Saat ini Ibu Pertiwi sedang tidak baik-baik saja. Indonesia sedang gundah dengan berbagai polemik yang menerpa. RKUHP yang profitable bagi orang-orang borjuis tapi membuat sekarat orang-orang proletar, yang makin membuat massa geram. Yang susah tambah susah yang lancar jaya aman sentosa.Tidak hanya RKUHP saja yang membuat Indonesia menjadi gundah. Namun, masih banyak tuntutan lain yang perlu diubah, mulai dari Revisi UU KPK, isu lingkungan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU PKS, Kriminalisasi aktivis. Hadehhh banyak banget yang merugikan kaum proletar seperti saya. Orang borjuis mah mana paham?
Dulu, saat saya akan memasuki dunia perkuliahan, tidak pernah sedikitpun memikirkan tentang ikut serta dalam aksi demonstrasi atau turun ke jalan, bahkan jika wajib melakukan, rasanya saya enggan. Namun, setelah saya memasuki dunia perkuliahan, saya dihasut oleh seseorang yang bernama saya sendiri. Ada semacam nafsu yang membuat saya ingin untuk turun melakukan aksi. Ya walaupun saya masih bau bawang dalam kegiatan demo. Tapi, saya tidak menyesalinya.
Senin, 23 September 2019, adalah hari di mana massa tergerak untuk melakukan perjuangan. Keadilan yang telah dikebiri penguasa membuat massa tidak hanya menyimak dan mengikuti arus pemerintah. Senayan, Gajayana, Balai Kota Malang adalah salah tiga dari bukti bahwa massa tidak hanya pajangan negara saja. Massa kini tidak dapat dieksploitasi menjadi budak belian negara yang terpatri pada penguasa sehingga luput akan hak-haknya.
Kini, rakyat bukan lagi penakut dan penguasa bukanlah momok. Culik sana sini lantas tersisa jasad, jerat UU ITE lantas penjara, rakyat sudah tak dapat ditipu birokrat. Rakyat sekarang sudah pintar, RKUHP saja yang tumpul! Lantas, sejatinya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat itu terletak dimana? Begitulah konstelasi keresahan-keresahan yang dirasakan oleh massa hingga turun ke jalan.
Segala bentuk tuntutan keadilan menggema di berbagai tempat di Indonesia. Tidak hanya kalangan mahasiswa, maupun warga, anak STM pun turut serta. Sejatinya memang begitu, semua kalangan saling bahu membahu untuk menyuarakan keadilan agar penguasa tahu bahwa massa tidak hanya diam melihat siasat picik parlemen.
Eitss! tapi… tunggu dulu! Ada pesan nih dari Tan Malaka untuk para demonstran yang hendak turun ke jalan. Dalam bukunya yang berjudul Aksi Massa, Tan begitu epiknya menyampaikan pesan satire kepada para demonstran di masanya. Para demonstran harus tahu mengapa ia turun ke jalan, apa tujuannya, untuk siapa mereka melakukan demonstrasi. Jangan sampai yang katanya untuk rakyat malah sebenarnya tidak untuk khalayak. Jangan sampai demonstrasi maupun Aksi Kamisan yang dilakukan adalah bentuk dari putch, satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja ataupun tidak.
Lantas apa itu putch sendiri? Menurut Tan Malaka, putch adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa. Para putch ini biasanya mengikuti demonstrasi bukan karena ditunggangi oleh kepentingan khalayak melainkan turun ke jalan yang ditunggangi kepentingan pribadi ataupun kelompok kecil mereka.
Seperti yang dikatakan Tan Malaka dalam bukunya, para putch cenderung anarkis dan membuat kerusuhan ketika demonstrasi sedang berlangsung. Memang, pesan yang disampaikan Tan Malaka untuk para aktivis tersebut tidak memiliki contoh yang konkret. Tapi, setidaknya dari gambaran putch saja pasti kita sudah tahu apa maksud yang ingin disampaikan oleh Tan.
Nahhh… untuk para demonstran yang sudah lama mengikuti kegiatan demo ataupun Aksi Kamisan, juga para demonstran yang bau bawang seperti saya, masih banyak hal-hal yang harus kita ketahui tentang demonstrasi itu sendiri, supaya kita tidak menjadi bagian dari putch. Melalui jalan demonstrasi ini kita harus tahu substansi dari demo itu sendiri, sehingga kita tidak terhasut oleh para putch yang menyusup. Demonstrasi adalah wajah, mana yang memang kepentingannya ditunggangi oleh rakyat dan mana yang ditunggangi oleh aparat.
Penyunting: Rizka Ayu Kartini