Meletusnya tragedi trisakti yang dahulu menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti telah menuliskan catatan kelam jejak kekerasan aparat terhadap mahasiswa. Penculikan-penculikan aktivis yang diduga didalangi oleh pimpinan elit militer juga membuat masyarakat memandang aparat secara negatif, hingga saat ini. Pun, aksi demonstrasi di beberapa wilayah yang disertai kekerasan aparat, yang sedikit banyak telah menimbulkan sentimen di kalangan mahasiswa.
Militer yang disebut-sebut sering menerapkan praktik senioritas dan menggunakan kekerasan dalam pendidikannya, tak mengurungkan minat sebagian mahasiswa untuk bergabung–ke dunia militer. Di lingkungan kampus, kita dapat menjumpai “miniatur aparat” lewat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Resimen Mahasiswa (Menwa). Sebagai komponen cadangan pertahanan negara, anggota Menwa diberikan pelatihan ilmu militer seperti penggunaan senjata, taktik tempur, teknik bertahan hidup, navigasi, dan sebagainya. Lalu, bagaimana jika unsur militerisme seperti itu justru hadir di tengah-tengah mahasiswa, dan malah mahasiswa itu sendiri yang menjelma “aparat”?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada 20 Agustus, awak LPM Siar mewawancarai dua anggota UKM Menwa Universitas Negeri Malang (Menwa Satuan 805/WRC UM) via WhatsApp. Mereka adalah Dwi Bayu Handayani, Kepala Provost (Kaprov) UKM Menwa UM; dan Dzikrulloh Akbar, anggota angkatan ke-73 UKM Menwa UM. Simak wawancara dengan mereka!
p
- Kegiatan apa yang biasa dilakukan Menwa?
Agenda Menwa mulai dari intern seperti kesegaran jasmani, penempuhan dan pembaretan, latihan-latihan rutinan, sampai kegiatan ekstern seperti latihan gabungan antar-Menwa se-Indonesia. Ada juga webinar, lomba, pengamanan kegiatan, dan sebagainya. Kegiatan yang kami lakukan sebelum pandemi, sih, biasanya menjadi pengaman kalau ada acara di Gracak (Gedung Graha Cakrawala UM), jadi petugas upacara di lapangan Cakrawala kalau ada peringatan hari-hari besar nasional seperti HUT RI, hari Pendidikan Nasional, hari Sumpah Pemuda, dan lain-lain.
- Kenapa di sebuah kampus harus ada Menwa?
Menwa bersemboyankan ‘Widya Castrena Dharma Siddha’ yang artinya penyempurnaan pengabdian dengan ilmu pengetahuan dan olah keprajuritan. Keprajuritan di sini bukan berarti mahir bertempur seperti tentara, tapi jiwa keperwiraan dan kepemimpinan. Harapannya, Menwa bisa jadi wadah bagi generasi muda di lingkungan kampus untuk belajar dan berlatih jadi akademisi yang militan dan cinta tanah air.
- Apa benar anggota Menwa adalah orang-orang yang bermimpi jadi aparat?
Kebanyakan, sih, begitu … tapi tidak semua (anggota). Ada juga yang pengin jadi PNS. Bahkan ketika sudah jadi (anggota) Menwa dan masih menjalani perkuliahan, ketika ada penerimaan TNI atau Polri, tak sedikit juga teman-teman maupun senior yang masih mencoba untuk mendaftar kembali.
- Selain bermimpi jadi TNI atau Polri, biasanya apa lagi alasan mahasiswa bergabung ke Menwa?
Kebanyakan dari mereka pengin mengikuti UKM dengan kegiatan yang berbau kemiliteran atau aktivitas fisik yang kental, jadi (mereka) larinya ke Menwa.
- Bagaimana cara menjadi anggota Menwa? Ada tes atau kriteria tertentu?
Untuk jadi anggota Menwa, tiap tahunnya pasti ada PAB atau istilah lainnya itu oprec (open recruitment). Bagi adik-adik maba dan mahasiswa semester 3, ada kesempatan untuk daftar. Nah, di situ tesnya hampir sama seperti pendaftaran tentara atau polisi. Ada tes fisik, tes psikologis, tes administrasi, dan wawancara. Untuk tinggi badan … sebenarnya tidak ada ketentuan. Tapi di Menwa Satuan 805/WRC UM, tinggi badan memang dijadikan bahan pertimbangan, meski tidak menutup kemungkinan (pendaftar yang dianggap tidak tinggi) untuk lolos seleksi.
- Menwa berbasis militer. Militer sendiri identik dengan senioritas. Bagaimana pandangan Anda?
Menurut saya senioritas itu tidak sepenuhnya buruk. Dengan senioritas, saya jadi mengerti pahitnya ada di bawah dan bersyukurnya ada di atas, jadi saya belajar menghargai orang lain. Selain hal yang wajar, senioritas juga lebih asyik buat belajar. Karena setelah lulus dari kampus, nantinya kita akan bekerja. Di tempat kita kerja, ada pekerja yang sudah lama, sedangkan kita orang baru. Jadi di Menwa bisa belajar soal itu. Maksudnya, kita menghormati orang yang sudah bekerja duluan, namun tetap bersosialisasi selayaknya teman.
- Apakah ada aturan antar-anggota Menwa?
Kalau di Pramuka, kan, ada panggilan ‘Kak’. Kalau di Menwa, ada panggilan ‘Pak’ dan ‘Bu’. Panggilan ini ditujukan ke senior maupun teman seangkatan. Biar belajar profesional aja, sih. Biar beda juga antara Menwa dengan UKM lain.
- Satu kata untuk Menwa?
Komando!
P
Penulis: Allis Yuning Tyas, Delta Nishfu Aditama
Penyunting: Avif Nur Aida