Diskusi panjang telah mengantarkan saya sampai pada titik puncak tingkat emosional yang tinggi. Setelah melihat tweet dari sobat Siar senior yang saat ini rela mundur dari pekerjaan sebagai wartawan di media mainstream, karena masalah independensi. Ia menambah tugas dan daftar yang harus dikerjakan di dalam kepala. Dalam tweet-nya ia berujar:
“Jangan mikir negara. Pikir dirimu sendiri apakah dirimu sendiri sudah benar? Setelah kupikir, ternyata diriku belum benar. Karena tidak memikirkan negara. Begitu laknat diriku,” ujaran satirnya jelas menambah pundi-pundi kebencian terhadap suatu sistem politik yang mudah dimonopoli di negeri ini.
Lantas, saya mencoba menghubungi Risa. Hanya ingin mengabarkan jika bakal ada demonstrasi besar di Kota Malang, yang mungkin ke depannya akan lebih sering berlangsung. Aksi yang jarang kita temui selain pada saat May Day 2019, dengan lautan massanya yang bisa mencapai ribuan.
Demonstrasi pertama di gelar dua hari berturut-turut. Pada Rabu (18/9) dan Kamis (19/9), sebagai batu pijakan awal dari serentetan aksi lanjutan. Sebuah refleksi oleh elemen mahasiswa dan masyarakat Kota Malang, bahwa negara ini sedang krisis demokrasi.
Awalnya saya hendak terjun ke lokasi bersama Risa. Sayangnya, ia ada kepentingan lain, maklum mahasiswi semester tua. Akhirnya, saya berangkat dengan anggota magang Siar yang baru resmi dilantik. Sesaat di lokasi, situasinya jauh dari bayangan saya tentang fantasi sebuah aksi. Peserta aksi seolah menyiratkan kehampaan. Para pejuang kemanusiaan seperti bergerak di ujung tanduk, hanya kesia-siaan yang nampak ada di raut wajah mereka.
Kebanyakan bentuk tajam pikiran masyarakat terbentuk dari humor-humor kuno berkepanjangan. DPR-RI telah merampungkan sebuah aturan yang menggeser makna kemanusiaan, yang akan membungkam aspirasi berpendapat, berkeyakinan, dan cenderung mengkriminalisasi masyarakat.
Selepas aksi pertama dengan Aliansi Masyarakat Anti Korupsi, sepertinya masa depan antikorupsi akan hancur dengan sendirinya. Jokowi melanggar janji, KPK bukan lagi lembaga independen, melainkan bentuk baru yang dikontrol langsung oleh pemerintah.
“Selama ini, suara-suara masyarakat diabaikan. Terpilihnya pimpinan baru KPK sulit dipercayai. Meski begitu, kita harus menguatkan kampanye agar masyarakat terus melawan dan sadar,” pesan Eki Maulana, pria yang diamanahi sebagai Koordinator Lapangan Aksi.
Sebut saja penguasa, khayalan-khayalan yang dikerjakan secara optimistik telah mengantarkan para orator jalanan turun aksi tanpa istirahat. Para penguasa, ambisinya adalah mencapai kesejahteraan yang membebaskan rakyat dari kemiskinan. Nahasnya, berpendapat di muka umum tidak dinilai sebagai sebuah alat dalam mewujudkan ambisi itu. Ringkasnya, ada portal yang menghalangi suara rakyat dengan ambisi penguasa.
“Nanti sore ikut ndak?” tanya saya, kepada Risa.
“Rais, kamu itu Pers Mahasiswa, kamu cukup buat berita yang berimbang tanpa membuat redaksi kita diacak-acak Ormas nanti. Cukup kita serius saja pada isu kampus,” tegas pemuka Divisi Litbang Siar itu dengan nada agak meninggi. Sorot matanya nampak memperlihatkan kekhawatiran.
Risa tetap tak mau mendengarkan saya, ia takut akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nanti. Seperti yang pernah dialami oleh salah satu ‘anak buahnya’ di Litbang yang ‘diculik’ polisi tanpa surat penangkapan pasca meliput aksi besar beberapa bulan silam. Pernyataan di atas malah membuat saya ingin memperdebatkan esensi Pers Mahasiswa kepada Risa. Melalui isu yang dibawa Aksi Kamisan tentang ‘September Hitam: perjuangkan demokrasi sebelum terlambat’, saya menjelaskan kembali bagaimana posisi negara ini dalam menegakkan HAM bagi rakyatnya.
Bagi saya, lagi-lagi ini soal bagaimana kita harus mengubahnya sendiri, tentang kemerdekaan diri kita sendiri, dan juga orang lain di sekitar kita. Bulan September memang bulan berdarah, hitam, dan sarat duka.
September tidak pernah dilupa dan akan terus menuntut keadilan terkait pelanggaran HAM masa lalu. Tragedi dan Genosida 1965, Tanjung Priok 1984, Tragedi Semanggi 2, 15 Tahun Kematian Munir, dan juga Pembunuhan Salim Kancil. Di bulan September saja, rentetan pelanggaran HAM begitu masif terjadi . Orang-orang seperti Bu Suciwati dan Sumarsih, tetap setia menunggu keadilan di depan Istana Negara. Belum lagi daftar pekerjaan kita semakin berat, ada pasal karet yang kapan saja bisa mengkriminalisasi hidup kita nanti, yaitu RKUHP, hukum yang berwatak kolonialisme yang akan kita bahas sore nanti dalam aksi.
“Kita?” tanya Risa.
“Kamu tau ndak, aku selalu ingat motto si korban penculikan itu apabila aku ingin melakukan liputan berita? ‘Orang jahat itu ada ketika orang baik memilih diam’. Entah bagaimana maksudnya, tapi semenjak itu aku terus menggali mengapa hal itu bisa terjadi. Mengapa orang-orang tidak berhenti melakukan kejahatan? Menurutmu, apa yang perlu kita ubah?”
“Diri kita sendiri?”
“Bukan hanya itu, tapi watak dan budaya kita yang mengamini kekerasan. Bayangkan saja, dalam RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah diperjuangkan bertahun-tahun. Hasilnya? Predator semakin bertambah, korban semakin banyak. Sementara R-KUHP? Hanya 13 hari lalu akan disahkan tanggal 24 nanti. Secara tidak langsung, negara tidak melindungi kita sebagai insan yang merdeka dalam berpikir ataupun hidup. Aku tidak bisa membayangkan jika nanti kita hidup dalam ikatan yang membatasi ruang gerak kita, suara kita, dan kebebasan kita. Sungguh seram, aku tak mau itu.” Saya mencoba serius sambil bergidik ngeri.
“Aku sudah baca-baca sih terkait pasal-pasal karet itu, aku juga membenci kenapa negara tidak berlaku adil terhadap korban kekerasan seksual dengan tidak disahkannya RUU-PKS.”
Alih-alih meredam konflik yang berkepanjangan, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang memperluas jarak antara ‘rakyat sipil’ dengan pihak ‘pemerintah’. Ada bentuk keramaian lain, yang benar-benar berbeda dari aktivitas sosial kita nanti. Diantara kebebasan sebagai manusia yang merdeka secara fisik dan pikiran. Nampaknya, pahlawan dan pejuang terdahulu akan segera muram saat semua pasal karet itu diketuk. Sepertinya, negeri ini butuh jagoan baru, dan orang tua-tua itu cukup menjadi penonton, melihat anak muda turun ke jalan untuk aksi merubah segalanya.
Siapa saja dapat menjadi korban nantinya. Semua bisa kena. Dalam perbedaan pandangan yang penuh kontradiksi tersebut, lahir kecemasan. Saat-saat tidak terduga itu datang dari Risa yang sedari tadi membisu menyimak, ia berkata lantang sebelum saya pergi.
“Tunggu, selain isu RUU-PKS, aku juga geram dengan perilaku korporasi sekarang. Mereka menjadi pelaku kebakaran hutan karena program perluasan lahan kelapa sawit. Aku tahu itu, cuma aku lebih memilih diam untuk cari aman dalam keadaan yang tidak terlalu kumengerti,” kata Risa.
“Sepertinya, nanti aku memang tidak ingin jadi wartawan.” Wajah Risa muram. Aku tahu banyak ketakutan dan pertanyaan yang bercokol dalam benaknya. Tentang bagaimana kita harus bersikap ke depannya, tentang apa solusi yang efektif dalam menghadapi oknum-oknum pembawa kiamat negara, tentang siapa patriot yang nantinya akan merubah reformasi kita. Mungkin memang sudah waktunya Indonesia merumuskan deretan nama-nama pahlawan berani mati yang berjuang untuk negeri yang katanya dalam nuansa reformasi ini. Aku menghela napas, lalu memutar otak untuk memancing Risa ikut berontak.
“Kau membiarkan orang lain dalam ketidaktahuan?”
“Bukan begitu Rais, aku sudah terlalu lelah dengan politik. Aku muak. Aku pernah mengkaji hasil penelitian seorang peneliti Institut Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) Domin Damayanti. Katanya, di Indonesia masih banyak yang tidak tahu akan pentingnya cuti haid. Jangankan tahu pentingnya, tahu cuti seperti itu ada saja tidak. Bahkan mereka dalam serikat buruh sekalipun. Bayangkan saja, para buruh saja tidak mengenal haknya, apalagi pengusaha yang orientasinya profit. Apa mau memberikan hak mereka?” Saya berhasil memantik Risa, kini ia mulai menggebu.
“Iya, di dalam RUU Ketenagakerjaan nanti cuti haid akan dihapuskan. Masa depan petani kian ringkih, tidak ada asas legal lagi jika UU Pertanahan diketok. Apalagi, investor selalu butuh lahan baru. Sudah jelas siapa saja petani yang melawan untuk digusur, pasti akan digebuk.” Kami membisu di depan taman UKM, saya tidak jadi pergi. Dari gelagatnya, sepertinya Risa sedang merencanakan untuk menyabotase Gedung DPRD Malang.
Pasal-pasal pembungkam itu lusa akan diketok, entah apa yang akan kita lakukan nanti jika hidup dalam penjara yang dinamakan otoritas hukum. Akhirnya, Risa berkata “Aku akan merapatkan kabar mendesak ini. Sejumlah anggota baru akan kubuatkan kelompok untuk mendiskusikan ini pada Senin esok. Semoga mantra yang kubuatkan manjur,” katanya. Lalu sambil menggunakan kata-kata revolusioner asal Jerman.
“Kapitalisme tidak peduli panjangnya hidup kita (tenaga kerja ataupun masyarakat tak berpunya). Kapitalisme mengakibatkan kehabisan-tenaga dan kematian yang sebelum waktunya.”
“E Ris, kapitalisme itu apa sih?” tanyaku.
“Bye ah!” ia beranjak dengan bara semangat menyala dari duduknya.
“Besok gerak! Karena ketidaktahuan tidak menolong siapapun! Maka kita harus beri pengetahuan kepada Pemerintah!”
Disusul kemudian beberapa rekan yang saya kenal mengirim pesan. Alerta! Alerta! Malang memanggil, kosongkan kelas-kelas, mahasiswa turun ke jalan. Reformasi telah dikorupsi. Saatnya revolusi dan revolusi butuh aksi.
Malang, 20 September 2019 dalam #JejakRais
Penulis: Kevin Alfirdaus Arief
Penyunting: Rizka Ayu Kartini