Putih Biru dalam Aksi: Konformitas untuk Solidaritas

Beberapa hari belakangan ini ramai dibicarakan perihal aksi demo yang dilakukan sejumlah siswa Sekolah Menegah Pertama (SMP) di

Foto: kumparan.com

Beberapa hari belakangan ini ramai dibicarakan perihal aksi demo yang dilakukan sejumlah siswa Sekolah Menegah Pertama (SMP) di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Kecamatan Slogohimo. Demo dipicu oleh tindak asusila yang dilakukan seorang guru Bahasa Inggris berinisial HM kepada salah seorang siswi yang tidak mengerjakan tugas sesuai kehendaknya. Demo yang berlangsung dua hari ini, kemudian menghasilkan sebuah pernyataan dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Wonogiri, Siswanto, yang berjanji untuk melakukan penyelidikan.

Ada yang menarik perhatian saya perihal fenomena ini, sesuatu yang bisa dibilang tidak banyak terjadi. Jika diibaratkan dengan mahasiswa, para siswa SMP tersebut barangkali adalah mahasiswa minoritas yang banyak menghabiskan waktunya untuk turun aksi di jalan untuk menegakkan keadilan. Ini bukan kali pertama. Pada tahun sebelumnya memang sudah terjadi beberapa demo yang dilakukan siswa SMP, dan yang baru saja terjadi didasari oleh kasus yang belakangan juga makin masif terjadi di negeri kita, yakni pelecehan seksual.

Keberanian para siswa ini patut diacungi jempol, mengingat bagaimana sistem sekolah yang begitu ketat dan terkesan otoriter apabila dibandingkan dengan dunia kampus. Sekolah, khususnya guru yang bertanggung jawab pada ranah Bimbingan Konseling (BK) tak segan untuk memberikan bobot poin dengan berbagai jenis hukuman yang bisa membuat siswa jera. Hukuman yang mampu memengaruhi nilai rapor dan berujung pada tinggal kelas, skors, hingga drop out. Jenis-jenis hukuman yang alih-alih preventif, justru lebih condong ke arah represif dan kuratif.

Terlepas dari itu semua, inisiatif sejumlah siswa SMP ini menunjukkan bahwa masih ada siswa yang mau menunjukkan sisi kritis mereka. Bahwasanya, pendidikan perihal kritik atau perlawanan terhadap orang dengan kedudukan lebih tinggi dari kita adalah sesuatu yang patut menjadi pertimbangan untuk pendidikan sejak dini. Bahwa tidak perlu takut untuk menyuarakan kebenaran walau pada birokrat. Selain itu, hal tersebut juga menunjukkan adanya sikap tenggang rasa dan solidaritas yang tinggi. Seperti yang kita ketahui, aksi solidaritas yang banyak terjadi sebelum-sebelumnya adalah konvoi setelah pengumuman kelulusan dengan corat-coret seragam dan ngebut di jalanan. Sehingga aksi demo ini dapat dianggap sebagai sebuah kemajuan.

Apabila melihat dari foto tertera yang dilansir dari Kumparan.com, sangat menakjubkan melihat mereka melakukan demo untuk suatu hal yang bisa dibilang kasus berat dengan tawa dan raut riang. Kita dapat sedikit menyimpulkan bahwa bisa saja tidak semua partisipan demo tersebut mengerti untuk apa mereka melakukan demo ini. Bisa jadi mereka melakukan demo karena tuntutan konformitas teman sebaya. Konformitas memang biasa muncul pada fase remaja, hal-hal tersebut didasari oleh beberapa faktor salah satunya adalah kekompakan. Demi diterima di suatu kelompok, remaja akan melakukan tuntutan tidak tertulis yang ada pada kelompok demi sebuah pengakuan untuk dapat menjadi bagian kelompok. Hal itu adalah bagian proses dari remaja menuju fase dewasa.

Kalaupun benar mereka hanya ikut-ikutan satu dua orang yang memang benar-benar paham, atau malah sebenarnya tidak ada yang paham karena mereka hanya mengacu pada apa yang biasa tersaji di depan mata mereka, itu bukan sebuah perkara. Banyak sisi positif yang masih bisa ditelaah dan dijadikan hikmah, poin plusnya juga seperti yang dilansir dari Solopos.com, bahwa berdasarkan kesaksian dari Kasi Humas Kepolisian Sektor Wonogiri, Aiptu Parmin, para siswa SMP ini sama sekali tidak anarkis dalam menggelar demo. Harapan ke depannya setelah kejadian ini adalah lebih banyak lagi aksi demo serupa, bukan demi ekspos media atau tren saja, namun memang didayagunakan untuk menuntut kebenaran dan keadilan. Karena negara kita kan negara demokrasi. Siapa tahu dalam waktu dekat sejumlah siswa Sekolah Dasar (SD) yang meradang, dengan cukup mengejutkan, turut melakukan perlawanan. Sekaligus menunjukkan pada mahasiswa Perguruan Tinggi, “Lihat kakak-kakak mahasiswa, kami juga bisa menjadi seperti kalian tanpa perlu menunggu saat kuliah tiba!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA