Saya berusaha untuk mengingat kembali biji rencana pergi ke Baluran yang lahir pada tahun 2018 silam. Bagai konspirasi alam semesta, saya dipertemukan dengan Aria, seorang kawan yang bercita-cita ke Baluran. Tepatnya di sebuah kedai kopi. Di sana, kami memastikan rencana tersebut. Dengan setengah penasaran, saya mencoba mencari tahu alasannya mengapa harus Baluran.
“Karena Baluran menjadi alternatif saya, karena pergi ke luar negeri adalah keinginan yang mustahil. Jadi Afrika Of Java menjadi solusi, hampir sama persis soalnya. Selain itu ingin menikmati suasana yang bebas polusi dan terakhir mumpung masih muda, jadi berkeinginan untuk menyaksikan keindahan Nusantara,” jawabnya.
Hingga ditengah obrolan, saya berpendapat bahwa untuk menambah list tempat tujuan yang akan didatangi, tanpa merubah tujuan utama. Mendengar pendapat saya, Aria menunjukkan wajah berbeda, artinya ia tidak mudah begitu saja mengamini pendapat saya barusan.
Berat hati rasanya, jika jauh-jauh dari Kota Bumi Wali kemudian ke Daerah Ujung Timur Pulau Jawa hanya berkunjung satu tempat—hanya Baluran. Ibarat Rujak soto tanpa kuah; ada yang kurang lengkap. (Rujak soto; makanan khas Banyuwangi) Bagaimana tidak lengkap, masih dalam satu daerah apa salahnya jika mengunjungi tempat yang menarik.
Baluran memang menyimpan keindahan di balik liarnya hutan, juga eksotis padang savananya. Namun, mengingat budget yang dikeluarkan untuk datang ke sana, kenapa tidak sekalian mendatangi Kawah Ijen dan Pulau Merah.
Tabungan sudah cukup untuk melakukan perjalanan, dan 2019 merupakan buah dari rencana tahun lalu. Liburan semester genap adalah waktu yang cukup untuk melakukan perjalanan, sependapat dengan saya, Aria memilih untuk tidak menentukan perjalanan dengan berangkat-sampai-lalu pulang. Kami berdua berencana berlama-lama di Banyuwangi, mengingat jarak yang akan ditempuh jauh.
Jari tangan saya jail, dari kejailan itu memberitahukan sesuatu kepada saya; tiket kereta menuju Surabaya – Banyuwangi tidak sampai Rp 100.000,00 kemudian memberi kabar Aria sambil memastikan keberangkatan perjalanan. Masa libur semester genap sudah mulai senja, akhirnya kabar balik datang, dia mendapat beasiswa. Itu adalah kabar yang bahagia, namun perjalanan ke Baluran adalah sebaliknya. Dia tidak diperbolehkan mengambil cuti untuk jangka waktu yang lama dan sialnya tujuan kami hanya Baluran, saya memutuskan untuk mengalah, lalu mengikutinya (yang penting jalan dulu, pikir saya). Berbarengan dengan massa libur yang hampir tengelam, belum ada kabar kembali, dan akhirnya saya yang menghubungi. Jawabnya masih sama, belum diperbolehkan ambil cuti untuk jangka waktu yang lama (kalimatnya biasa, tapi rencanan yang binasa).
Biji rencana yang sudah ditanam tahun 2018 lalu, seharusnya biji itu sudah berbuah matang ditahun 2019 dan semestiya buah tersebut sudah kami petik, lalu melakukan perjalanan. Menurut ilmuwan buah yang sudah matang jika dibiarkan terlalu lama akan membusuk dan jatuh ke tanah, dimakan ulat, dan itu penanda bahwa perjalanan kami; tidak pernah terjadi.
Aktivitas monoton dan membosankan selamat datang kembali~
Rencana itu lenyap, semua yang sudah dipersiapkan dengan terencana, sistematis dan terstruktur berbuah hancur. Sempat berpikir, kenapa dia tidak memberi kabar dijauh-jauh hari sebelumnya. Sialnya lagi saya sudah memberitahu kawan kuliah (sekaligus kawan satu kontrakan saya) yang berasal dari Banyuwangi, bahwasanya akan berkunjung ke rumahnya. Tapi perjalanan tidak pernah terjadi.
