Untuk Malang Corruption Watch (MCW), kami bersama korban.
Dina, seorang mahasiswa Ilmu Sejarah yang tengah disibukkan dengan skripsinya. Ia telat membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), kuliah di semester tua membuatnya beberapa kali putus semangat. Apalagi ketika ia mendengar jika mantan terakhirnya merupakan terduga pelaku kekerasan seksual.
Dina kaget bukan main. Tak menyangka jika hubungan selama dua minggu tidak membawa apapun selain rasa emosi yang begitu kuat terhadap mantannya. Pengalaman sebagai perempuan yang menolak untuk dieksploitasi tubuhnya membuat Dina kian geram. Padahal beberapa film bertemakan kesetaraan gender pernah mereka tonton bersama. Namun hubungan toxic tetap menjadi penyebab konflik ini terjadi begitu kompleks, “Intinya aku menganggap dia nggak punya empati dan nggak bisa menghargai boundaries (batas-batas) pasangannya.”
Dina bukanlah korban, ia hanya penyambung lidah para penyintas lain yang sebelumnya dipacari pelaku. Status korban pertama (X) adalah mahasiswi yang berkepentingan untuk mengambil data di Malang Corruption Watch (MCW) demi memenuhi tugas kuliahnya. Akibat pertemuan itu, X menjalin hubungan pacaran dengan pelaku. Pelaku memang disegani dalam integritasnya pada advokasi kebijakan tinggi dan data-data korupsi di Kota Malang.
Modus yang terstruktur sistematis
Berdasarkan kronologis yang disusun oleh Koalisi Pernyataan Sikap Bersama, modus pelaku sendiri seperti orang berpacaran biasanya. Ia mengajak untuk melakukan hubungan seksual. Masa lalu korban dijadikan alat bagi pelaku untuk dapat memegang kendali hak atas tubuh korban. Pelaku seringkali melemparkan jokes seksis, mengancam korban, hingga membuat korban tidak punya kekuatan selain mengiyakan ajakan pelaku. Bahkan, pelaku selalu menggunakan motif kasih sayang, dengan kata lain, mencari titik rentan korban untuk dimanfaatkan. Kemarahan korban tidak diindahkan secara serius.
Akibat dari kronologis yang beredar, kami Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar UM hanya berani menggunakan komunikasi lewat Dina sebagai narahubung kami. Kami paham kondisi penyintas yang kesulitan dalam speak up akibat masa lalu yang diterima olehnya. Belum lagi ancaman-ancaman dari pelaku dan komentar masyarakat kita yang cenderung victim-blaming.
Dina sendiri bercerita kepada kami, pada 8 Desember, ia menerima Direct Message Instagram dari korban yang saat itu juga belum dikenalnya. X merasa bahwa pelaku mencoba mengakses korban kembali lewat komunikasi ke mantan-mantannya. Mengetahui Dina merupakan mantan terakhir pelaku, X berusaha menanyakan kabar Dina secara personal. X semacam ingin memberikan peringatan juga pada Dina sebagai perempuan yang pernah menjalin hubungan dengan pelaku. Dalam tataran ini, Dina sebelumnya juga merasa ada yang aneh saat menjalin hubungan dengan pelaku. “Pertama, dia itu (pelaku) orang yang gak punya empati ke perempuan. Ya aku minta udahan aja karena gak kuat,” ujar Dina.
Akhirnya komunikasi itu terjalin, Dina pun shock. Tidak menyangka jika mantannya adalah seorang pelaku kekerasan seksual. Setelah korban X, korban Y mampu speak up, karena melihat X sebagai korban pertama yang berani berjuang sebagai martir dalam perlawanan relasi kuasa. “Gara-gara keberanian kamu, Y korban lainnya jadi terdorong untuk speak up,” kata Dina. Sebagai pendamping sekaligus narahubung bagi korban, Dina mengatakan bahwa X sempat down. Namun dapat bangkit kembali karena ada Y yang juga menguatkan dan berada dalam satu barisan perjuangan dengannya. Di sini, X memang ingin untuk sama-sama menggenggam tangan Y dan melakukan perlawanan ini. Tujuannya semata-mata agar tidak ada korban lagi dan pelaku berkenan untuk berubah.
Rilis ke rilis, tetap tak boleh ada normalisasi
Dea Safira, penulis buku Membunuh Hantu Patriarki memberikan argumentasinya kepada kami. Biasanya di lingkaran aktivisme, perempuan yang baru bergabung masih ingin belajar. Lingkaran aktivisme dianggap ruang aman dan tergabung dengan orang-orang yang baik. Namun bagi orang yang lebih berpengetahuan tentu akan lebih cerdik memanipulasi keadaan dan psikologis seseorang.
Melihat persoalan di atas, Dea menuturkan pada kami istilah grooming, sebuah cara untuk menyelesaikan masalah saat mediasi. Grooming adalah lingkungan yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku itu normal. “Tentunya ketika si pelaku menyangkal bahwa dia itu mantan. Kita harus berpikir kenapa kok mantan-mantannya juga bisa memiliki pengalaman yang sama setelah dimanipulasi dan dijadikan pacar,” tutur Dea.
Tak lama kemudian, tepat malam (26/12) MCW merilis klarifikasi resmi yang mengatasnamakan badan pekerja MCW. Klarifikasi tersebut bertujuan untuk menyikapi rilis dan pernyataan sikap bersama yang sudah beredar. Pada poin pertama klarifikasi yang dirilis, MCW sepakat bahwa pelaku kekerasan seksual wajib dihukum dan menjadi musuh bersama. Namun, dalam pembuktiannya harus dilakukan dengan syarat dan prosedur yang jelas bukan hanya dengan testimonium de auditu (keterangan atau kesaksian dengan mendengar dari orang lain, dalam kasus ini adalah narahubung dan pendamping korban dapat dilabeli sebagai saksi).
Yang dimaksud dengan saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Namun, dalam Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 makna saksi telah mengalami perluasan. Definisi saksi tidak hanya orang yang ia lihat, dengar, alami sendiri, tetapi setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi. Sebab, arti penting saksi bukan terletak pada apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri peristiwa pidana, melainkan relevansi kesaksiannya.
Sementara untuk menyikapi kembali statement dari MCW, Indonesian Feminis yang juga tergabung dalam koalisi mengemukakan pendapatnya melalui akun instagram mereka. “Korban ada dua orang, pendamping terus bersama korban dan tahu persis kondisi mentalnya. Kalau ragu bayarin visum psikologis dong, wong kemarin-kemarin aja bilang kalau kasus ini kasus individu dan lembaga gak mau ikut campur. Mana pakai bilang kalau korban dan pelaku itu pacaran, emang kalau pacaran nggak bisa merkosa? Konsep marital rape itu mitos dong?” tulis Indonesia Feminis dalam instagram dengan jumlah followers 61.7K itu. Mereka menyayangkan sikap Badan Pekerja MCW yang dirasa tidak memiliki perspektif korban. Mereka mengecam sikap MCW yang layaknya lembaga macam kampus yang melindungi pelaku pelecehan seksual demi nama baik dan kredibilitas lembaga atau instansi.
Dalam kasus kekerasan seksual, perlindungan dan keamanan terhadap korban perlu ditegakkan. Perlu untuk dilakukan pendampingan secara medis ataupun psikologis kepada korban. Pengajuan pertanyaan yang menyudutkan korban dan berulang-ulang dapat menimbulkan dampak pengulangan traumatis pada korban. Tindakan dan kondisi tersebut hanya membuat korban semakin trauma, merasa tidak dipercaya, dan lelah yang pada akhirnya menempatkan korban dalam kondisi viktimisasi berulang.
Korban berhak memperoleh pendampingan, merumuskan kewajiban penegak hukum untuk menyediakan pendamping bagi korban dan merumuskan pemeriksaan hanya dilakukan oleh petugas terlatih yang dilakukan ketika korban telah memperoleh penguatan medis dan psikologis. Hal ini yang sudah dan tengah dilakukan oleh pihak pendamping, narahubung, maupun pihak yang berwenang dan terkait dengan koalisi dipihak korban.
Untuk ruang kolektif yang ‘aman’ bagi perempuan
Pernyataan sikap bersama yang beredar pada (26/12) dengan tajuk “Pecat, berikan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual dan bersihkan gerakan anti korupsi dari predator seksual” menuntut yang utama dan salah satunya adalah pemecatan terhadap pelaku. Pernyataan sikap yang disusun secara kolektif atas nama koalisi bersama dengan kurang lebih 109 lembaga ini menunjukkan solidaritas bagi para korban sekaligus aksi dalam memerangi predator seksual dalam tubuh gerakan sipil. Mereka semua bersepakat bahwa kekerasan seksual bukanlah tindakan yang sepele, apalagi jika hal tersebut terjadi di dalam organisasi atau lembaga yang fokus terhadap isu-isu rakyat dalam konteks kasus ini adalah LSM anti-rasuah.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar mencoba mencari keterkaitan makna antara kasus ini dengan pemecatan di dalam organisasi. Kami menelisik dan mencoba menghubungi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Meski pada awalnya tidak mempunyai bukti yang jelas karena mempertimbangkan kronologis antara korban dan pelaku, namun pada akhirnya memiliki titik temu. Dari hasil investigasi yang dilakukan LMND, terdapat dua kronologi yang berbeda (kronologi versi korban dan versi pelaku). Kala itu, LMND mendukung hak-hak penyintas lalu menentang kekerasan seksual dan menjunjung tinggi perjuangan pembebasan perempuan.
“Ada tamparan dan kekerasan,” ujar Bire, Ketua LMND Nasional. Bahkan menurut Bire, pelaku mengakui jika melakukan tindakan intimidasi. Baginya, jika sudah seperti itu maka LMND harus menindak tegas. Bire menambahkan jika kita harus membersihkan penyakit dalam diri atau organisasi kita. Bahwa gerakan progresif apapun itu harus menindak tegas, apabila masih ingin bersama-sama maka harus membangun gerakan itu bersama pula. “Tindakan tegas itu adalah sifat kesatria. Musti dipertanggungjawabkan!” tutup Bire.
Kami juga mencoba mencari benang merah lainnya di ruang kolektif perempuan. Bagaimana eskalasi pemecahan konflik dan apa yang harus dilakukan dalam lingkungan yang kapan saja bisa menormalisasi kekerasan seksual. Needle n Bitch, sebuah kolektif ‘berdaya pulih’ yang punya komitmen pada perjuangan perempuan memberikan sedikit pengalaman kepada kami. Mereka berpendapat bahwa seluruh masalah baik pelecehan atau tindakan intimidatif perempuan lainnya, selalu diselesaikan dengan konsensus atau resolusi konflik.
Konsensus artinya pemecahan masalah dilakukan atas persetujuan antara korban dan pelaku. Diantaranya ada yang mendampingi korban, karena korban punya sifat traumatik yang berbeda-beda. “Kekerasan punya eskalasi. Harus ditutup, kita melatih diri supaya mencegah itu tidak terjadi. Itu gak mudah untuk perempuan yang punya sejarah dan latar belakang yang berbeda,” ujar Mila, salah satu anggota Needle n Bitch.
Bagi Mila, kolektif perempuan yang ia bangun harus punya perspektif dan ruang aman. Mencoba selalu mengkomunikasikan batasan inidividu secara terbuka dengan sering mengkomunikasikan batasan-batasan (boundaries) itu. Contohnya adalah seksis dalam pembicaraan hingga tindakan fisik terhadap perempuan. Seringkali orang tidak memahami sampai mana batasannya dan bagaimana yang seharusnya.
“Kita memastikan jika mendapatkan hal seperti itu, pelaku harus menjalani konsekuensi atau pertanggungjawaban atas persetujuan penyintas. Bagaimanapun kita harus memprioritaskan kemauan penyintas,” tuturnya.
Suara Korban tidak Padam
Pada Jumat (27/12), Indonesia Feminis mengeluarkan statement. Hasil dari rapat koalisi pendukung korban karena kondisi korban yang tidak bisa dipaksakan. Dari hasil yang kami ketahui, teman-teman pendukung masih fokus pada restitusi dan pemulihan korban terlebih dahulu.
Sesaat itu pula korban menghubungi kawan kami melalui chat dengan nada perjuangan yang menolak tunduk. “Mari kita rayakan kemenangan ini,” ujar korban. Luka korban akan menjadi saksi sejarah dan catatan buruk pada siapapun.
Penulis : Ahmad Kevin Alfirdaus & Rizka Ayu Kartini
Penyunting : Mita