“Panjang umur perjuangan!”
Sebaris kalimat ini acapkali diutarakan oleh Ahmad Fitron Fernanda, satu dari tiga korban kriminalisasi aktivis yang baru-baru ini terjadi di Kota Malang. Fitron merupakan salah seorang pemuda yang aktif menyuarakan berbagai isu terkait penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui Aksi Kamisan Malang. Sebagai salah satu komite dari aksi tersebut, setiap kamis sore, Fitron bersama beberapa kawan lainnya rutin menyuarakan tuntutan terhadap keadilan HAM di Indonesia. Pemuda ini juga merupakan pegiat pers mahasiswa. Kerapkali, Ia turun langsung dalam meliput berbagai isu seperti penolakan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan perjuangan warga Lakardowo dalam mengembalikan hak tempat tinggal mereka yang rusak karena limbah berbahaya dari PT PRIA. Dalam aktivitasnya sebagai pers mahasiswa, Fitron juga turut terlibat dalam menggaungkan isu-isu terkait kekerasan seksual pada perempuan yang kini kian menjadi perhatian karena dianggap sebagai isu krusial.
Salah satu warga Lakardowo, Sutamah, mengatakan bahwa Fitron merupakan pemuda baik, sering membantu Sutamah dalam hal advokasi terkait Lakardowo. Bahkan, Sutamah mengaku bahwa Fitron sudah seperti anaknya sendiri. “Fitron dan temen- temennya (adalah) penyemangat bagi perjuangan warga Lakardowo. Waktu ibu daftar gugatan PK di PTUN Surabaya, dia dan temennya dateng untuk mendampingi, padahal Surabaya-Malang lumayan (jauh) tapi Fitron tetep dateng,” ungkapnya.
Mendengar kabar Fitron dibawa ke Polisi Resort (Polres) Malang atas tuduhan perbuatan vandalisme, Sutamah mengaku sangat sedih. “Belum lama ini ibu chatan sama Fitron, ibu curhat, Fitron nyemangatin ibu. Dia anaknya baik. Fitron bilang belum bisa ke sini soalnya ada corona.
Cuma bisa kangen-kangenan lewat WA,” ujarnya. “Sekarang ibu kepikiran, sedih banget. Gimana ya kondisi Fitron sekarang, sudah makan apa belum. Soalnya Fitron jarang makan,” tambahnya.
Menurut keterangan dari pers rilis yang dikeluarkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan hukum Indonesia (YLBHI), LBH Surabaya, dan LBH Pos Malang, Fitron memang dijemput di Sidoarjo oleh polisi yang bertugas di Malang pada (19/4). Saat penjemputan tersebut, polisi menunjukkan surat namun tidak tertera nama Fitron di sana. Fitron sempat menolak, namun akhirnya terpaksa mengikuti polisi untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Sangat disayangkan hal tersebut bertentangan dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Acara Pidana) pasal 18 ayat(1) yang berbunyi : “(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.”
Selaku pengacara publik LBH Surabaya, Jauhar Kurniawan pun menilai proses penangkapan yang dilakukan oleh polisi cacat prosedur. “Tindakan penahanan ini tidak mencerminkan profesionalitas polisi sebagai penegak hukum yang melakukan tindakan penangkapan dan penahanan tidak sesuai dengan aturan yang ada,” ungkapnya seperti dikutip pada suara.com
Ketika sampai di Polres Malang, pemeriksaan diproses secepat kilat tanpa memerhatikan langkah-langkah hukum yang ada. Padahal, Fitron dan dua orang lainnya (Alfian dan Saka) bekerja sama dengan baik, hal tersebut diungkapkan oleh Jauhar Kurniawan yang dikutip pada jatim.suara.com. “Polisi lalu menaikkan statusnya menjadi tersangka, mereka dikenakan Pasal 160 KUHP Tentang Penghasutan yang merupakan delik materil,” tambahnya.
Pasal 160 KUHP yang berbunyi, ”Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Lukman, selaku LBH Pos Malang menjelaskan dalam konferensi pers surat terbuka hari ini (25/4), apabila memang benar yang disangkakan merupakan pasal 160 KUHP maka hal tersebut merupakan langkah kemunduran, karena pasal tersebut pernah diajukan uji materil dan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan terkait pasal 160 KUHP terkait dengan penghasutan maupun provokasi harus mampu dibuktikan suatu dampak dari kegiatan provokasi dan penghasutan tersebut.
Penangkapan yang penuh kejanggalan
Dalam surat terbuka kepada kepolisian RI yang dibuat oleh solidaritas masyarakat yang tergabung dalam Aksi Kamisan Jakarta dan Malang, penangkapan yang dilakukan terhadap Fitron, Alfian, dan Saka adalah salah satu upaya pelanggaran hukum dan demokrasi dengan mengkriminalisasi secara sewenang-wenang.
Penangkapan terhadap ketiganya dinilai memiliki banyak kejanggalan. Pertama, penangkapan dilakukan tanpa menunjukkan surat penjemputan yang jelas, seperti surat penjemputan Fitron yang tidak tertera namanya, hanya diberikan surat penjemputan kosong. Lukman, selaku LBH Pos Malang juga menjelaskan bahwa tidak ditunjukkan surat penangkapan saat melakukan penangkapan terhadap Saka dan Alfian pada tanggal 20 April. Keterangan dan surat penangkapan tersebut baru diberikan pada di tanggal 21 April. “Jadi menurut kita ada kejanggalan dimana ditanggal 20 April mereka ditangkap namun tidak ada surat penangkapan. Tetapi, di suratpenangkapannya tertulis tanggal 19 April. Sehingga terkesan ada yang dipaksakan,” tambah Lukman.
Kedua, alasan penangkapan yang masih prematur. Dimana tuduhan yang disangkakan kepada mereka masih samar. Suciwati, istri Almarhum Munir, yang juga tergabung dalam solidaritas Aksi Kamisan Malang mengatakan bahwa sejak awal Aksi Kamisan adalah aksi damai, tidak ada yang namanya anarki. “Jadi ketika teman-teman ini ditangkap dan dituduh melakukan anarki menimbulkan tanda tanya besar bagi kami,” ujarnya. Suciwati juga mengatakan tuntutannya untuk membebaskan ketiga pemuda tersebut tanpa syarat. “Karena dapat kita lihat dari banyak contoh kasus-kasus para pembela HAM itu banyak ditangkapi tanpa prosedural,” tambahnya.
Dinda, salah satu yang tergabung dalam Aksi Kamisan malang juga menyebutkan bahwa Aksi Kamisanadalah sebuah wadah untuk teman-teman yang peduli kepada isu HAM, baik isu HAM masa lalu atau HAM masa kini, serta kasus-kasus yang ada di sekitar. “Teman-teman yang sedang ditangkap saat ini adalah teman-teman yang aktif di Aksi Kamisan malang.” Sekali lagi, Aksi Kamisan merupakan aksi damai yang penyampaianya melalui seni, atau puisi-puisi, saling berdiskusi, bercerita, bahkan dengan aksi diam. “Maka dari itu pihak Aksi Kamisan Malang merasa penangkapan dengan dalih tindakan anarki adalah sesuatu yang terkesan dibuat-buat,” ujarnya.
Ketiga, tuduhan yang dijatuhkan oleh pihak kepolisian dirasa tidak konsisten. Mereka yang mulanya ditangkap karena tuduhan vandalisme, tiba-tiba diperluas tuduhannya, dan dikenakan pasal 160 KUHP mengenai penghasutan. Menurut keterangan Eva (LBH Malang) dalam konferensi pers terbuka hari ini (25/4), Ia sempat diberi peringatan oleh seorang oknum yang bukan penyidik bahwa tindakan yang dilakukan ketiganya mengarah pada tindakan anarko yang menentang kebijakan pemerintah. Namun, Eva mengaku masih menelusuri dan mengupayakan lebih lanjut. “Yang jelas sampai saat ini kita masih mengupayakan untuk mendapatkan BAP, karena hal tersebut adalah poin penting untuk melakukan pembelaan,” ujarnya.
Sudah banyak orang yang menjadi korban kriminalisasi akibat latar belakang atau profesinya, mereka harus menghadapi proses hukum yang dipaksakan, termasuk di dalamnya juga mengalami diskriminasi. Berbagai organisasi pun melihat, praktik kriminalisasi semakin meluas. Menjadi alat bungkam bagi para penguasa, baik penguasa politik maupun ekonomi. Bebaskan kawan kami, putuskan mata rantai kriminalisasi.
Penyunting: Rizka Ayu Kartini & Mita Berliana
Ilustrator: Widhi Hidayat