Sejak kecil, saya tak pernah merayakan hari Kartini dengan berdandan—yang katanya—ala Kartini, entah itu memakai kebaya, bersanggul, berselendang, atau membawa kipas tangan sambil berjalan lemah gemulai dengan sepatu hak tinggi. Saya tak pernah memakai itu semua, karena sekolah saya—dari SD hingga SMA—merupakan sekolah muslim yang tak pernah merayakan hari Kartini dengan cara itu. Biasanya, guru saya akan memerintahkan murid-murid untuk memakai batik saja. Saat itu, saya iri. Saya juga ingin berangkat ke sekolah dengan dandanan ala Kartini. Ketika saya sampaikan perasaan itu kepada Ibu, beliau bergurau, “Badan kayak kamu kok mau pakai kebaya, aduh, nggak pantas,” Saya kemudian marah karena gurauan Ibu terlalu masuk akal untuk disebut gurauan.
Makin dewasa, rasa iri karena tidak pernah memakai kebaya, makin hilang dalam diri saya. Terlebih lagi ketika saya membaca pandangan orang-orang yang kontra terhadap perayaan hari Kartini. Mereka bilang, Kartini tak sehebat itu sampai kelahirannya harus diperingati tiap tahun. Dahulu, saya yang masih begitu ceroboh, tentu saja setuju.
Apakah hari Kartini perlu dirayakan? Pantaskah Kartini dijadikan simbol emansipasi wanita? Oh, tidak, saya tidak akan membahas itu. Saya juga tidak akan membahas soal banyaknya tokoh-tokoh perempuan yang katanya “lebih hebat” dari Kartini. Lagi pula, mengapa Kartini harus diragukan? Karena ia hanya berjuang dengan otak dan tulisan, alih-alih main fisik seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, atau Marta Christina Tiahahu?
Menilai perjuangan Kartini sebagai perjuangan yang tak ada apa-apanya ketimbang berperang, adalah pemikiran yang sempit. Lewat surat-suratnya kepada sahabat dan kenalannya, Kartini mengkritisi kebijakan Pemerintah Kolonial dan juga adat Jawa, yang membelenggu perempuan. Kartini tak tahan melihat perempuan tak bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin, dipingit (adat Jawa yang mengharuskan seorang perempuan dikurung dalam kamar atau rumah, agar kesuciannya terjaga), dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Menurutnya, adat Jawa sangat merugikan perempuan, karena perempuan harus berlaku dodok, bersuara pelan, dan bersikap nerimo. Ia benci menerima anggapan bahwa perempuan hanyalah konco wingking atau “teman di belakang” saja; sumur, dapur, dan kasur. Kartini bahkan merasa risih melihat adik-adiknya yang harus sungkem dan mematuhi segala macam adat kesopanan jika berinteraksi dengan dirinya.
Peduli apa aku dengan segala tata cara itu … Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu … Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan. (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Kartini menginginkan agar perempuan di masa itu punya kesempatan yang sama, baik dengan laki-laki maupun dengan sesama perempuan. Lewat sekolah yang ia dirikan, pendidikan perempuan dalam tarafnya yang paling sederhana yaitu baca-tulis, digalakkan. Kartini bahkan melakukan itu semua di saat dirinya sendiri hanya lulusan Europeesche Lagere School (ELS)—sekolah dasar pada masa Hindia Belanda, karena setelah itu (saat usianya 12 tahun), ia harus dipingit. Dalam masa pingitan, Kartini banyak belajar lewat buku-buku milik ayahnya. Surat-surat Kartini kepada sahabat dan kenalannya ditulis di balik tembok besar yang memisahkan dirinya dengan dunia luar. Keeksklusifan Kartini—jika tak boleh disebut keterbatasan—sebagai bangsawan Jawa membuatnya menempuh jalan perjuangan yang bebas dari pertumpahan darah, dan tak ada yang salah dengan hal itu. Ketimbang menutup mata dan menutup telinga agar hidup nyaman dalam balutan status bangsawannya, ia justru repot-repot memberdayakan perempuan.
Setelah semua perjuangan Kartini di atas, yang menjadi atribut wajib tiap 21 April justru kebaya dan sanggul. Guru-guru di sekolah akan memerintahkan murid-murid perempuan untuk memakai kebaya dan menyanggul rambutnya. Para pembawa acara di televisi juga mengenakan kebaya dan bersanggul saat hari Kartini, tak peduli acara apa yang dibawakan. Karyawan bank, karyawan mal, bahkan pegawai pemerintahan juga dituntut demikian. Dalam beberapa kesempatan, dandanan ala Kartini bahkan dilombakan. Siapa yang dandanannya paling bagus, paling anggun, paling cantik, maka ialah pemenangnya; ialah Kartini di hari itu. Tanpa tuntutan sekalipun, para perempuan akan dengan senang hati mengunggah foto dirinya yang sedang mengenakan kebaya sambil menulis takarir singkat, “Selamat hari Kartini,”
Mengapa kebaya dan sanggul seolah-olah menjadi atribut wajib tiap perayaan hari Kartini? Pertama, citra penampilan ini memang sudah melekat pada Kartini. Hal ini tidak salah, mengingat Kartini adalah seorang bangsawan Jawa yang selalu mengenakan kebaya dan bersanggul. Film-film layar lebar dan poster-poster gambar pahlawan yang biasa ditempel di dinding kelas pun juga menampilkan Kartini demikian.
Kedua, kebaya yang hakikatnya adalah pakaian khas Jawa, telah menjadi simbol perempuan Indonesia. Saya akan dikatakan berlebihan jika menyebut ini sebagai jawanisasi. Padahal kenyatannya memang begitu. Pakaian adat dari daerah-daerah lain selain Jawa, bagi kita bisa saja nampak asing. Akan tetapi tidak dengan kebaya.
Ketiga, ada rezim yang begitu takut pada perempuan, sampai-sampai hari Kartini dijadikan hari adu kecantikan dan momen kebangkitan perempuan malah dijadikan hari Ibu. Anak-anak dididik untuk mencitrakan sosok Kartini hanya lewat pakaiannya saja, kecantikannya saja, kelemahlembutannya saja, dan segala tetek bengek domestik seperti lomba peragaan busana, lomba memasak, atau lomba menghias tumpeng. Begitukah cara perempuan menghargai pahlawannya?
Tidak ada yang salah dengan berkebaya dan bersanggul, toh keduanya memang bagian dari budaya kita. Permasalahnnya adalah, kebaya dan sanggul itu dijadikan simbol pada hari Kartini, hari yang mestinya tak sesempit dan senaif itu. Kartini tak pernah sibuk berkutat dengan pakaiannya. Ia boleh jadi tak terlalu memikirkan apakah warna kebayanya matching dengan jariknya. Apa yang Kartini kenakan adalah tuntutan karena ia berasal dari keluarga bangsawan. Perempuan-perempuan Jawa pada masa itu juga mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari mereka, meski kebaya bangsawan dengan kebaya orang biasa pastilah berbeda. Bahwa Kartini seorang perempuan yang berkebaya dan bersanggul, itu memang benar. Namun, kebaya dan sanggul tak lantas mewakili perjuangan seorang Kartini.
Kartini terkenal berkat surat-suratnya yang dihimpun dengan judul Habis Gelap, Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht). Spirit Kartini adalah soal pemberdayaan perempuan, bukan kebaya dan sanggul. Jika butuh alternatif, mengapa hari Kartini tak dirayakan dengan menulis surat (atau surat elektronik) saja? Tiap 21 April, media-media dapat menerbitkan tulisan-tulisan khusus dari para perempuan, atau para perempuan itu bisa mengunggah langsung tulisan mereka di medsos pribadi. Guru-guru di sekolah dapat menjelaskan kepada muridnya: Siapa itu Kartini, mengapa kelahirannya patut dirayakan, dan apa isi surat-suratnya. Jika ini semua dilakukan dengan serempak dan kontinu, alangkah bergunanya perayaan hari Kartini itu.
Perayaan hari Kartini masa kini mestinya sudah berupa upaya melanjutkan nilai-nilai perjuangan Kartini, bukan terjebak pada perayaan simbolis dan seremonial belaka. Saya begitu hormat pada mereka yang dengan tegas menolak perayaan hari Kartini dengan berkebaya, bersanggul, dan sejenisnya, serta memilih meluruskan hari Kartini agar sesuai dengan konteksnya: pemberdayaan perempuan. Selamat hari Kartini.
Penyunting: Agilia An’amta