“Berangkat sendiri saja haha.” canda kawan saya.
Membaca pesan dari kawan kuliah saya itu, malah membuat saya berpikir mustahil. Mana mungkin berangkat sendirian ke sana. Namun kegagalan perjalanan itu bisa membuat yang mustahil akan menjadi nyata. Dari peristiwa tersebut saya mulai mengumpulkan lagi buah-buah rencana yang hancur berserakan dan mengambilnya kembali(meski tidak ada konsep rencananya bakal sperti apa), dan bertekad untuk mencuri mimpi Aria itu. Dilain sisi, mulai detik itu saya berhenti menciptakan rencana perjalanan, apalagi membicarakannya ke semua orang. (Saya berharap) Anginlah yang akan membawa saya pergi, ke mana pun.
Hingga pada tahun 2020, tidak seperti biasanya saya agak santai menanggapi ajakan mendaki gunung, maupun bermalam di pantai. Kali ini saya tidak terburu-buru untuk mengiyakan ajakan tersebut, dan cara menyikapi hal seperti itu membuat diri saya lebih nyaman. Memasuki era New Normal, saya tidak tergoda dengan instastory kawan-kawan yang melakukan aktivitas di alam bebas, ya mungkin karena empat belas hari menjalani karantina di rumah menjadikan mereka bosan, lalu keinginan dalam dirinya berpetualang meronta-ronta ingin dibebaskan. Wajar sih.
Pada 8 Agustus, ada beberapa urusan kampus yang harus saya selesaikan, tidak terburu-buru langsung kembali ke rumah. Sebelum berangkat ke Malang saya sudah meminta izin kepada orangtua.
“Mungkin setelah dari Malang, saya tidak langsung pulang, pengen main ke Probolinggo.”
Probolinggo. Entah kenapa saya mengatakan itu kepada orangtua. Karena pandemi, bus yang saya tumpangi dari kampung sampai ke Surabaya menelan harga yang tidak biasa, mungkin karena sudah lama tidak menarik penumpang dan juga harus menjaga jaraknya sesuia dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan, namun berbeda dengan bus jurusan Surabaya-Malang tidak ada yang berbeda tarifnya sama. Iseng saya tanya ke kondektur bus.
“Iya memang gak naik, masih seperti biasanya.”
Jari tangan saya kembali jail, tiket kereta dari Malang ke Probolinggo, Rp 58.000,00 lumayan mahal, masih dengan keadaan yamg sama saya membandingkan harga tiket kereta dari Malang ke Banyuwangi dan harganya Rp 62.000,00. (Hanya selisih Rp 4.000,00) dan saya sudah selangkah lagi mencuri mimpi kawan saya. Awalnya saya ingin berkunjung ke Probolinggo karena penasaran dengan kehidupan masyarakat di Gili Ketapang, tapi harga tiket kereta yang akhirnya merubah tujuan saya. Tidak lama berpikir panjang saya memesan tiket tersebut. 11 Agustus saya berangkat. Empat jam sebelum keberangkatan, muncul notice pesan masuk dengan nomor yang tidak saya kenal. Pesan itu tertulis:
Sejenak saya bingung harus membalas bagaimana, saya lupa seratus persen seminggu sebelumnya melamar kerja di perusahaan tersebut, yang mana dapat kabar lowongan kerja tersebut dari kawan organisasi kampus. Tiket kereta sudah ada di tangan, tas sudah selesai dipacking, apakah perjalanan tidak akan pernah terjadi? Saya diam sejenak, apakah Baluran memang tidak ditakdirkan untuk menerima kunjungan saya? Mendadak saya teringat kegagalan perjalanan pada tahun sebelumnya, ada saja yang mengambat ataupun mengahalangi setiap langkahnya. Kemudian saya mengumpulkan nyali dan mencoba bernegosiasi dengan HRD. Dan..
“Terima kasih atas responnya. Mengenai hal ini kami akan informasikan lebih lanjut.” balasnya.
Saya percaya tidak akan ada kabar lebih lanjut mengenai hal itu, sambil mencoba berpikir ulang. Dari pada menyesali kesalahan yang baru saja terjadi, akan lebih baik jika saya melanjutkan perjalanan. Benar saja, obrolan kawan saya yang asli Banyuwangi tahun lalu mendadak menjadi kenyataan, apakah ini keajaiban? Ah itu tidak penting. Dari Malang menuju Banyuwangi saya seorang diri, tujuh jam perjalanan yang ditempuh membuat saya jenuh. Namun hal itu bisa saya tepis, saya sudah mempersiapkan sebelumnya; membaca buku.
