Gedoran pintu itu tidak kenal waktu. Tetap bertabuh sejak beberapa menit yang lalu, padahal kini telah memasuki pukul dua belas malam. Tidak akan berhenti sebelum sang pemilik rumah membukakan pintu. Akhirnya, perempuan di dalam rumah itu pun terjaga dari tidur tidak nyenyaknya. Ia tidak berniat tidur, namun apa daya, matanya menutup juga setelah sekian lama menunggu suaminya pulang.
Pintu ia buka. Sosok lelaki yang sangat ia kenal segera terlihat dengan muka yang gelisah. Perempuan pemilik rumah yang sedang mengandung itu segera memberondongnya dengan pelukan. Lelaki tersebut adalah kakak kandung si perempuan. Ia menenggelamkan muka adiknya ke dalam dadanya dan membisikkan penenang, “Ssst … semuanya baik-baik saja, kamu aman,” Ia meyakinkan bahwa tidak akan ada hal buruk. Namun sepertinya, usaha menenangkan itu lebih tepat untuk dirinya sendiri.
Satu bulan sebelum gedoran pintu bertubi-tubi di tengah malam itu, seorang lelaki sedang menikmati sarapan dengan lauk sederhana buatan istri. Itu adalah bekalnya untuk mengais rezeki seharian nanti. Ia percaya, rezeki itu diperjuangkan dan perlu kerja keras. Oleh karena itu, ia tidak suka tinggal diam. Dengan sepetak sawah warisan orang tua, ia menyambut rezeki yang diberi Tuhan kepadanya. Tidak muluk-muluk, ia panjatkan rasa syukur karena dari sawah itulah keluarga kecilnya mampu bertahan hidup.
Hari ini jadwalnya untuk melihat sawah yang sedang ditanam padi setelah dua bulan lalu panen jagung. Ia berangkat dengan motor tua dan wajah cerah penuh semangat. Namun semua orang tahu, ada sesuatu yang mengganjal pikiran si lelaki, begitu pun istrinya. Tentang sebuah desas-desus akan masa depan sawah miliknya. Tidak, tidak, ini menyangkut sawah yang juga milik saudara dan tetangga-tetangganya. Ia pandangi petak sawahnya sembari duduk diam di salah satu sudut, ditemani gemercik air dan semilir angin. Sejauh mata memandang, hanya sawah yang hinggap di pandangannya. Sawah miliknya, sawah saudaranya, sawah tetangga-tetangganya yang hijau, asri, dan segar. Ia paham betul, itulah sumber kebahagiaan mereka semua.
Lalu, ekor matanya menatap ke ujung sana, sebuah bangunan kokoh berdiri menjulang di antara kehijauan. Itu petak yang paling gelap dan kontras. Bangunan dengan menara tinggi, jembatan biru, gerbang besar, kerangka besi bertingkat … terlihat gagah sekaligus menyeramkan. Ia tahu itu bernama cerobong, sesuatu yang selalu mengeluarkan asap hitam sampai ke langit. Ia tatap bangunan itu lebih lama lagi, kemudian kata “perluasan” dan “jual-beli” tak henti bergema di pikirannya. Kata-kata itu menjelma momok yang bisa menewaskan hidupnya dan hidup warga desa.
Tujuh hari sebelum gedoran pintu bertubi-tubi di tengah malam itu, meja panjang di rumah itu dikelilingi oleh belasan laki-laki. Kudapan sederhana turut menemani muka mereka yang tampak serius. Mereka, para bapak-bapak di desa itu sedang merapatkan sesuatu. Sesuatu yang mereka harap bisa mengubah keadaan dan masa depan. Sesuatu yang mereka rancang dan himpun dengan berbagai relasi yang dipunya. Jangan minta diperjelas apa isi percakapan mereka, karena ini misi rahasia. Tolong jangan beri tahu siapa-siapa. Cukup doakan saja.
Pagi hari sebelum malam tragedi, lelaki itu sedang bersiap-siap. Perutnya sudah terisi oleh sepiring sarapan buatan istri. Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan. Kemudian, ia merangkul sebuah ransel, suatu hal yang sangat bukan dirinya. Dalam pekerjaannya sebagai petani, buat apa ransel? Maaf, tapi caping tempatnya bukan di ransel, apalagi cangkul. Namun hari ini adalah pengecualian, semua orang tahu, mereka tidak perlu kaget akan hal itu. Jangan tanya apa isi ransel itu, kalau tidak mau terkejut. Sekali lagi, cukup doakan saja.
Ia datangi istrinya yang sedang mengandung. Ia tatap wajah sang istri dengan bahagia. Ia tahu, banyak kekhawatiran bersemayam di sana. Namun, ia perlu meyakinkan istrinya dan juga dirinya sendiri, kalau semuanya akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu mendekat ke perut istrinya yang besar. Manusia mungil akan segera keluar dari sana dan menjadikannya seorang bapak. “Nak, tolong jaga Ibu hari ini, ya. Jangan dibuat susah. Bapak mau pergi dulu, ndak sendiri, kok, sama teman-teman yang lain. Kamu doakan Bapak ya, sayang.”
Setelah semua bawaan siap, pergilah sang calon bapak dari rumah menuju suatu tempat rahasia. Di sana sudah berkumpul beberapa orang seusia bahkan di atasnya. Mereka berkumpul untuk tujuan yang sama, menolak “perluasan” dan “jual-beli” yang sejak beberapa waktu terakhir menghantui mereka. Sambil berjalan kaki, mereka membawa asa dan massa. Gedung dengan fasilitas luar biasa yang berisi orang-orang yang berkuasa, menjadi tujuan mereka. Orang-orang yang berdasi, rapi, dan wangi, serta menjuluki diri sebagai wali; sebagai wakil yang sejatinya tak pernah mereka pilih.
“Tolonglah, Pak! Kami hanya ingin makan, kami ingin hidup bahagia dengan anak istri!”
“Biarkan kami, orang bawah ini, hidup tenang!”
“Jangan ada perluasan! Mau makan apa anak dan istriku?”
“Sampai mati tidak akan kujual lahanku!”
“Tolonglah, Pak! Hidup kalian, kan, sudah enak!”
Sang calon bapak tetap gigih menyuarakan keinginannya. Semua berjalan lancar, aksi dan teriakan terus menggema, sebelum di satu titik muncul keributan yang mengubah segalanya. Sang calon bapak menutup mata merasakan gempuran hebat di kepalanya. Ketika ia paksa mata itu untuk terbuka, samar-samar terlihat kawan-kawannya yang kliyengan. Ia menyerah, mata itu terlalu berat. Tubuhnya segera menghantam jalan.
“Ada yang melihatnya diseret seseorang, tapi tidak tahu siapa,” ujar salah satu kawan sang calon bapak yang juga ikut aksi.
“Keadaan benar-benar kacau. Kami tidak menyangka akan rusuh. Ada golongan yang sengaja menyulutnya, tapi kami tidak paham siapa,” lanjutnya.
Mendengar itu, bukan main gejolak hati sang istri. Ia segera membelai kandungannya. “Semoga Bapak baik-baik saja, ya, Nak,” bisiknya gemetaran.
Hari-hari berlalu, kepada Tuhan selalu ia panjatkan doa. Kepada orang-orang selalu ia minta kabar tentang suaminya. Sampai bulan berganti, sampai detik-detik kelahiran si buah hati, suaminya belum juga kembali. “Semoga Bapak baik-baik saja, ya, Nak. Kita rindu.”
PANJANG UMUR PERJUANGAN!
Penulis: Linda Khoirotun H.
Penyunting: Avif Nur Aida A.