PKKMB UM 2022: Kontradiksi Ucapan Menteri dengan Konflik Agraria di Lapangan

Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Negeri Malang (UM) 2022 dilaksanakan di Gedung Graha Cakrawala (Gracak)

Gambar: Diana Yunita

Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Negeri Malang (UM) 2022 dilaksanakan di Gedung Graha Cakrawala (Gracak) UM. Untuk mengisi materi mengenai bela negara, UM mengundang Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Republik Indonesia/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hadi Tjahjanto, yang baru saja dilantik pada 15 Juni lalu, karena reshuffle kabinet. Di sela-sela materi mengenai bela negara yang disampaikan selama kurang lebih 1 jam, Pak Menteri menyelipkan beberapa peran Kementerian ATR/BPN dalam membela negara. Menggantikan menteri sebelumnya, Sofyan Djalil, Menteri Hadi Tjahjanto punya tugas khusus untuk memberantas “mafia tanah” di Indonesia. Ketika dilantik, kurang lebih begini tugas-tugas pokok dari Presiden Jokowi yang mesti dikerjakan Pak Menteri selama masa jabatannya:

  1. Mempercepat pemberian sertifikat/akselerasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yang berjumlah 126 juta tanah di Indonesia
  2. Menyelesaikan konflik agraria dan mafia sengketa tanah
  3. Membantu penyelesaian tata ruang dan pengadaan tanah di ibu kota negara

“Ketiga perintah itu sangat penting untuk menuju Indonesia emas 2045. Karena apa? Mahasiswa pasti yakin bahwa wilayah kita belum semuanya terdaftar dan bersertifikat. Oleh sebab itu 126 juta bidang (tanah) harus disertifikatkan. Itu menjadi tugas Kementerian ART/BPN yang harus diselesaikan. Jika (tanah) tidak disertifikatkan, bahayanya (tanah) itu bisa diserobot orang lain dan mafia tanah yang tidak memiliki hak,” kata Pak Menteri, disambut tepuk tangan meriah para maba.

Sudah menjadi hak seluruh masyarakat Indonesia untuk merasakan kemakmuran atas kekayaan alam yang ada di negara ini. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Bahwa tanah dikuasai negara, itu memang betul. Akan tetapi penggunaan tanah itu harus dengan tujuan memakmurkan rakyat, tidak lain dan tidak bukan.

Akan tetapi, UUD maupun pernyataan Pak Menteri saat PKKMB UM, nyatanya kontradiktif dengan apa yang terjadi di lapangan. Di Kalimantan Timur, misalnya. Ada penyerobotan tanah yang dilakukan oleh PT ITCI Hutani Manunggal dan masih belum dikembalikan kepada masyarakat adat setempat . Lebih jauh, sebanyak 41 persen lahan proyek IKN merupakan tanah yang telah lama dikuasai warga, namun pemerintah tidak melayani proses sertifikasi hak milik yang diajukan warga.

“Dari 126 juta bidang tanah (di Indonesia), yang baru kita (kementerian) realisasikan adalah 80 juta bidang, sedangkan 46 juta bidang masih dalam proses. Di akhir tahun 2024 nanti semuanya insyaAllah bisa terealisasi,” kata Pak Menteri juga.

Sejak 1960-an, program sertifikasi lahan oleh pemerintah sudah dilakukan. Rezim berganti, menteri berganti, kebijakan berganti, tetapi mengapa belum tuntas juga? Atau, jangan-jangan sebetulnya sudah tuntas, tetapi pemerintah mengundang konflik-konflik baru? Kepemilikan lahan di Indonesia sangat tinggi, tetapi prosedur perizinan sertifikat tidak mudah, bahkan terkesan dihalang-halangi dengan hadirnya pihak ketiga antara rakyat dengan pemerintah: Perusahaan, investor.

“Sehingga pada 2045 nanti, sudah tidak ada permasaahan tanah, sehingga investor datang dengan tenang, karena kepastian hukum atas tanah untuk usaha itu semua sudah dipayungi oleh hukum, kemudian tidak ada mafia tanah yang berani mengambil tanah-tanah yang dianggap tidak bersertifikat, (itu) akan dilibas dan ditertibkan oleh aparat hukum. Ini adalah bagian dari tugas bela negara Kementrian ATR/BPN.” imbuh Pak Menteri lagi.

Negara tampaknya melihat tanah sebagai aset ekonomi yang ketika ada konflik kepemilikan, dapat diselesaikan dengan mudah melalui ganti rugi. Di sisi lain, rakyat melihat tanah sebagai sesuatu yang lebih kompleks. Tanah adalah lapangan kerja, sumber pangan mandiri, bahkan elemen sejarah. Bagi masyarakat di banyak daerah, tanah adalah sumber kemakmuran hidup mereka. Pengadaan tanah untuk suatu proyek, jika disebut-sebut demi kepentingan umum, jelas mengada-ada. Sebab tak ada proyek kepentingan umum yang memaksa rakyat.

Kita tentu tak asing dengan kasus yang beberapa waktu lalu viral, yakni konflik agraria di Desa Wadas. Lebih tepatnya, eksploitasi penambangan tanah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sejak 2019 hingga saat ini, belum ada kepastian hukum dari pemerintahan soal tanah warga. Belum lagi represi dari aparat terhadap warga Desa Wadas yang mencoba melawan, bahkan hingga terjadi penculikan. Atau, di RW 11 Tamansari, Bandung, Jawa Barat, dan masih banyak lagi.

Siapa yang bertanggung jawab atas rentetan-rentetan problematika agraria di atas? Negara yang katanya agraris, namun sawah dan lahannya dibabat habis. Dengan dalih demi kemakmuran rakyat, tapi cara-caranya justru mencederai kemakmuran rakyat itu sendiri. Inilah bentuk bobroknya regulasi, ketika apa yang disebut dalam rumusan tak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.

Sudah pasti bukan tanpa alasan, Presiden Jokowi me-reshuffle kabinet, menggantikan Sofyan Djalil dengan Hadi Tjahjanto, seorang pensiunan perwira militer. Presiden agaknya mengharap perbaikan cara kerja dalam menangani konflik agraria di Indonesia. Atau, ada alasan lain? Belum tiga bulan sejak Pak Menteri yang baru menjabat. Mari kita lihat, akankah persoalan agraria ke depannya berpihak pada rakyat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA