“Tambang kan bisa habis kalau ditambang terus-menerus, anak cucu kita kebagian apa besok? Bumi Indonesia sudah kosong melompong, sudah disedot semua, lari ke negara lain. Jadi, seharusnya ini kan menjadi perhatian perasaan Anda, masak diam saja? Kan tidak diam saja!”.
Djoko pekik adalah salah satu seniman asal Purwodadi, Jawa Tengah. Disebut sebagai seniman tiga zaman yang sudah berusia 81 Tahun. Ia merupakan lulusan dari Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dan bergabung di Sanggar Bumi Tarung yang berada di bawah asuhan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). LEKRA adalah sebuah lembaga yang dinaungi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Orientasi berkarya para seniman Bumi Tarung ialah buruh dan tani karena memang mereka ingin mengabdi kepada buruh dan tani.
Saat awal berkarya ia mengusung perjuangan buruh dan tani yang dirasa selalu tertindas oleh tuan tanah dan pemerintah. Situasi bangsa yang seperti saat itu menjadi semangat Djoko Pekik untuk berontak. Perjalanan hidup Djoko Pekik tidak berjalan dengan mulus. Pasca peristiwa G30/S PKI tahun 1965, Djoko Pekik terpaksa menjadi tahanan politik. Hal ini tidak bisa dihindari karena semua organisasi atau lembaga yang dinaungi oleh PKI dibersihkan oleh rezim Soeharto.
Djoko Pekik merupkan sosok yang dekat dengan rakyat kecil terutama buruh tani. Kedekatan tersebut terjalin semasa ia masuk ke sanggar Bumi Tarung. Tidak dipungkiri jika banyak hasil karyanya yang menceritakan kehidupan rakyat kecil termasuk karya yang berjudul “Go To The Hell Crocodile”. Melalui karya lukisnya ini, Djoko Pekik ingin menunjukkan protesnya kepada pemerintah.
“Jadi disitu judulnya Go to The Hell Crocodille”. Bangsa Indonesia mengusir lambang kapitalis yaitu buaya besar yang sedang keluar dari bulatan besar itu. Bulatan itu adalah simbol tambang-tambang yang ada di gunung-gunung Papua yang dirusak alamnya”.
Seperti yang diketahui bahwa karya ini terlahir pada tahun 2014 yang pada saat itu akan dilangsungkan pemilihan presiden dan jajarannya. Karya tersebut dipamerkan di sebuah pameran besar yaitu Art Jog yang pada tahun itu bertajuk “Legacy of Power” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Warisan Kekuasaan” yang sangat berbau politik.
“Jadi di sini saya gambarkan itu adalah tambang Freeport di Papua. Tambang yang besar itu, emas segala macam, dikuasai oleh orang asing. Tambang disedot habis, bertahun-tahun,” kata Djoko Pekik ketika ditemui di kediamannya.
Tambang Emas Freeport merupakan salah satu politik praktis Soeharto dalam mengkudeta Soekarno. Keterlibatan Soekarno dengan pihak Amerika Serikat (AS) terkait peristiwa G30/S PKI memang tidak bisa disangkal. Kedekatan hubungan Sukarno dengan PKI saat itu membuat AS kesulitan dalam melobi Soekarno untuk mencapai kepentingan-kepentingan AS di Indonesia. Soekarno paham betul bahwa AS merupakan negara yang memiliki kepentingan neokolonialisme dan imperialisme (Nekolim). Soekarno mengkampanye anti-nekolim yang berarti juga anti-AS pada 1960-an cukup populer.
Indonesia merupakan objek penting bagi AS saat itu. Oleh karena itu, melengserkan Soekarno dari kekuasaannya menjadi langkah praktis dan wajib bagi AS. Salah satu kebijakan awal Soeharto setelah menggantikan Soekarno menjabat sebagai presiden ialah membuka peluang investasi untuk perusahaan-perusahaan asing seluas-luasnya.