Mungkin mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) sudah tidak asing lagi dengan kebijakan-kebijakan kampus yang serba mendadak dan membuat tercengang. Memang, kampus yang dijuluki Universitas Mahasantuy ini kerap menghebohkan mahasiswanya dengan perilisan kebijakan yang kerap dilakukan secara tiba-tiba.
Surat Edaran Nomor 25.8.45/UN32.I/KM/2021 tentang “Implementasi BKP Membangun Desa dan Asistensi Mengajar Semester Gasal 2021-2022” yang baru-baru ini dirilis mendapat kecaman dan banyak penolakan, khususnya dari mahasiswa UM angkatan 2018. Surat edaran yang dirilis begitu mendadak itu dinilai tidak tepat sasaran dan tidak memerhatikan kebutuhan mahasiswa. Alih-alih membebaskan mahasiswa untuk mengikuti berbagai macam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dicanangkan Kemendikbudristek, UM justru mengerucutkannya ke dua program saja, yakni Bentuk Kegiatan Pembelajaran (BKP) Membangun Desa dan Asistensi Mengajar. Terlebih lagi, kedua program ini seperti mengulang kembali program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang telah dirampungkan oleh angkatan 2018 dan Kajian dan Praktik Lapangan (KPL) yang saat ini juga hampir selesai.
Pada hakikatnya, program BKP Membangun Desa dan Asistensi Mengajar tidaklah wajib untuk diikuti oleh mahasiswa, karena keduanya adalah bagian dari MBKM–program pemerintah yang memang tidak wajib dan bersifat penawaran bagi seluruh mahasiswa di Indonesia. Akan tetapi melalui surat edaran dan dalam berbagai kesempatan, UM justru memosisikan kedua program tersebut seolah-olah wajib, demi meningkatkan kinerja kampus. Terlebih lagi, tidak adanya petunjuk teknis yang konkret membuat disinformasi dan kerancuan makin menjadi-jadi.
Tak lama setelah surat edaran dirilis, muncul petisi yang berisi penolakan mahasiswa UM angkatan 2018 terhadap substansi dan pelaksanaan Surat Edaran Nomor 25.8.45/UN32.I/KM/2021. Dalam petisi yang telah diisi oleh 952 orang tersebut, UM diminta mencabut Surat Edaran Nomor 25.8.45/UN32.I/KM/2021 dan mengkaji kembali kebijakan di dalamnya sebelum benar-benar diterapkan. Mahasiswa berharap kebijakan yang diterapkan selalu mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan mereka. Selain itu, UM juga harus melakukan sinkronisasi kurikulum agar kebijakan yang ada tidak merugikan mahasiswa. Program BKP Membangun Desa dan Asistensi Mengajar sesungguhnya terlihat inovatif dan akan baik bagi mahasiswa, jika saja penerapannya tidak mendadak dan disertai dengan sosialisasi yang gencar sebelumnya. Bahkan kalaupun sosialisasi yang gencar telah dilakukan, keputusan tetap berada di tangan mahasiswa, apakah mereka ingin mengikuti program tersebut atau tidak.
Mahasiswa memiliki cita-cita keilmuan yang tinggi dan mulia, di mana cita-cita keilmuan tersebut harus dipertahankan dan diwujudkan. Namun, kesulitan yang muncul di tengah perjalanan memang dapat membuat cita-cita itu terkikis atau bahkan habis sebelum waktunya. Terlebih jika kesulitan-kesulitan itu muncul dari sederet kebijakan kampus yang tidak memihak atau bahkan mengalihkan pandangan dari mereka. Oleh karena itu, mahasiswa tak boleh apatis terhadap setiap kebijakan kampus.
Di sisi lain, pihak kampus juga perlu menimbang dan meneliti kembali kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Sebuah kebijakan tidak boleh serta-merta dikeluarlan tanpa melihat kondisi lapangan. Selain itu, kebijakan yang baik harus memiliki standar kualitas dan indikator pencapaian yang jelas, bermutu, dan dapat direalisasikan secara padu dan harmonis.
Perjuangan mahasiswa tidak boleh menguap dan selesai tanpa adanya jawaban yang jelas dari pihak kampus. Perlu ada jawaban yang rinci soal apa yang ingin dicapai dari sebuah program dan bagaimana cara mewujudkannya. Harus ada sinkronisasi dan harmonisasi dalam setiap tindakan yang dilakukan, sehingga kampus sebagai pihak pemangku kebijakan dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat. Sedangkan pihak pelaksana kebijakan, yakni mahasiswa, dapat menjadi pasukan intektual yang siap berjuang tanpa merasa terbebani dan dirugikan.
A
Penulis: Mala Oktavia (mahasiswa Biologi UM)
Penyunting: Avif Nur Aida