Paradigma tentang bagaimana seharusnya menjadi guru yang ideal banyak diajarkan di bangku kuliah dengan mengonsumsi vitamin semacam materi assessment, kajian kurikulum, metode pembelajaran, dan lain-lain. Hal ini sudah menjadi santapan wajib bagi mahasiswa para pejuang S.Pd, sebagai bagian dari proses pembentukan guru yang baik.
Kriteria guru yang baik acap kali diutarakan oleh para dosen dalam perkuliahan. Namun, ada beberapa dosen yang berusaha memberikan sebuah diskursus tentang kewajiban pejuang S.Pd supaya menjadi subjek yang disiplin, memiliki sifat yang dingin, tidak terlibat dalam organisasi-organisasi non akademik, dan tidak seharusnya melakukan tindakan-tindakan yang revolusioner serta kritis.
Sebagian masyarakat awam hingga para akademisi juga masih memahami bahwa kuliah bertujuan untuk mencetak tenaga kerja dan kampus merupakan tempat untuk mempersiapkan kebutuhan di dunia tersebut. “Kuliah iku yo seng temenan, golek IPK sing duwur ndang oleh ijazah gawe kerjo, gausah aneh-aneh.”. Dogma semacam ini sama saja dengan mendukung kampus sebagai alat kapitalisme dengan mekanisme pasarnya. Lalu menggeser esensi dari pendidikan yakni untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia.
Kompetensi yang seharusnya dimiliki seorang pejuang S.Pd seakan-akan menjadi sebuah dosa ketika bertentangan dengan apa yang diharapakan dosen. Mereka berpikir demikian karena pengalaman dan profesionalitas di dunia pendidikan yang sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi apakah mereka memahami, bahwa mereka barangkali tidak selamanya benar? Belum tentu.
Mahasiswa pejuang S.Pd harus benar-benar mengimani dan menjalankan kurikulum yang berlaku pada sistem pendidikan tertentu. Dengan praktik ancaman dan otoritarian, seorang dosen berhasil menjadikan mahasiswa pejuang S.Pd sebagai subjek yang jinak. Para pejuang ini harus memiliki kepatuhan penuh pada dosen dan kampus karena yang diam adalah “yang terdidik”.
Hal ini merupakan hasil konstruksi sosial melalui objektifikasi antara pendidik dengan pejuang S.Pd yang menganggap bahwa mahasiswa sebagai sebuah bejana kosong. Proses demikian, mengakibatkan mahasiswa tidak berdaya dan terbenam dalam “kebudayaan bisu”. Kebudayaan bisu yang terstruktur akan menjadi sebuah siklus yang stagnan pada generasi-generasi berikutnya. Hingga menjadi sebuah tradisi dan role expectation yang mengkristal disetiap paradigma serta bersarang diotak setiap pejuang S.Pd. Kelak mereka akan beranggapan bahwa sikap pasif, apatis, dan berjalan lurus adalah hal yang baik daripada menjadi pribadi yang menuruti hati nurani untuk melakukan sebuah aksi perubahan diluar konteks pendidikan.
Memang pejuang S.Pd harus terus belajar untuk memperbaiki Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), memahami kalender pendidikan, dan mengimplementasikan keinginan kurikulum. Namun, mahasiswa pejuang S.Pd juga mempunyai kewajiban untuk bertindak sesuai hati nurani, seperti terlibat dalam aksi diluar pendidikan, mengkritisi sistem pemerintahan yang tidak adil, atau mewujudkan pikiran kritis menjadi praksis.
Esensi pendidikan adalah membantu seorang manusia menemukan arti sebuah kebenaran melalui intuisi dan kemampuan berpikir, bukan lagi mengikuti arti kebenaran yang diinginkan oleh kalangan tertentu. Pejuang S.Pd perlu untuk keluar dari tempurung kebudayaan bisu. Apabila kebudayaan bisu tetap diamalkan, akan mendustai hakikat keberadaan, seperti apa yang dikatakan Descartes, ”Cogito ergo sum” yang berarti aku berpikir maka aku ada. Maka apabila mahasiswa sebagai manusia tidak dapat memerdekakan pikiran dan tindakannya sendiri, timbulah pertanyaan, apakah kita masih menjadi manusia?