Benar saja membaca buku di tengah perjalanan bisa membunuh rasa jenuh (membaca buku di tengah perjalanan cara agar kita tidak kesepian, apalagi kalau tidak ada sinyal dan baterai ponsel habis).
Kereta yang membawa saya tiba di Stasiun Rogojampi, tempat pemberhentian saya, pada pukul 23.13 WIB. Setelah berjalan ke pintu keluar, terlihat seorang pria muda sedang asik mengisap rokok dari mulutnya, menyambut saya dengan hangat, meski malam itu dingin, ada genangan air di bahu jalan sebagai tanda selepas hujan. Alfa, kawan kuliah saya, sekaligus kawan satu kontrakan, yang nantinya merangkap jabatan menjadi guide tour saya selama di Banyuwangi.
Pada Jum’at 14 Agustus, sebelum matahari menunjukan hidungnya, kami berangkat dari rumah di Daerah Kecamatan Purwoharjo menuju Baluran. Malam sebelumnya saya sempat membaca informasi seputar Taman Nasional Baluran, beberapa media mengatakan Taman Nasional akan dibuka secara bertahap, yang pasti Baluran sudah buka (saya berusaha menyimpulka). 30 menit naik motor, turun hujan, kami menepi. Setelah agak reda lalu melanjutkan perjalanan, dan hujan turun kembali kami menepi lagi.
“Bagaimana kalau ke Baluran-nya kita tunda dulu, perasaanku gak enak.” kata kawan saya.
“Sudah setengah perjalanan, masak kita harus kembali, dan ketika kembali ke Baluran lagi, ujung-ujungnya besoknya kita harus ke sini lagi dan hujan lagi.”
Hujan sedikit reda, kami melanjutkan perjalanan, dan hampir masuk Banyuwangi Kota turun hujan lagi. Kami menepi, kali ini ada yang berbeda saat kami berteduh, kawan sekaligus guide tour saya itu tidak banyak bicara, ia diam sambil menundukan kepala, dan itu tidak seperti biasanya. Saya bingung harus bagaimana. Setelah rokok habis, diiringi hujan yang sudah sedikit reda kami lanjut berjalan. Dan saya baru sadar, ternyata Taman Nasional Baluran berada di Situbondo, bukan Banyuwangi (karena dalam perjalanan tadi kami melewati perbatasan kota). Setibanya di gerbang pintu masuk, kami dihalau oleh petugas.
“Mau kemana Mas?”
“Ke Baluran Pak.”
“Baluran masih belum buka Mas. Baru buka besok tanggal 18 Agustus Mas!”
Mendadak saya seolah tidak bisa terima begitu saja atas jawaban petugas di gerbang, dibeberapa media mengatakan bahwa Taman Nasional di Indonesia sudah buka bertahap, tapi kenapa Baluran masih belum buka? Lalu saya duduk di bangku dekat gerbang, kawan saya memarkirkan motornya kemudian menghampiri saya.
“Santai di sini dulu ya, sambil ngerokok.” ajak saya, meskipun itu kebalikannya dari apa yang saya rasakan pada saat itu. Badan saya agak lemas setelah mendengar penjelasan dari petugas tersebut, bangun pagi, terjebak hujan, dua jam perjalanan, sesampainya di tujuan dan ternyata tutup. Saya tidak habis-habisnya menghitung jarak, waktu, tenaga sekaligus biaya yang dikeluarkan untuk datang ke Baluran, tapi seolah itu semua tidak ada gunanya.
“Saya adalah manusia paling sial di muka bumi ini”
Kalimat yang cocok untuk mengambarkan perasaan saya waktu itu.
Alfa tahu persis wajah saya pucat, dia mencoba menghibur. Kemudian ia bercerita bahwasanya besok pada tanggal 18 dirinya tidak bisa mengantar saya ke Baluran. Pasalnya pada hari itu dia ada acara di luar kota. Ia tahu betul keinginan saya untuk mengunjungi Baluran, kemudian memberikan saran untuk tetap di Banyuwangi sejenak, tidak perlu terburu-buru pulang ke rumah, dan menyarankan untuk menginap di rumah kawan kuliah yang berada di daerah Kecamatan Genteng. Masih mengisap rokok saya mengamini.
Pada tanggal 17 siang saya diantar Alfa ke rumah kawan yang ia sarankan. Ardy panggilan akrabnya (sama seperti Alfa, Ardy adalah kawan saya kuliah sekaligus kawan satu kontrakan) pindahnya tempat tidur saya, sekaligus sebagai penanda pindahnya juga kawan yang sekaligus merangkap guide tour saya.
Genteng, menyambut saya dengan airnya yang dingin. Tiba di Rumah Ardy, saya bertanya apakah ada email masuk? (mengingat sebelumnya sudah saya pesan tiket secara online untuk ke Baluran, tentu saja atas nama Ardy) Dia mengelengkan kepala. Daripada menunggu yang tidak pasti, apa salahnya jika dicoba lagi, setelah mencoba daftar kembali akhirnya ada balasan email. Tanda telah dikonfirmasi. Paginya kami berangkat.
Masuk ke sarang ubur-ubur. Begitulah yang saya rasakan ketika saya melihat kera hitam nongkrong di salah satu pohon dan hidup dengan liar.
Sepanjang jalan tertera rambu yang menunjukan kecepatan laju kendaraan 20 km/jam. Tidak paham apa maksudnya, saya berusaha menyimpulkan sendiri, bahwa dengan kecepatan tersebut agar suara bising knalpot motor atau mobil tidak menganggu satwa liar yang berada di Kawasan Taman Nasional Baluran.
Setelah hampir memasuki kawasan hutan yang agak tertutup sinar matahari, Ardy menyuruh saya agar memperlambat lagi laju motor. Setelah memasuki ternyata kawasan itu ramai dengan kupu-kupu. Tanpa disuruh Ardy lantas bercerita, dulu ketika dirinya ke sini (TN Baluran) masih begitu banyak jenis kupu-kupu yang bisa ditemui, mungkin sekarang agak sulit mengingat jalannya sudah bagus, tidak sepeti dulu, jadi bisa saja pengunjung yang melewati kawasan kupu-kupu dengan kecepatan tinggi dan menabrak kupu-kupu yang sedang berlalu lalang, belum lagi mobil yang lewat di kawasan tersebut. Karena Baluran merupakan kebun binatang yang berjenis lain (yang mana memelihara hewan tersebut tanpa kadang; dibiarkan hidup dengan liar) jadi saya juga harus berhati-hati dalam berkunjung.
Savana Bekol. Mata saya tertuju dengan salah satu pohon yang berdiri dengan pemandangan padang savana yang mirip dengan di Afrika, dari situ saya menarik benang merah ternyata benar ( mungkin ini alasan kenapa TN Baluran dijuluki Afrika Of Java) yang menyuguhkan savana yang luas dan tentu saja terik panas sinar matahari ikut berpartisipasi (dan memang saya tiba di Savana Bekol sekitar pukul 11 siang, jadi silahkan imajinasikan sendiri bagaimana rasanya) Saya mencoba mengabadikan pohon itu, setelah saya berjalan agak mendekat ke pohon, salah seorang petugas yang tidak sengaja melintas, menegur aktivitas kami berdua. Petugas tersebut memperingatkan agar tidak masuk ke dalam savana, dengan alasan di sana banyak ular berbisa. Dan itulah alasan kenapa saya menjuluki Baluran sarang ubur-ubur; indah namun bahaya.
Angin bertiup cukup kencang, di sekitar Savana Bekol (bagi kalian yang bercita-cita swafoto di Savana Bekol, saya sarankan agar memakai topi ataupun penutup kepala agar rambut kalian tidak kalah berantakannya dengan masa depan saya hehe), monyet ekor panjang berkeliaran di sekitar Savana dan kalaupun beruntung bisa menyaksikan hewan yang hidup liar; seperti Banteng, Rusa, dan Merak (Jika kalian bertanya kenapa saya tidak membagikan foto hewan di kawasan TN Baluran, alasannya yaitu karena saya hanya membawa kamera yang melekat di ponsel, jadi hasil kamera yang dihasilkan untuk mengabadikan hewan dengan jarak 20 meter sampai 30 meter tidak memadai). Anehnya mata saya tidak bisa lepas memandangi Gunung Baluran, sambil menahan pertanyaan di kepala, namun akhirnya kalah, pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut saya.
