Sikap yang akhir-akhir ini ditunjukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah rupanya memiliki tujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ditandai dengan langkah DPR RI yang mengeluarkan draf revisi undang-undang (RUU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Juga pemerintah, yang dalam hal ini adalah Presiden Republik Indonesia (RI), telah mengeluarkan Surat Presiden atau yang disingkat dengan Surpres R-42/pres/09/2019.
Hal-hal yang dikhawatirkan masyarakat pun muncul, dan opini publik mulai mencuat naik ke permukaan setelah Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Hukum dan HAM & Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas RUU KPK.
KPK sendiri pun tak hanya diam. KPK juga melakukan aksi untuk menjaga independensinya dengan merilis berita di laman resminya. KPK mengungkapkan daftar 10 persoalan di draf RUU KPK, antara lain sebagai berikut:
- Independensi KPK terancam
- Penyadapan dipersulit dan dibatasi
- Pembentukan dewan pengawas dari DPR
- Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi
- Penunutan perkara korupsi harus koordinasi dengan jaksa agung
- Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak menjadi kriteria
- Kewenangan pengambilan perkara di penuntutan dipangkas
- Kewenagan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan
- KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan
- Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dipangkas
Dari kesepuluh persoalan yang dituliskan oleh KPK tersebut, memang menjadi kekhawatiran masyarakat juga. Apabila RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang, menjadi kemungkinan bahwa independensi KPK akan terancam. KPK tidak lagi disebut sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam hal ini tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh manapun.”
KPK akan melemah jika DPR juga membentuk Dewan Pengawas, ditambah dengan wacana bahwa dewan pengawas itu yang memilih adalah DPR. Semua penanganan harus mendapatkan izin dewan pengawas, seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Hal ini menjadikan proses birokasi di KPK akan semakin panjang dan memperlama waktu penyidikan dan penuntutan.
Hal ini juga berkesinambungan dengan poin kesembilan persoalan RUU KPK. KPK merasa peraturan untuk mengeluarkan SP3 (Surat perintah penghentian penyidikan) dengan tenggat waktu penyidikan dan penuntutan 1 tahun dinilai tidak tepat. Karena penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama satu tahun akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan.
Baca juga: Tolak RUU KPK, Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK) Gelar Aksi
Belum lagi dengan tingkat kesulitan penanganan perkara yang membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Hal ini menjadi masalah baru bagi KPK jika ada tenggat waktunya, mungkin nanti ada yang bermain-main dengan hal penyidikan sehingga waktunya lebih dari satu tahun atau SP3 digunakan untuk bermain-main kasus. Mengenai SP3 ditanggapi oleh Istana, dilansir dari CNN Indonesia, Jokowi mengusulkan SP3 diberikan maksimal setelah perkara berjalan dua tahun. Jokowi juga menyebutkan SP3 itu merupakan opsional bagi KPK. Istana juga menolak empat poin dalam draf RUU.
Pertama jokowi menyatakan tidak setuju jika KPK harus mendapatkan izin pihak luar jika ingin melakukan penyadapan, cukup dewan pengawas saja. Kedua, Jokowi tidak setuju jika penyidik KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan, Jokowi menyebutkan penyidik KPK bisa berasal dari dari golongan Aparatur Sipil Negara (ASN). Ketiga, Jokowi tidak setuju jika KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan dan yang terakhir Jokowi tidak setuju jika Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dialihkan pengelolaannya kepada kementrian atau lembaga lainnya. Jokowi menilai poin ketiga dan keempat sudah bagus di KPK, jadi tidak perlu dirancang ulang.
Namun, bukan berarti poin-poin yang disebutkan oleh Jokowi tersebut dapat mencegah melemahnya KPK. Sekali lagi, independensi KPK dipertaruhkan. Selain harus mendapatkan izin dari dewan pengawas penyidik, sumber penyelidik dan penyidik berasal dari unsur ASN yang nantinya juga mempengaruhi independensi KPK dalam kasus-kasus di pemerintahan.
Sepertinya negara tidak pernah serius dalam upaya penguatan KPK, sudah lebih dari 700 hari penyiraman air keras kepada Novel Baswedan. Ini bukan masalah Novel Baswedan dan KPK saja, ini adalah masalah seluruh Indonesia. Jika hal seperti ini belum bisa terungkap, bisa jadi hal serupa dapat terulang dan KPK ‘diteror’ terus-terusan. Maka, KPK akan benar-benar lemah seperti yang diharapkan oleh beberapa orang yang tidak suka dengan KPK.
Walaupun begitu, KPK tidak pernah takut akan ‘ancaman’ RUU KPK yang (akan) melemahkan mereka. KPK terus melakukan aksi dengan cara menutupi gedung merah putih dengan kain hitam dan muncul gambar hitam di layar utama didalam website KPK (kpk.go.id) dan di gambar hitam tersebut tertulis “ Kami Tetap Bekerja, Kami Tetap Berjuang, #SaveKPK”.
Malang, 14 September 2019
Penyunting: Rizka Ayu Kartini
satu Respon