9 September 2024 1:10 PM
Search

Sandiwara KIP-K: Mungkinkah Salah Sasaran?

Pernah dengar istilah “sandiwara kehidupan”? Kali ini, kita akan membahas sandiwara yang lebih spesifik dan penuh ironi yakni 

Ilustrasi: Saskia/Siar

Pernah dengar istilah “sandiwara kehidupan”? Kali ini, kita akan membahas sandiwara yang lebih spesifik dan penuh ironi yakni  sandiwara Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Cerita ini datang dari seorang mahasiswa di sebuah instansi pendidikan terkemuka di Kota Malang, Jawa Timur. Sebut saja namanya Fia. Ia adalah bagian dari mahasiswa angkatan 2022 yang dengan bangga mengklaim dirinya sebagai penerima KIP-K.  Namun, apakah ia memang sesuai untuk menjadi sasaran program KIP-K? 

KIP-K adalah program beasiswa yang dirancang khusus oleh pemerintah untuk membantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Tujuannya jelas, yakni memberikan akses pendidikan tinggi kepada mereka yang seharusnya tidak mampu membiayai pendidikan tersebut. Sayangnya, realitas sering kali tidak seindah harapan. Banyak cerita beredar tentang mereka yang sebenarnya tergolong berasal dari keluarga mampu  tetapi tetap menjadi penerima KIP-K, sementara mereka yang benar-benar membutuhkan KIP-K  justru tersisihkan.

Kisah Fia dan Sandiwaranya

Fia, mahasiswa dengan mobil pribadi dan gaya hidup hedon, menjadi contoh konkret dari ironi ini. Pada semester pertama, ia dengan bangga mengumumkan dirinya sebagai penerima KIP-K kepada teman-teman sekelasnya. Tidak ada yang aneh sampai di sini, hingga  teman-teman dan orang-orang di sekitarnya mulai menyadari bahwa gaya hidupnya bertolak belakang dengan status “kurang mampu” yang seharusnya melekat pada penerima KIP-K.

Fia, dengan percaya diri, memamerkan mobil pribadinya di media sosial, memposting foto-foto liburan, dan menunjukkan gaya hidup yang jauh dari kata sederhana. Namun, di balik layar, ada cerita yang berbeda. Dia dengan percaya diri menceritakan kepada teman-temannya bahwa saat survei KIP-K dilakukan oleh pihak kampus di rumahnya,  mobil pribadi keluarga Fia sedang “dipinjam” oleh saudaranya. Secara ajaib, keluarga Fia pun tampak kurang mampu di mata penyurvei KIP-K, sehingga ia berhasil lolos sebagai penerima beasiswa tersebut.

Di Mana Letak Kesalahan?

Beberapa pertanyaan besar muncul, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas mampu bisa lolos sebagai penerima KIP-K? Jawabannya mungkin terletak pada prosedur survei yang dilakukan oleh pihak kampus. Apakah survei ini dilakukan dengan cermat dan mendalam? Apakah ada verifikasi yang cukup terhadap informasi yang diberikan oleh calon penerima KIP-K?

Kesalahan-kesalahan tersebut bisa saja terjadi disebabkan karena proses survei yang dilakukan secara internal oleh pihak kampus saja yang sebenarnya mungkin tidak cukup. Kemudian, survei sering kali tidak dilakukan dengan cermat dan mendalam. Ketika tim survei datang, mereka hanya melihat kondisi fisik rumah dan mendengarkan penjelasan singkat dari keluarga tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini memungkinkan manipulasi, seperti yang dilakukan oleh Fia dengan meminjamkan mobil pribadinya ke saudara saat survei berlangsung, sehingga keluarganya tampak kurang mampu di mata penyurvei. 

Selain itu, kurangnya verifikasi yang cukup terhadap informasi yang diberikan oleh calon penerima KIP-K menjadi celah besar. Data penghasilan dan kepemilikan aset sering kali diterima berdasarkan laporan pribadi tanpa ada pemeriksaan dokumen resmi yang mendetail. Akibatnya, informasi yang diberikan bisa tidak akurat atau bahkan palsu, memungkinkan mereka yang sebenarnya mampu untuk lolos menerima KIP-K.

Kritik terhadap program KIP-K sudah sering muncul dari berbagai kalangan. Banyak mahasiswa dari keluarga yang benar-benar kurang mampu harus mengundurkan diri untuk tidak melanjutkan kuliahnya karena beratnya beban Uang Kuliah Tunggal (UKT). Mereka, yang benar-benar membutuhkan bantuan, justru sering kali tersisih oleh mereka yang pandai bersandiwara. 

