Indonesia memiliki keberagaman suku, ras, agama, kepercayaan, dan bahasa. Kepala Badan Bahasa dan Perbukuan, Dadang Sunendar mengatakan bahwa per tanggal 24 Oktober 2019, jumlah bahasa daerah di Indonesia sebanyak 718 bahasa. Jumlah tersebut belum termasuk dialek atau gaya bahasa.
Keberagaman bahasa di Indonesia dapat menjadi peluang dalam berkarya, misalnya film. Film merupakan audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang. Bisa juga diartikan sebagai sebuah cerita dari tokoh tertentu yang dibuat secara struktur dan utuh. Pembuatan film merupakan gabungan antara seni dan industri.
Perfilman di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Industri perfilman Indonesia berkembang setiap tahunnya, bahkan banyak film yang diproduksi oleh anak bangsa dengan mengangkat kekayaan daerah yang ada di Indonesia, yakni menggunakan bahasa daerah.
Adanya dialog bahasa daerah, selain memperkenalkan bahasa itu sendiri kepada penonton juga memperkenalkan apa-apa yang ada disajikan dalam film tersebut. Misalnya Yowis Ben, film garapan Bayu Skak dan tim ini tidak hanya menyuguhkan film dengan 90% bahasa jawa, tapi juga membuktikan keragaman yang ada di Indonesia dan pengenalan tempat-tempat yang ada di Malang, seperti Kampung Warna-warni, Museum Angkut Batu, dan Alun-alun Merdeka Kota Malang.
Hal tersebut sejalan dengan Abdul Harits, Tim Artistik Film Yowis Ben 3 ungkapkan melalui Diskusi Nusantara dengan tema “Bahasa Daerah dalam Bingkai Layar Perak Indonesia” pada Senin (23/11) bahwa, film dengan bahasa daerah diminati karena mengangkat budaya, entah itu kehidupan sosial, cara berpakaian, pariwisata, sampai kuliner.
Film dengan berbahasa daerah, yang diminati karena mengangkat budaya ini juga sekaligus menambah pengetahuan kita akan kehidupan sosial lain yang ada di Indonesia namun belum mampu karena keterbatasan jangkauan.
Tilik misalnya. Bukan hanya soal perjalanan ibu-ibu yang menjenguk bu lurahnya, film yang berlatar tempat Bantul dan menggunakan dialog bahasa jawa ini mengungkapkan suatu fenomena yang terjadi apabila ibu-ibu sedang berkumpul, tak sekadar gosip tapi juga perbarteran “informasi”.
Menurut Sobur (2013) dalam Semiotika Komunikasi, banyak penelitian mengungkapkan, film mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya.Hal ini berdasarkan argumen bahwa film merupakan potret dari masyarakat di mana film itu dibuat. Film merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian diproyeksikan ke layar.
Pernyataan tersebut mengingatkan saya pada film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Film yang berlatar tempat di Sumba dan menggunakan bahasa daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, menyiratkan banyak hal yang tak hanya berisi potret kehidupan pelosok Indonesia, tapi juga menggambarkan budaya lainnya yang ada di Indonesia, seperti kesukaran akses transportasi, kebobrokan pelayanan publik, perempuan yang terbelenggu oleh sistem sosial yang mana telah memperkosa hak-hak perempuan, penyintas yang tak pernah menemukan ruang aman bahkan setelah melapor kepada pihak yang berwenang, sampai sistem adat yang menyudutkan perempuan.
Penggunaan bahasa daerah dalam film bukanlah suatu kehinaan, justru merupakan peluang bagi para sineas untuk mengulik budaya yang ada di Indonesia dan terus berkarya.
Penyunting: Dina