[Cerpen] Berani Jujur, Pecat!

Sudah lama aku tak melihatnya di kantor. Petang itu, ia datang ke rumahku dengan kondisi yang tampak segar.

Berani Jujur Pecat
Gambar: Avif/Siar

Sudah lama aku tak melihatnya di kantor. Petang itu, ia datang ke rumahku dengan kondisi yang tampak segar. Aku tak bisa langsung menemaninya duduk karena harus salat magrib. Biasanya aku tidak salat magrib atau salat-salat yang lain. Petang itu, aku merasa harus salat … setidaknya untuk mengulur waktu. Aku belum siap berhadapan dengannya.

“Itu juga lukisan?” tanyanya memandangi Nothing karya Jackson Martin yang kupajang di dinding.

Aku tersenyum. “Memang apa lagi?”

“Kelihatan konyol,”

“Aku habis beberapa miliar buat yang itu,”

“Oh, maaf,”

Aku mengangguk. “Santai, nggak semua orang harus paham lukisan, kan?”

Dia tersenyum masam dan meminum kopi yang kusiapkan. Keningnya berkerut saat menyeruput kopi yang kemungkinan besar rasanya tak karuan itu. Kerutan di keningnya membuatku menyadari, dia mulai tua. Ia rekan kerja sekaligus sahabatku. Sudah 15 tahun kami bekerja menangkap tikus berdasi. Sebulan lalu, ia dinonaktifkan. Aku sendiri menyayangkan, penyidik hebat seperti dirinya dipaksa untuk tidak mengerjakan apa-apa. Itulah akibatnya karena ia terlalu bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya selama ini. Ia pasti masih bekerja, andai ia sepertiku—penyidik yang patuh pada Pimpinan dan hanya sesekali menangkap koruptor kecil untuk segera dilepaskan lagi.

“Kau … nggak mau ke kantor lagi?” tanyaku hati-hati.

Dia menggeleng. “Kalau ke sana pun, mau ngapain?”

“Apa saja, balas WhatsApp, email, ngopi, makan siang ….”

Dia tertawa. “Kemarin, gajiku masih turun seperti biasanya, dengan jumlah yang biasanya juga. Hah … padahal aku pengin dipecat saja,”

“Terus, istrimu?”

“Dia sependapat. Katanya, lebih baik dipecat daripada jadi penyidik jinak.”

Aku tertegun.

“Oh, maaf, aku nggak bermaksud menyinggung,” katanya.

Aku tersenyum. Ah, senyumku pasti kelihatan canggung. “Gimana kalau kau … mengundurkan diri?” saranku kemudian.

Nggak sesederhana itu. Status nonaktif ini … penghinaan buatku. Kalau aku mengundurkan diri, artinya mereka berhasil menyingkirkan aku, tanpa mengotori tangan mereka sedikit pun.”

Aku tertawa. Dia sangat lucu dan cerdik.

“Jadi, apa rencanamu?” tanyaku.

“Pertama-tama ….” dia memandang sekeliling, “mendapat hadiah perpisahan darimu. Lukisan juga boleh,”

“Hadiah perpisahan?”

“Ya. Kalau aku benar-benar dipecat nanti, kita nggak akan ketemu lagi,”

“Kau ini ngomong apa? Kita masih bisa saling mampir, seperti kau ke sini sekarang. Bikin janji di luar juga ayo,”

“Sayang sekali … kalau benar-benar dipecat, aku bakal pindah ke luar kota.”

“Kenapa?”

“Kota ini nggak aman buat anak-istriku,”

Nggak aman?”

“Kemarin anakku sempat hilang. Dia nggak ada waktu aku dan istriku datang ke sekolah buat menjemputnya. Kami panik. Kami bahkan ngamuk ke guru-gurunya. Waktu kami kembali ke rumah, anakku justru sudah duduk di beranda. Anakku bilang, ada orang yang menjemputnya dari sekolah. Orang itu mengaku sebagai temanku di kantor.”

“Anakmu mau dijemput orang lain? Kau nggak mengajarkannya soal begituan?”

“Sudah berkali-kali aku mengajarkannya. Mungkin masuk kuping kanan, keluar kuping kiri,”

Aku menghela napas.

“Kejadian itu … tamparan keras buatku. Aku tahu, aku lagi diperingatkan. Cih, mereka mengejekku pakai cara yang licik!” lanjutnya.

“Kau yakin itu ada hubungannya sama tempat kerja kita?”

Yah, kalau bukan, apalagi? Buat apa anakku diantar ke rumah, alih-alih diculik? Sudah jelas itu dalam rangka mengejekku. Di dunia ini, siapa lagi yang punya alasan buat melakukan itu?”

Aku mengangguk-angguk. “Jadi karena itu, kau mantap mau pindah ke luar kota?”

Dia terdiam agak lama. Hal itu benar-benar membuatku merasa canggung.

“Ya. Aku ke sini … mau memberitahumu. Tolong sampaikan ke mereka, pecat saja aku dan nggak perlu melakukan hal-hal konyol lagi.” katanya kemudian.

Aku mengernyit. “Mereka?”

“Pimpinan kita, dan semua komplotanmu di kantor.”

“Kau gila?”

“Aku tahu, kau sendiri yang merekomendasikan biar aku disingkirkan.”

Aku menelan ludah.

“Dan juga, anakku ingat persis ciri-ciri orang yang menjemputnya tempo hari. Itu kau.”

Sesudah menelanjangi kebusukanku, dia berdiri dan berjalan ke arah pintu. Namun, lukisan Nothing menghentikan langkahnya yang angkuh. “Penyidik biasa nggak akan mampu mengoleksi lukisan-lukisan mahal, kan?”

Sialan, aku menyesal memajang lukisan pemberian Pimpinan di sana.

Penyunting: Agilia An’amta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA