Dalam kehidupan, manusia memiliki berbagai kebutuhan yang dikategorikan dalam kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Melihat dari ketiga itu, kebutuhan primer lah yang merupakan kebutuhan yang perlu diprioritaskan, seperti sandang, pangan, dan papan. Namun sayangnya masih banyak yang masih belum mendapatkan kebutuhan primer tersebut dengan baik, apalagi dalam hal pangan. Kita mengetahui bahwa cara manusia dalam memenuhi kebutuhan pangan dapat berbeda-beda dan menyesuaikan dengan kondisi tempat tinggal, ada yang bergantung pada hasil laut, hasil hutan, maupun sumber yang lain. Seiring berjalannya waktu, permasalahan mengenai pangan ini bermunculan, salah satunya adalah yang akan diulas secara singkat pada tulisan ini, yaitu gastrocolonialism.
Gastrocolonialism merupakan sebuah istilah yang dibuat oleh Craig Santos Perez, istilah ini awalnya digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat Hawaii yang bergantung pada produk impor dengan kandungan nutrisi yang rendah, sehingga dapat menyebabkan penyakit pada masyarakat lokal. Dengan pengertian lain, gastrocolonialism digunakan untuk menjelaskan kondisi ketika makanan produksi pabrik, dengan gizi rendah, menggantikan sistem pangan tradisional yang mempunyai nilai gizi lebih baik.
Sistem pangan yang berubah ini berpengaruh pada angka kelaparan yang terjadi pada masyarakat, selain itu ditambah pada kasus gagal panen akibat perubahan iklim dan cuaca, contohnya yang pernah terjadi di daerah Lanny Jaya, Provinsi Papua Pegunungan. Seperti yang kita ketahui Papua memiliki keragaman bahan pangan yang melimpah, seperti sagu, ubi, betatas, singkong, dan sebagainya. Namun sayangnya keberagaman pangan yang seharusnya dikembangkan seolah menjadi sedikit terpinggir dan tergeser.
Selain itu mengutip dari Kompas.id, adanya beras miskin (raskin) menyebabkan masyarakat bergantung pada beras dan jumlah luas perkebunan ubi sedikit berkurang. Sempat beredar di salah satu media sosial mengenai sebuah video yang menunjukkan seorang ibu di Papua menukarkan tomatnya dengan mie instan. Bergesernya pola pangan ini dikarenakan pola konsumsi yang mulai bergeser kearah yang serba praktis. Akses transportasi yang tidak mudah dan cukup mahal juga menjadi kendala pendistribusian makanan bergizi secara merata di papua. Hal ini membuat Papua mengalami krisis kebutuhan pangan.
Bergesernya pola pangan ini dipengaruhi oleh alih fungsi hutan untuk keperluan industri di Papua. Hutan-hutan yang seharusnya menyediakan keberagaman bahan pangan itu akhirnya tidak ada, dan tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Papua dengan baik. Melihat semua hal itu istilah gastrocolonialism cocok untuk mendeskripsikan kondisi di Papua akhir-akhir ini. Namun sayangnya kondisi Papua yang tengah berada dalam krisis kebutuhan pangan, malah semakin diperburuk dengan adanya hutan adat yang akan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Mengutip dari Greenpeace Indonesia, pada tanggal 27 Mei 2024, pejuang lingkungan dari Suku Awyu dan Suku Moi dari Papua mendatangi Mahkamah Agung untuk mempertahankan hutan adat mereka. Novella Wetipo, Co-Founder The Papuan Movements, dalam Diskusi Publik “All Eyes On Papua”: Suku Awyu, Hutan Adat, dan Ekspansi Kelapa Sawit di Indonesia, mengatakan bahwa sawit hanya mengambil tempat tinggal dan hutan sagu Papua dengan pati terbaik yang menjadi sumber pangan utama bagi masyarakat Papua. Hal inilah yang menjadi penyebab semakin memburuknya gastrocolonialism atau penjajahan pangan dan kondisi yang menyerang pangan lokal.
Apabila hutan sagu semakin berkurang dan hilang, maka bahan pangan pokok Papua juga hilang, sehingga mau tidak mau harus mengonsumsi beras. Sedangkan, harga beras di Papua lebih mahal dan memiliki gizi lebih rendah dibanding sagu. Penelitian dari Sophie Chao (2022) yang berjudul Gastrocolonialism: the intersections of race, food, and development in West Papua, menjelaskan bahwa perwakilan perusahaan dan negara menyampaikan satu bentuk kemajuan adalah mengonsumsi nasi dan mengenal mie instan. Selain itu, penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa masyarakat yang bersedia lahannya dialihfungsikan, diberi “hadiah” berupa beras, biskuit, dan mie instan.
Pembangunan perkebunan sawit “di-framing” sebagai penyelamat karena dapat menambah penghasilan masyarakat, agar mereka dapat membeli “makanan bergizi” dan berhenti mencari pangan dari hutan. Namun, hal tersebut malah dapat menyebabkan ketergantungan terhadap makanan minim nutrisi, sedangkan mie instan ini merupakan produk makanan yang telah melewati beberapa proses kimia, yang akan berdampak buruk pada kesehatan apabila tidak membatasi konsumsinya. Misalnya, malnutrisi pada anak-anak terjadi karena zat gizi yang dibutuhkan untuk perkembangan otak dan kekebalan tubuh sangat kurang. Hal tersebut membuat masyarakat akan semakin bergeser pada pola konsumsi yang praktis tanpa mempertimbangan nilai gizi. Pada akhirnya krisis pangan bukan terselesaikan tetapi semakin memburuk.
Gastrocolonialism ini termasuk permasalahan yang kompleks karena memiliki relasi dengan budaya, lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan sebagainya. Budaya pangan yang bersumber dari wilayah hutan, lingkungan hutan yang terancam rusak karena urusan ekonomi dan industri, penukaran lahan dengan memberikan bahan makanan -termasuk bahan instan- yang nutrisinya lebih rendah, mengonsumsi pangan rendah nutrisi dalam waktu jangka panjang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang lebih rumit lagi. Lingkungan yang terancam inilah menjadi fokus yang juga sedang disorot. Wilayah adat yang salah satu fungsinya sebagai sumber pangan utama seharusnya tidak boleh diganggu gugat. Kerugian besar akan hilangnya wilayah hutan tidak akan sebanding dengan keuntungan yang didapat dari perkebunan sawit. Perjuangan mempertahankan hutan adat sudah semestinya didengar dan dipenuhi oleh negara karena hal ini menyangkut banyak aspek seperti iklim, pangan, tempat tinggal, budaya, dan sebagainya.
Penulis: Karunia Citra/Kontributor
Editor: Tian Martiani
Sumber rujukan:
Arif, A. (2022). Kelaparan Berulang di Papua dan Kegagalan Sistem Pangan di Indonesia. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/08/05/kelaparan-berulang-di-papua-dan-kegagalan-sistem-pangan-indonesia. Diakses pada 10 Juli 2024.
Chao, S. (2022). Gastrocolonialism: the intersections of race, food, and development in West Papua. The International Journal of Human Rights, 26(5), 811-832. https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1968378
Greenpeace Indonesia. (2024). Suku Awyu dan Moi Gelar Aksi Damai di Mahkamah Agung, Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua. https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/58406/suku-awyu-dan-moi-gelar-aksi-damai-di-mahkamah-agung-serukan-penyelamatan-hutan-adat-papua/. Diakses pada 10 Juli 2024.
Pulitzer Center. (2023). Peliputan Lingkungan: Membahas Gastro colonialism [Video]. https://youtu.be/0eS_QOYn-7Q?si=cL0CbkGi63JLC5Ct. Diakses pada 10 Juli 2024.
Tuasikal, R. (2023). Environmental Reporting: Gastrocolonialism. https://rainforestjournalismfund.org/environmental-reporting-gastrocolonialism . Diakses pada 10 Juli 2024.