Seperti saya, seorang mahasiswi dengan orang tua yang bekerja serabutan tanpa penghasilan tetap, tetapi tidak lolos sebagai penerima KIP-K. Ketidakadilan ini tidak hanya mempengaruhi moral mahasiswa, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan integritas program KIP-K. 

Pemerintah dan pihak kampus perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme seleksi dan verifikasi calon penerima KIP-K. Apakah data yang diberikan calon penerima diverifikasi dengan teliti? Apakah ada mekanisme untuk memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang paling membutuhkan? Rasa kecewa dan frustasi ini sangat bisa dimengerti karena menyangkut masa depan pendidikan dan kehidupan kami. Tanpa perbaikan yang nyata, program ini berisiko kehilangan tujuan utamanya dan merugikan banyak mahasiswa yang seharusnya mendapatkan bantuan tersebut. 

Perlunya Evaluasi dan Perbaikan

Program KIP-K jelas membutuhkan evaluasi dan perbaikan yang serius. Sistem verifikasi yang lebih ketat harus ditetapkan. Teknologi bisa menjadi solusi, seperti penggunaan basis data yang terintegrasi dengan berbagai instansi terkait untuk memastikan keakuratan informasi keuangan dan aset calon penerima. Misalnya, data dari Direktorat Jenderal Pajak, Dinas Sosial, dan catatan kepemilikan aset bisa diakses untuk memastikan kebenaran data yang diberikan oleh calon penerima. Tanpa pemanfaatan teknologi ini, proses verifikasi akan terus menghadapi tantangan dalam hal keakuratan dan efisiensi.

Pemerintah juga bisa melibatkan lebih banyak pihak independen dalam proses survei untuk mengurangi kemungkinan kecurangan. Misalnya, kerja sama dengan lembaga sosial atau pemerintah daerah yang memiliki data lebih lengkap tentang kondisi ekonomi warga setempat bisa menjadi solusi.

Selain itu, transparansi dalam proses seleksi perlu ditingkatkan secara signifikan. Saat ini, banyak mahasiswa dan masyarakat merasa bahwa proses seleksi KIP-K dilakukan secara tertutup dan kurang transparan. Penerima KIPK seharusnya diumumkan secara terbuka, melalui situs website resmi atau papan pengumuman kampus, sehingga semua pihak dapat mengetahui siapa saja yang menerima bantuan tersebut. Langkah ini tidak hanya akan mendorong akuntabilitas tetapi juga memungkinkan masyarakat dan mahasiswa lain untuk ikut mengawasi proses ini.

Dengan adanya pengumuman yang terbuka, masyarakat dapat memberikan masukan atau melaporkan jika ada indikasi kecurangan terhadap kriteria yang telah ditetapkan. Transparansi semacam ini juga akan memberikan rasa keadilan bagi mahasiswa yang merasa telah memenuhi syarat namun belum mendapatkan bantuan.

 Selain itu, evaluasi dan umpan balik dari masyarakat akan menjadi sumber berharga untuk memperbaiki sistem seleksi di masa depan. Pemerintah dan pihak kampus dapat mempertimbangkan untuk membentuk tim independen yang bertugas mengawasi dan mengevaluasi proses seleksi ini secara berkala. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa bantuan ini benar-benar sampai kepada mereka yang berhak dan program KIP-K dapat mencapai tujuannya dengan lebih efektif dan tepat sasaran.

Refleksi untuk Kita Semua

Kisah Fia ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, termasuk mereka yang kurang mampu. Namun, ketika ada celah dalam sistem, selalu ada pihak yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi. Sebagai mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab moral untuk jujur dan adil. 

Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk mendapatkan bantuan pendidikan, tetapi harus dengan cara yang benar. Berbuat curang tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merampas hak orang lain yang lebih membutuhkan.

Kita semua tentu ingin melihat program KIP-K dan berbagai beasiswa lainnya benar-benar tepat sasaran. Bagi mereka yang memang membutuhkan, bantuan ini adalah tiket emas untuk menggapai mimpi dan meraih masa depan yang lebih cerah. Jangan biarkan mimpi-mimpi itu terhenti hanya karena ada oknum yang pandai bersandiwara dan memanfaatkan celah sistem. Kita perlu berdiri bersama, mendorong transparansi dan keadilan, agar setiap bantuan yang diberikan benar-benar sampai ke tangan yang tepat dan dapat memberikan dampak nyata bagi mereka yang berhak.

Penulis: Talita Lathifatur/Kontributor
Editor: Eka Safitri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA