Omnibus Law, sebuah kegaduhan baru diawal dekade baru. Penolak dan pendukung produk hukum ini “berperang” di segala media sosial. Argumen ilmiah bersaing dengan propaganda, berusaha memenangkan diskusi dan atensi masyarakat. Namun apakah sebenarnya awal dari kegaduhan ini?. Secara bahasa Omnibus memiliki arti menyeluruh dan universal, sedangkan Law berarti hukum. Secara bebas Omnibus Law dapat dimaknai sebagai Undang-Undang Sapu Jagad, yakni sebuah produk hukum yang memiliki kekuatan merangkum/menggantikan sejumlah besar undang-undang yang telah ada sebelumnya.
Omnibus Law merupakan inisiatif dari pemerintah untuk meringkas serta meamangkas peraturan dan birokrasi yang menghalangi datangnya investasi di Indonesia. Sebelumnya kemudahan berinvestasi telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri dalam payung kebijakan “Paket Ekonomi I – XVI”, namun produk hukum ini masih banyak terganjal oleh undang-undang yang memiliki kekuatan dan hirarki hukum di atasnya. Sehingga pemerintah merencanakan perombakan massal, dengan mengadopsi metode Omnibus Law. Beberapa produk hukum yang di-sapu jagad-kan antara lain ketenagakerjaan dan perizinan usaha yang masuk dalam RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), perpajakan dalam RUU Perpajakan, regulasi mengenai usaha kecil menengah dalam RUU UMKM, serta yang terbaru ialah peraturan mengenai perpindahan dan pengembangan ibu kota baru melalui RUU Ibu Kota.
Secara umum sumber awal kegaduhan mengenai Omnibus Law bersumber dari beberapa faktor, antara lain pasal-pasal yang dihapus dan yang direvisi; proses pembuatan Omnibus Law yang tertutup serta cenderung manipulatif dan hanya melibatkan kalangan tertentu; pelibatan kepolisian dan badan negara untuk memastikan (memaksakan) persetujuan masyarakat akan Omnibus Law dan diperparah oleh pengerahan ormas dan buzzer untuk mengintimidasi masyarakat yang menolak.
Secara khusus, sumber utama perdebatan mengenai Omnibus Law berputar pada substansi dari pasal-pasal yang direvisi. Pada RUU Cilaka banyak regulasi mengenai ketenagakerjaan yang berpotensi merugikan pekerja. Pembentukan RUU ini didasarkan pada asumsi dari pihak pengusaha. Dengan alasan produktifitas, RUU ini memangkas hari libur dengan alasan produktifitas, sehingga menambah hari kerja dari 5 hari menjadi 6 hari. Dengan alasan efisiensi biaya produksi, Upah Minimum Kota/Kabupaten dihapus disamaratakan dengan Upah Minimum Propinsi serta menghapus kewajiban perusahaan untuk membayar pekerja saat cuti/berhalangan hadir. Status pekerja juga semakin tidak menemui kejelasan dengan dihapuskannya kewajiban aturan untuk mengangkat pekerja tetap serta perluasan konsep outsourcing.
Dalam konteks lingkungan RUU Cilaka banyak memangkas perizinan yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan (sustainbility) dari area tempat kegiatan usaha berlangsung. Area operasi usaha serta masa berlaku izin usaha (IUP, HGU, HTI, HPH) juga diperluas dan diperpanjang.
Produk hukum RUU Cilaka juga meminimalisir peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya sebuah kegiatan usaha. Semua peraturan dan perizinan tersentralisasi pada pemerintah pusat, di mana kebijakan top-down ini rawan akan tidak tepat sasaran, karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda.
Lebih lanjut, alasan pemerintah bersikeras dengan Omnibus Law berdasar pada asumsi (yang diglorifikasi) bahwa investor malas berinvestasi di Indonesia karena perizinan dan tingkat produktifitas yang rendah. Melalui buzzer, fearmongering diamplifikasi dengan mencatut Vietnam dan Myanmar sebagai contoh negara yang produktif dan disukai investor. Dalam asumsi pemerintah, jika Omnibus Law tidak dilakukan maka negara ini akan jatuh pada krisis ekonomi sekali lagi.
Akan tetapi argumen ketakutan yang dihembuskan oleh pemerintah tentang rendahnya produktifitas, pertumbuhan ekonomi yang lambat, dan tingkat kompetitif indonesia yang jelek; dengan sendirinya akan terpatahkan oleh data yang disajikan laporan World Economic Forum 2018. Dalam laporan ini ditemukan bahwa penyebab investor menjauhi Indonesia bukanlah tingkat produktifitas pekerja ataupun regulasi mengenai lingkungan, melainkan tingkat korupsi yang parah dan birokrasi yang rumit dan tidak efisien.
Beranjak dari data tersebut, kita patut mencurigai jika memang penyebab investor kabur adalah korupsi dan birokrasi, lantas mengapa regulasi tentang pekerja serta regulasi lingkungan hidup yang dikambing-hitamkan dan regulasi tentang korupsi justru dilemahkan?
Sebagai pengingat, regulasi yang dimuat dalam RUU Cilaka memang bertujuan untuk menciptakan Labour Market Flexibility (LMF), di mana ada asumsi bahwa dalam keadaan Bonus Demografi, perusahaan akan memiliki stok pekerja yang tidak terbatas serta pekerja bebas memilih pekerjaan yang disukainya. Asumsi ini mendasari bahwa pekerja tetap tak lagi diperlukan namun cukup pekerja kontrak (tanpa jaminan dan pensiun yang membebani pengusaha). Namun RUU Cilaka melupakan syarat penting dalam LMF, yakni skill dan pendidikan. Tanpa adanya kemampuan yang mencukupi, LMF hanya akan menghasilkan apa yang disebut Guy Standing (2016) sebagai kelas prekariat (kelas terdidik yang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang jelas). Kelas ini lah yang diramalkan oleh Guy sebagai biang dari kriminalitas dan rasisme di era ini. Bonus Demografi akan dengan mudah menjadi Bencana Demografi.
Berkaitan dengan lingkungan, Omnibus Law dan secara spesifik RUU Cilaka, yang memangkas aturan-aturan lingkungan, akan membawa negara ini kepada konflik sosial terutama konflik agraria yang berkepanjangan di masyarakat. Kerusakan lingkungan juga sangat dimungkinkan mengingat pemanasan global menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki alam yang rapuh dan rawan bencana.
Pemerintah sebelum mengesahkan Omnibus Law ada baiknya mendengarkan nasehat tentang hancurnya sebuah negara/peradaban, yang dituliskan Jared Diamond dalam buku Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed. Dalam buku ini dinyatakan bahwa kehancuran suatu negara bisa dipercepat ataupun diperlambat tergantung oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintahnya. Dengan adanya Omnibus Law yang secara serampangan memberangus regulasi ketenagakerjaan dan regulasi kelingkungan, dapat disimpulkan pemerintah mulai menggali liang lahat bagi negara ini.
Penulis : Asrofi Al Kindi – Alumni Jurusan Pendidikan Geografi Angkatan 2013
Penyunting : Mita
*) Ayo menjadi kontributor!! Selengkapnya cek link https://siarpersma.id/mari-berkontribusi/