Peringatan: Tulisan ini mengandung spoiler dari film “You and I”. Untuk menonton lebih lengkapnya, silakan mengakses Bioskop Online dengan membayar Rp10.000 saja untuk 48 jam.
“Kustini, kowe wes lali. Iki Kusbandiah,” ucap Kaminah (70) membantu Sri Kusdalini (74) mengingat nama yang terpampang di sebuah foto. Kedua perempuan tua itu sudah hidup bersama sejak keluar dari penjara. Mereka merupakan dua dari jutaan orang yang diduga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipenjarakan tanpa pengadilan pasca-kekerasan 1965 silam.
Kaminah dan Kusdalini masing-masing tergabung dalam dua paduan suara dari organisasi Pemuda Rakyat. Keduanya pertama kali bertemu di sel penjara pada umur 17 dan 21 tahun. Kusdalini diasuh oleh neneknya yang memiliki warung makan di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Ia dipenjara selama dua tahun. Sedangkan Kaminah dipenjara selama tujuh tahun. Ia ditangkap saat menapaki jenjang kedua di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia mendekam di penjara selama tujuh tahun. Setelah dibebaskan, Kaminah tak diakui oleh keluarganya. Kaminah pun hidup bersama Kusdalini beserta neneknya.
Menyiapkan makanan, menemani, hingga merawat Kusdalini adalah aktivitas sehari-hari Kaminah pada usia senjanya. Sejak tak diterima lagi oleh keluarganya, Kaminah hidup bersama Kusdalini membantu neneknya berjualan di warung makan. Keduanya memang tak memiliki hubungan kerabat, tetapi ikatan emosional mereka begitu kuat.
Dalam potongan adegan film dokumenter berjudul You and I tersebut, Kaminah begitu telaten menemani Kusdalini mengingat usia keduanya yang telah sama-sama tua. Mereka juga hidup dalam keadaan pas-pasan, hidup di sebuah rumah yang jauh dari kata mewah. Untungnya, tetangga mereka begitu baik membantu keduanya. Beberapa pemuda membantu mereka untuk membenahi atap rumahnya yang hampir roboh.
“Yang paling mengesankan, Mbak Kus dipanggil bebas, aku sampai pingsan,” Kaminah mengusap air mata, mengingat memori masa lalunya. Semasa setelah Kusdalini dibebaskan, Ia masih sering mengunjungi Kaminah di Penjara. Ia tak tega meninggalkan Kaminah yang sudah dianggapnya adik sendiri. Meskipun Pak Gito, penjaga sel, sering mengancamnya, Kusdalini tetap setia menjenguk Kaminah di penjara. Kebaikan tersebut yang kemudian membuat Kaminah tulus merawat Kusdalini hingga menutup mata.
Kusdalini menunggu sebuah kendaraan angkutan umum berwarna kuning. Menuntun Kaminah yang mengeluh sakit di lututnya. Seorang sopir angkutan tersebut juga turun untuk turut membantu Kaminah. Setelahnya, beberapa orang tua seumurannya turut menumpang dalam angkutan tersebut. Orang-orang tua itu mendatangi pertemuan rutin dengan para eks tahanan politik (tapol) ‘65 lainnya. Mereka membedah kinerja pemerintah selama ini dalam menyelesaikan perkara HAM. Kusdalini dan Kaminah hanyalah dua dari sekian penyintas kekerasan ‘65 yang masih terus menunggu keadilan hingga hari tuanya.
Dalam adegan lain, ketika keduanya sedang menonton tayangan program sejarah tentang ‘65 di MetroTV. Kaminah menunjuk gerombolan orang yang disebutnya “teman-teman”. Merekalah orang-orang yang juga bernasib sama sebagai korban kekerasan ‘65.
Kaminah terlihat beberapa kali mengingatkan perihal JASMERAH (Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah) kepada Kusdalini. Kusdalini yang menderita demensia cukup kesulitan mengingat kejadian pada masa lalu. Ia hanya mengingat sebuah jembatan di dekat rumahnya di Solo. Jembatan Bacem yang di bawahnya mengalir sungai Bengawan Solo adalah salah satu tempat pengeksekusian orang-orang yang dituduh terlibat atau terafiliasi dengan PKI maupun organisasi-organisasi di bawahnya.
Kaminah menceritakan perihal kekagumannya pada Bung Karno, sosok yang dipuja sepanjang hayatnya. “Negara kita sudah makmur, tapi adilnya yang belum. Itu yang diperjuangkan, keadilan dan kemakmuran, oleh Soekarno yang begitu gigih. Presiden yang tidak korupsi.” ucap Kaminah.
Di salah sudut rumahnya, terpasang sebuah foto Bung Karno berwarna hitam putih. Kegagahan dan wibawa seorang proklamator tersebut nampak dalam memori-memori yang diceritakan Kaminah. Sampai kapan pun, Kaminah menyatakan akan setia dengan ajaran Bung Karno.
Bertahun-tahun mendekam di penjara tanpa proses pengadilan yang jelas menjadi hal yang kemudian terus diingat oleh para penyintas. Belum lagi kekerasan dalam proses penangkapan yang dialami orang-orang yang dituduh terlibat dalam gerakan G30S. Hingga hari ini peristiwa yang menjadi salah satu catatan kelam dari pelanggaran HAM pada masa lalu itu masih juga belum menemui titik terang yang adil.
Pada akhir hayatnya, Kusdalini mengalami stroke dan mengharuskan ia dirawat di rumah sakit. Walau keduanya sama-sama dihadapkan dengan masa tua, Kaminah masih terus setia menemaninya. Hingga sampai di adegan menjelang film berakhir, Kusdalini yang sudah dipulangkan ke rumah masih terbaring lemah di sebuah kasur. Beberapa kali ia sempat berpamitan pada Kaminah. Dengan trenyuhnya Kaminah membisiki– memintanya agar ia tak kemana-mana.
Namun, kematian sudah menjadi hal yang pasti dalam kehidupan. Kusdalini pergi dengan tenang. Bertahun-tahun ia bertahan hidup bersama Kaminah, ia pun harus menyusul kawan-kawannya yang satu persatu telah wafat. Lalu, ia pun meninggalkan Kaminah.
Begitulah kisah dua perempuan tua yang bertahan dari kekerasan Orde Baru dalam film You and I. Film tersebut digarap pertama kali pada tahun 2016 oleh Fanny Chotimah. Film yang kemudian dirilis tahun 2020 itu berhasil mendapat beberapa penghargaan. Di antaranya memenangi penghargaan Asian Perspective Award dalam ajang festival film DMZ International. Dan meraih kategori film dokumenter panjang terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020.
Melalui film ini, Fanny Chotimah sebagai sineas muda berusaha menghadirkan perspektif lain dalam film yang bercerita soal peristiwa 65. Dalam sebuah kanal Youtube, Fanny Chotimah mengutarakan harapannya atas film ini. “Semoga dengan ini kasus-kasus kekerasan tidak terjadi lagi. Antara warga dengan warga maupun pemerintah dengan warganya. Utopis, ya? Tapi tak apa namanya juga harapan.” tutupnya dalam video tersebut.
Data Film
Judul: You and I | Sutradara: Fanny Chotimah | Produksi: KawanKawan Media, Partisipasi Indonesia | Genre: Dokumenter | Durasi: 72 Menit | Rilis: 9 April 2021 (Bioskop Online)
Penulis : Delta Nishfu
Editor : Nafiis Ridaaf Filasthin