Setiap manusia diciptakan berbeda-beda. Mereka mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, bahkan bukan cuma manusia tapi semua makhluk hidup di dunia. Karena semua yang ada di dunia tidak pernah dan tidak akan pernah ada yang sempurna. Kalau menurut Najila hal itu namanya unik dan special. Sungguh, kata-kata yang dahulu selalu aku tertawakan dalam diam. Karena sungguh, sumpah demi Tuhan, pada awalnya aku merasa kasihan mendengar dia terus menerus mengatakan hal itu jika orang-orang mengejek kekurangannya. Aku selalu menganggap yang dia katakan itu adalah sebuah bentuk perlindungan diri dari kenyataan menyedihkan yang tidak mau dikasihani dan membuatnya seolah-olah sempurna. Padahal hati kecilnya merasa sakit, malu, dan kasihan pada dirinya sendiri.
Aku ingat sekali awal pertemuanku dengan dia, Najira. Perempuan berkulit kuning langsat, bibir yang terlihat selalu melengkung ke atas, rambut berkepang satu rapi, dan seragam rok biru tua umbrella yang panjang semata kaki. Dia terlihat mencolok bukan karena rok panjangnya di antara rok-rok selutut dan rambut-rambut terurai atau dikuncir kuda, tapi karena tongkat yang menjadi satu kesatuan dari dirinya. Sebuah tongkat yang tidak pernah terlepas dari genggaman tangannya ketika berjalan.
Di hari pertama dia masuk, sudah pasti dia menjadi perbincangan semua orang karena untuk pertama kalinya ada siswa dengan gangguan penglihatan di sekolah. Mereka tidak membicarakannya secara terang-terangan, tapi semua orang melihatnya dengan tatapan yang beragam. Ada tatapan aneh, kasihan, ataupun merasa jijik. Seolah-olah dia orang menjijikan dan tidak seharusnya berada ditempat ini, karena ini bukan tempat untuknya. Aku hafal sekali dengan tatapan seperti itu. Tatapan yang pasti akan menyakiti hatimu. Entah aku jahat atau tidak, tapi saat itu aku merasa dia beruntung karena tidak bisa melihat tatapan menyakitkan yang dilayangkan orang-orang kepadanya. Dia hanya perlu berjalan dengan benar tanpa perlu khawatir dengan intaian mata yang menghunus punggungnya. Karena dia tidak bisa melihat tatapan menyakitkan itu dilayangkan oleh orang-orang kepadanya.
Mungkin penderitaan Najira semakin lengkap saat dia ternyata harus duduk disebelahku karena tentu saja tidak ada yang ingin duduk dengannya. Mungkin karena takut direpotkan atau entah apalah itu. Dan mungkin hanya kursi disampingku yang tersedia untuknya. Anak-anak di kelas semakin jelas menatap kami dengan tatapan yang sungguh tidak pernah ingin kamu lihat dari orang lain.
Hari itu, Najira mengulurkan tangannya kepadaku meski tangannya tidak sama sekali mengarah kepadaku. Tapi aku tahu dia bermaksud ingin berkenalan denganku.
“Namaku Najira. Kamu?” tanyanya sambil tersenyum lebar dan ramah.
Aku melirik sekitar, dan orang-orang menatap kami dengan tatapan itu. Tanpa menjabat tangannya aku menjawabnya pelan, “Andaka.”
Senyumnya memudar, aku tahu apa yang dipikirkannya. Aku terlalu jahat, namun perhatian semua orang yang tertuju padaku dan Najira membuatku tidak bisa berpikir mana yang baik dan benar, ataupun mana yang sopan dan tidak. Jujur saja aku merasa malu. Tatapan mereka seperti sedang menelanjangiku.
Setelah hari perkenalan itu aku kira dia tidak akan pernah berbicara lagi padaku karena responku kemarin sungguh tidak sopan. Tapi dia malah tersenyum lebar dan menyapaku lagi. Aku hanya mengangguk, yang sungguh itu adalah respon yang bodoh. Namun di hari itu ada hal yang mencuri perhatianku. Dia membawa setumpuk buku braille. Aku tahu itu apa, tapi sangat penasaran saat melihat dia mulai meraba-raba buku itu. Hingga tidak sadar aku bergumam, “Apa yang dia baca?”.
“Lirik lagu,” jawabnya.
Memang benar, bahwa orang dengan kekurangan, indra lainnya akan bekerja lebih optimal. Padahal aku bergumam pelan dan tidak ada niat sekalipun bertanya. Tapi dia bisa mendengar sampai akhirnya menjawabnya.
Tapi karena sudah telanjur, aku kembali bertanya, “Apakah membaca tulisan braille itu susah?”
Dia tersenyum lebar, “Ya, apapun itu pasti awalnya susah. Tapi jika terus dilatih jadi terasa mudah.”
Mendengar itu aku hanya mengangguk, yang kembali lagi harus aku katakan itu adalah respon yang bodoh. Sangat bodoh.
“Sini tanganmu,” ujarnya setelah beberapa detik lalu aku mengangguk. Tapi sebelum aku menolak dia sudah bisa menarik tanganku ke arahnya.
Dia meletakkan jari-jari tanganku pada buku yang tadi sedang dia baca. Ini pertama kalinya aku memegang buku braille dan merasakannya. Hal pertama yang kurasakan adalah tekstur bulatan kecil dari kertas yang timbul.
“Satu titik diatas itu huruf,” katanya.
Aku langsung mencoba melihat maksud titik yang dia maksud.
“Ini huruf B.” Katanya lagi setelah sebelumnya meraba buku.
Aku melihat dan memperhatikan yang dia bilang huruf B. Terlihat dua bulatan timbul vertikal.
Sejak saat itu aku mulai agak dekat dengan Najira. Najira selalu menjelaskan apa pun yang sepertinya membuatku penasaran tentangnya, yang anehnya tanpa aku utarakan dia seolah tahu apa yang aku pikirkan lalu menjelaskannya. Seperti keherananku saat dia memainkan gadget, bagaimana dia mengerjakan tugas lewat laptop, ataupun dengan buku paket sekolah yang hanya menyediakan untuk siswa normal berupa tulisan tinta. Namun tanpa ada beban, dia menjelaskan bahwa di setiap handphone ada setting aksesibilitas. Dia hanya tinggal mengaktifkannya lalu menggeser-gesernya dan nanti handphone akan bersuara sesuai dengan tampilan yang muncul, begitupun dengan laptop dan nantinya setiap tombol akan memunculkan suara ketika ditekan. Dan masalah buku dia hanya pakai screen reader dan aplikasi semacamnya yang bisa membuat mengubah tulisan menjadi suara. Sekarang ini sudah banyak aplikasi-aplikasi yang mempermudah dirinya. Najira juga mengatakan meskipun dia buta total, dia masih bisa merasakan cahaya, hal yang membuatku merasakan sebuah gejolak aneh.
Sungguh aku sangat ingin mengatakan ini. Saat kau melihat Najira, tidak sedikit pun tersirat rasa malu pada dirinya. Aku sampai heran kepadanya. Dia seperti orang normal yang menjalani hidup tanpa beban. Sangat bersyukur dan mungkin sedikit mengeluh. Meski jujur saja aku belum pernah melihat dia mengeluh. Karena yang setiap hari aku lihat adalah senyum dan senyum yang tidak pernah luntur.
Hingga pada suatu hari aku berani membuka diri padanya. Aku kira dia akan menjauh karena perpaduan orang-orang seperti kita sungguh akan menjadi kombinasi yang menyedihkan dan mungkin saja menjadi bahan olokan orang-orang. Tapi dia malah berkata, “Aku tahu, kok. Kamu tidak perlu rendah diri. Memangnya kenapa?”
Najira tidak bisa melihat sejak lahir. Jadi dia mungkin tidak bisa merasakan kerinduan pada apa yang dulu pernah kamu rasakan tapi terenggut perlahan-lahan. Mungkin sekilas aku masih mengingat caranya berjalan, merasakan telapak kaki menyentuh tanah dan rerumputan. Hingga orang tuaku sadar akan keanehan pada pergerakanku. Karena meski aku saat kecil bisa berjalan, tapi cara berjalanku berbeda dengan anak lain. Cara berjalan ku sedikit berjinjit, aku sering terjatuh, sangat kesulitan naik tangga, sulit bangkit dari duduk hingga akhirnya dokter menyimpulkan aku punya penyakit yang serius padahal umurku masih 7 tahun. Dan saat akhirnya aku benar-benar tidak bisa menggerakan kakiku dan diam di kursi roda, aku menangis sangat keras dan memeluk album foto yang dimana isinya penuh dengan fotoku yang kakinya masih menapak di tanah. Saat itu kamu merasa terasingkan di lingkungan dan merasa menjadi anggota keluarga paling merepotkan karena hanya dirimu yang tidak normal. Kamu tidak mempunyai teman, adikmu malu denganmu, bahkan setiap malam kamu melihat ibumu menangis dalam diam sembari dipeluk ayah karena merasa bersalah sudah menurunkan penyakit itu padamu atau mungkin karena malu punya anak sepertimu.
“Aku memang tidak tahu rasanya menderita Muscular Drystrophy,” ujarnya setelah aku meluapkan semua perasaan yang aku pendam selama ini.
Sungguh ini merupakan penyakit yang mengerikan. Penyakit ini adalah kelainan genetik atau mutasi pada kromosom X atau perubahan pada gen yang bertugas mengatur fungsi dan mengatur struktur otot. Dan kebanyakan penyakit ini diturunkan oleh ibu kepada anak lelakinya. Karena kromosom lelaki terdiri dari satu X dan Y. Yang dimana jika satu X bermutasi, tidak ada X lain yang masih normal. Tidak seperti perempuan yang terdiri dari dua X, yang jika satunya bermutasi, dirinya masih punya satu X lagi. Penyakit ini akhirnya menyebabkan otot melemah hingga akhirnya kehilangan fungsinya. Dan akhirnya membuatmu duduk di kursi roda karena tidak mampu menggerakan otot kakimu untuk berjalan. Kenapa harus aku? Itulah yang selalu jadi pertanyaan terbesar dalam hidupku.