“Apakah gunung itu boleh didaki?” tanya saya.
“Entahlah, mungkin tidak boleh.” jawab Ardy.
Belum puas dengan itu, ketika sedang memunggu usainya sesi swafoto pengujung (karena saya ingin mengabadikan Gunung Baluran) petugas TN Baluran mendekat ke arah kami yang sedang berteduh di bawah pohon. Sambil basa-basi tidak jelas, ketidakpuasan saya akan jawaban dari Ardy membuat saya mengumpulkan nyali, akhirnya saya utarakan kepada petugas tersebut. Dengan wajah yang setengah tertutup masker, ia menjelaskan bahwa Gunung Baluran tidak dibuka secara umum untuk pendakian, boleh datang ke gunung tersebut, tapi hanya diizinkan untuk penelitian dan pengamatan hewan, jelasnya dengan sopan. Kami berdua menganggukkan kepala, seperti mendapat ilham.
Setelah berpanas-panasan di padang Savana kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Bama yang mana masih masuk dalam kawasan TN Baluran (buat kalian yang berkunjung ke Baluran, sekalian main ke Pantai Bama dan Dermaga Mangrove karena masih satu kawasan), jadi cuma membayar parkir Rp 2.000,00 saja sudah bisa menikmati angin segar di pantai (sekadar informasi di Kawasan Pantai Bama, monyet ekor panjang suka mencuri makanan, jadi saya sarankan agar tidak mengeluarkan makanan di area terbuka dan jangan memberikan makanan, biarkan hewan tersebut hidup liar).
Ketika menghadap ke arah Pantai Bama saya agak bingung arah, ketika menghadap ke pantai Ardy mengajak untuk menyusuri pantai di sebelah kiri dari Pantai Bama, Setelah berjalan setidaknya 5 menit melewati sedikit semak-semak terdapat kawasan pantai yang sepi tanpa ada pengunjung, kecuali kami berdua (terasa punya pantai pribadi), tidak berhenti dari sana. Kami lanjut berjalan dan memutuskan untuk berhenti di bawah pohon yang terdapat ayunan.
Acara susur pantai selesai, kami tidak melewatkan untuk berkunjung ke Dermaga Mangrove Baluran, sampai di Dermaga, kami berdua malah asik bercerita apa saja, dari kejauhan nampak kapal melintas menjauh dari daratan dan sepanjang kami hanyut oleh obrolan kapal tersebut semakin kecil, kecil, lalu menghilang, hal itu sekaligus sebagai penanda berakhirnya berhentinya perjalanan saya kali ini. (perjalanan tidak pernah berakhir, perjalanan akan berhenti, jika sang pejalan memaksanya untuk berhenti, dan melanjutkannya di waktu yang lain).
Dalam suara angin yang ramai, saya bertanya kepada diri saya sendiri, apa mungkin jika tidak karena kegagalan perjalanan tahun lalu, akankah perjalanan indah seperti saat ini akan terjadi? Berjalannya kami dari dermaga, saya lantas berpikir. Manusia memang punya rencana, tapi Pencipta punya seribu cara untuk mewujudkan rencana yang lebih indah, tentu saja tanpa disadari oleh makhluk-Nya. Tak henti-hentinya saya bersyukur. Saya kembali bertanya kepada diri sendiri, apakah kegagalan itu selalu gelap? (Iya benar, kegagalan memang gelap). Sambil duduk di atas motor, yang membawa saya melintasi Kota Banyuwangi, kepala saya menghadap ke atas melihat langit, hari ini sudah malam. (Benar) Kegagalan itu gelap, sama seperti malam, dan gelapnya malam sama menakutkannya. Tapi malam yang gelap dan menakutkan juga menampilkan warna-warni bintang dan terangnya bulan yang selalu menemani perjalanan saya. Hari ini saya telah mencuri mimpi kawan saya. Seketika malam itu teringat kutipan dari film Mr Robot yang beberapa hari lalu saya tonton: semua permulaan itu sulit, memulai itu mudah, dan melakukannya adalah seni.
Penyunting: Mita Berliana