbawahi tahun-tahun dengan kisah panjang orientasi mahasiswa baru. Sebuah acara penuh kejenuhan nampaknya tak akan luput dari jantung kuno kampus. Petinggi rektorat berbicara lambat-lambat, lalu MC memandu dengan menggebu. Para hadirin di dalam gedung mulai mengenang orator mahasiswa di depan gedung MPR pada 21 tahun lalu. Lagu Indonesia Raya, Darah Juang sampai Buruh Tani didendangkan. Para panitia ospek merepresentasikan perjuangan. Di dalam barisan, mahasiswa baru mulai menegakkan badan lalu mengepalkan tangan kiri ke udara sembari mengatakan “Hidup Mahasiswa!”. Muncullah jagoan kaum tertindas, yang harapannya adalah penerus generasi kita semua.
Jadi apa yang dikehendaki dalam euforia PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) ini? Ajang berbagi kisah bahwa kita pernah bersua dalam atribut dan aksesoris yang dapat Maba jumpai di tepian jalan Ambarawa yang seadanya, atau amanah organisasi jika kita (Panitia PKKMB) telah menuntaskan tugas turunan dari para senior?
Semua hanya kisah dalam postingan media sosial. Tidak ada PKKMB yang istimewa seperti di UM, karena memindah ribuan Maba ke tempat lain akibat gedung kampus yang disewakan untuk acara pernikahan. Atau Maba Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPVNJ) yang nantinya beramai-ramai capai prestasi dengan bikin konten vlog di kanal Youtube mereka. Ada pula kampus tetangga yang mencetak rekor MURI dan gelar sholat jamaah.
Kalau Presiden Jokowi berujar Kartu Indonesia Pintar adalah suatu solusi untuk memecahkan permasalahan terkait pengetahuan bangsa ini. Maka, ‘kita’ tak boleh melupakan jika ‘pendidikan’ adalah subjek dalam memecahkan persoalan-persoalan lain yang meliputi permasalahan ekonomi, kemanusiaan, toleransi, terorisme, kriminalitas, korupsi, hingga pelecehan seksual dalam ranah publik.
Berbagai hal telah dilakukan oleh mahasiswa dengan caranya masing-masing, semua rasanya hanya jadi bahan refleksi bersama. Sama halnya ketika saya menuliskan hal ini, lagi-lagi soal refleksi. Ketika orang tua memberi kabar jika nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT) sudah dibayarkan, perasaan dilema menghujam isi kepala. Tentang bagaimana kita? Akan menjadi apa setelah ini? Berapa IP untuk semester ini? Lulus tidak pada mata kuliah A dan B?
Ketika itu pula, saya teringat akan kerinduan kolektif pada sebuah dunia yang bebas dari beban apapun. Dan saya tahu, saya tidak sendiri. Ini hanya soal bagaimana kita memulai semuanya, lalu menghantarkan impian kita pada suatu titik yang kita mau.
Ada petuah dari Bapak Proklamator bangsa ini, katanya “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang”. Meskipun diksi kata itu tampak berantakan di mata anak Sastra Indonesia, tapi cukup memberikan semangat untuk memperbaiki jalan pengetahuan dalam membangun kekuatan sosial saat pulang (ke kampung halaman bagi mahasiswa perantauan) nanti.
Pendidikan bagi saya bukan hanya cita-cita meraih pekerjaan yang layak. Tapi juga soal literasi. Dalam hal ini, literasi bukan seperti apa yang diajarkan oleh sekolah-sekolah. Mengenai bagaimana kita bisa membaca dan menulis. Bukan hanya sekadar itu. Tapi bagaimana mengenal realitas yang tidak kita ketahui sebelumnya, lalu memecahkan problem realitas itu sendiri.
Tidak ada yang lebih gigih dalam menjelaskan situasi pendidikan di dunia selain tokoh pembebasan ’Paulo Freire’. Dalam praktis pembebasannya yang dituliskan dalam buku ‘Pendidikan Anak Tertindas’, buku itu menjelaskan fantasinya terkait:
“Proyek pendidikan diciptakan untuk memberikan kehidupan di dalam kelas dan untuk mempergunakan pengetahuan dan transformasi sebagai senjata untuk mengubah dunia. Dari perspektif lokasi sosial orang-orang malang di bumi, menjadi jelas bahwa pengetahuan saja, sebagaimana dikehendaki oleh sekolah, tidak akan mengubah kehidupan.”
Sejujurnya, Indonesia memiliki cara untuk memperbaiki semua. Mahasiswa berandil besar dalam permasalahan di dalam dan di luar sektor pendidikan dengan branded pemenang reformasi serta kudeta rezim otoriter-nya yang mutakhir. Kekuatan demokrasi memang harus terus dikawal, supaya negara ini dapat lebih berkembang maju. Baik dalam segi ekonomi ataupun kesejahteraan warganya.
Tapi, jangan heran dengan watak kampus yang memiliki tipe developmentism. Sebuah bentuk nasionalisme akut yang membentengi agenda kemanusiaan, dikarenakan agenda pembangunan negara, serta kepercayaan penuh terhadap bangsa dalam memajukan dan mempertahankan aset yang dimiliki, termasuk menindas rakyatnya sendiri.
Mahasiswa bukan hanya membutuhkan penerus yang Inovatif, Aksi dan Kritis. Tapi juga (lagi-lagi) membutuhkan sosok yang dapat mengubah sesuatu menjadi baik. “Tapi tunggu dulu, kalau inovatif jangan kamu curahkan ke saya, itu debat namanya. Kalau mau aksi nanti dulu, itu gerudukan namanya. Kalau mau kritis jangan pula ke saya, itu netizen namanya.”
Semoga kita semua adil dalam pikiran dan hati, saya juga, semoga begitu.
Editor: Rizka Ayu Kartini