Najira terdiam untuk sesaat saat mendengar penjelasanku hingga cuma suara angin yang mengisi indra pendengaran kami. Rasanya melegakan meluapkan semua hal yang berkecamuk di kepala kepada seseorang, tapi di sisi lain hatiku merasakan perih dan sakit akan ketidakadilan ini.
“Aku dulu juga selalu bertanya kenapa aku buta? Bagaimana wajah keluargaku? Bagaimana bentuk bunga mawar yang katanya sangat indah. Ataupun bagaimana indahnya bintang yang bertaburan di langit. Bahkan aku berpikir bagaimana menjijikannya sampah yang semakin hari memenuhi bumi?”
Aku hanya diam mendengarkan suara Najira yang tidak terdengar bergetar sama sekali.
“Tapi aku sadar, aku tidak bisa terus menerus memikirkan semua itu. Jujur, aku juga tidak tahu cara menyemangatimu. Tapi bukankah semua ini harus kita terima dengan lapang dada? Atau setidaknya kita coba untuk belajar menerima?” lanjutnya.
“Bukankah itu percuma. Semua orang akan menganggap kita berbeda, cacat, aneh, atau malah kasihan. Padahal aku tidak ingin dikasihani,” balasku.
“Kita special,” ujarnya mantap. “Jika tidak ingin dikasihani kita harus bisa mandiri, jangan selalu murung atau tidak menerima. Hal seperti itu bukankah semakin membuat kita terlihat semakin menyedihkan? Tuhan pasti mempunyai alasan dibalik semua ini. Percaya saja.”
Setelah pengungkapan itu dan jawaban Najira, aku mulai berpikir untuk menerima dan bangga pada diriku sendiri. Aku malah berpikir betapa hebatnya Najira. Mungkin aku masih bisa merasakan bagaimana itu berjalan dan kaki menyentuh tanah sebelum semuanya terenggut. Namun Najira, dia tidak bisa merasakan bagaimana takjub melihat matahari terbit dan tenggelam, ombak yang menggulung, ataupun kembang api di malam tahun baru. Tapi lihatlah, dia masih tersenyum lebar seolah tidak terjadi apa-apa. Malah dia pernah berkata kalau dia senang sekali bisa bersekolah di sekolah reguler, padahal aku dan dia tahu lingkungan di sini tidak ramah untuk kita. Karena semuanya hanya melihat kita dengan tatapan berbeda yang aneh, dan kasihan yang sungguh membuat kami tersinggung dan merasa tidak nyaman. Karena pada nyatanya, kami ingin dilihat sama. Kami ingin dikenal dari kelebihannya bukan cuma dari kekurangannya.
Seingatku tidak pernah ada anak sekolah yang mengenal Najira sebagai pianis andal, ataupun tidak pernah ada yang tahu bahwa aku bisa melukis. Semuanya tahu Najira si buta dengan tongkatnya, dan Andaka si lumpuh dengan kursi rodanya.
Seperti kata Najira, meskipun pandangannya hampa dan sangat gelap, tak ada apa pun yang bisa dia lihat. Tapi di pikirannya berkeliaran berbagai imajinasi, gambar-gambar yang dia coba bayangkan, ataupun not-not piano yang berjajar. Begitupun aku yang meskipun kakiku tidak bisa berjalan, berlari, ataupun bersepeda, tapi kakiku secara tak kasat mata terus melangkah bersama harapan. Bersama berjuta doa dan berjuta harap.
Karena seperti kata Najira, bahwa kita ini spesial. Maka buktikan apa kelebihanmu. Apakah kamu si penari, si penulis, si pelukis, si penyair ataupun si pekerja keras. Tunjukkanlah, jangan ragu dan malu. Untuk siapa pun itu.
Dan untuk Najira, terimakasih sudah bisa membuatku bangkit dan sadar bahwa tidak ada yang perlu membuatku rendah diri, karena manusia mempunyai takdirnya masing-masing, mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada yang sempurna. Jika kamu mempunyai kelemahan maka tunjukkanlah kelebihanmu. Jika belum menemukan kelebihanmu, maka cari dan temukanlah. Karena pasti ada satu hal yang akan membuatmu sangat bersinar.
Meskipun banyak yang berkata aku hanya bisa bertahan sampai umur 20an, tapi aku akan tetap bersemangat sepertimu. Anggap saja hidupku masih panjang, meski kemungkinan cuma beberapa detik lagi. Tapi justru itu alasan yang tepat untuk membuat hidupmu bermakna. Karena semakin kamu tahu bahwa dirimu mempunyai sedikit waktu, bukankah itu akan membuatmu menghargai setiap detik yang kamu jalani?
Sungguh pengalaman terindah dan paling berharga bisa bersama denganmu di masa remaja. Semoga jiwamu bahagia selalu. Tenang untuk selamanya.
Terimakasih, Najira. Dan sampai juga lagi.
Penulis : Tian Martiani
Editor : Afifah Fitri W.