Nongkrong Tanpa Plastik, Sederhana, dan Kembali ke Alam

Tren bisnis kafe yang menawarkan berbagai konsep dan suasana menarik seperti retro, vintage, futuristis, hingga model-model lain memang

Tomboan Ngawonggo
Foto: Delta/Siar

Tren bisnis kafe yang menawarkan berbagai konsep dan suasana menarik seperti retro, vintage, futuristis, hingga model-model lain memang sedang menjamur. Tak jarang, area lahan depan kafe dipenuhi oleh beragam jenis dan merek kendaraan yang terparkir rapi dan sejajar, puncaknya pada malam hari. Betul, rame buangettt. Salut sama Kang Parkirnya, jadi kelihatan aesthetic gitu, kan, parkirannya.

Motor Astrea yang kutumpangi membawaku dan teman-teman lainnya menyusuri satu per satu ruas jalan di Malang Raya untuk menemukan kafe menarik yang bisa menghangatkan topik pembicaraan kami dari A sampai Z. Sembari mengendarai motor dan celingak-celinguk melihat suasana sepanjang jalan, sekelibat ide terlintas dalam pikiranku. Hiruk pikuk perkotaan yang kian hari kian bikin sumpek membuatku memutuskan, kami harus mencari kafe yang jauh dari keramaian.

Perjalanan kami dimulai dari Universitas Negeri Malang (UM) kemudian ke arah timur, melewati jalanan yang kanan kirinya dipenuhi oleh hamparan sawah hijau dan tebu-tebuan yang memutih bunganya. Sayang, jalanan di sekitar sini tak cukup baik. Sesekali roda Astrea-ku kejeglong lubang jalan yang rusak, rasanya … pengin tak hiiihh ….

Walaupun begitu, perjalanan yang ditemani aspal berlubang akhirnya terbayar sempurna ketika kami tiba di Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang. Kira-kira 25 kilometer dari pusat Kota Malang. Di desa itu, kami pun langsung menuju tempat yang telah kami rencanakan sebelumnya. Warga sekitar menyebutnya “Tomboan Ngawonggo”.

Sebuah tempat yang kehadirannya berasal dari ide kecil untuk menjamu para pengunjung situs Ngawonggo. Yasin (pengelola Tomboan Ngawonggo) bersama warga sekitar bahu-membahu membangun fasilitas-fasilitas tongkrongan yang menarik. Poinnya adalah, semua ornamen dan furnitur tempat ini berbahan dasar kayu. Mulai dari meja, kursi, hiasan dinding, sampai dengan mainan tradisional dakon.

Tak hanya sampai di situ, suasana alam dan pedesaan juga menyegarkan kami. Rimbunan pohon yang teduh dan suara aliran sungai yang samar-samar masuk telinga begitu menenangkan. Sesekali, cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela bambu yang berderit-derit. Perpaduan alam dan budaya tradisional yang begitu kental menyiratkan sebuah keselarasan yang harus dijaga, oleh kami, oleh semua orang.

Konsep budaya dan back to nature yang dirancang di tempat ini, seluruhnya memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Semua makanan dan minuman yang disajikan menggunakan bahan dasar tumbuhan (nabati). 

“Di sini kami tidak niat membuka warung atau menjual minuman, hanya untuk menyuguhi tamu yang datang ke situs Ngawonggo,” ujar Yasin saat ikut hanyut dalam obrolan kami. 

Memang, awalnya Yasin hanya iseng menyuguhi minuman-minuman seperti wedang uwuh atau jahe yang semuanya berbahan dasar rempah-rempah atau empon-empon kepada pengunjung situs. Namun seiring berjalannya waktu, ia dan pengelola lainnya pun juga menyuguhi tamu dengan makanan tradisional. Segala sesuatunya disajikan tanpa plastik, bahkan proses memasaknya pun menggunakan tungku.

Konsep sederhana yang juga bersahabat dengan lingkungan itu melegakan napas kami. Bagaimana tidak, tren nongkrong-nongkrong di kafe umumnya diikuti dengan maraknya penggunaan kemasan plastik sekali pakai yang jelas tidak ramah lingkungan. 

Yang membuat kami ingin kembali ke Tomboan Ngawonggo lagi, selain suasananya, adalah tempat ini tidak mematok tarif apa pun. Pengunjung hanya dipersilakan mengisi kotak partisipasi yang telah tersedia. Berbahagialah, seluruh umat kosan. Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Berikut sudut-sudut Tomboan Ngawonggo yang menyegarkan mata:

Penyunting: Agilia An’amta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA