Perempuan-Perempuan Perkasa Waduk Sakti Sepat

“Waduk itu kehidupan kami, nyawa sekaligus nafas tubuh kami, urat nadi dan kebahagiaan anak- anak kami. Kami rindu

“Waduk itu kehidupan kami, nyawa sekaligus nafas tubuh kami, urat nadi dan kebahagiaan anak- anak kami. Kami rindu berkecipak di tepi waduk. Bercanda tawa sembari menangkap ratusan belut.” Itulah yang diucapkan Ibu Mulyani, salah seorang pejuang lingkungan Dusun Sepat dengan tatapan penuh harap. Sesekali perempuan paruhbaya ini menyeka air matanya yang menetes mengaliri pipinya yang belum terlihat keriput walaupun sudah berusia hampir lima puluh tahunan.

Pada 30 Juli 2017, saya dan beberapa kawan berniat menuju sebuah waduk di Kota Surabaya. Waduk Sakti Sepat namanya. Berlokasi tepat di Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakasantri, Surabaya. Mengandalkan aplikasi penunjuk jalan di ponsel, kami melaju menggunakan motor. Sebelum sampai di waduk, kami berempat disuguhi deretan kawasan perumahan elit. Dalam hati, saya bergumam bahwa kawasan perumahan itu seperti pecahan Singapura yang terdampar di Surabaya. Ya, memang kawasan itu disebut-sebut sebagai The Singapore of Surabaya.

Aplikasi penunjuk jalan di ponsel kami menunjukkan bahwa seharusnya kami sudah tiba di lokasi. Akan tetapi, sungguh naas kami tak bisa melihat Waduk Sepat dengan leluasa. Waduk yang luasnya hampir tujuh Hektar itu dibentengi dengan pagar beton yang mengitari waduk dengan gagahnya.

“Boleh liat-liat mbak, asal jangan ambil gambar ya,” tutur salah seorang penjaga keamanan yang tengah berjaga di pintu masuk Waduk Sakti Sepat. Di sana, terlihat para pekerja yang sedang sibuk-sibuknya mengoperasikan buldoser. Saya sendiri sebenarnya heran apa yang mereka kerjakan di dalam sana. Saya bertanya-tanya, apakah buldoser-buldoser itu sedang menguruk waduk? Ah entahlah

Tanpa berpikir panjang, kami bergegas berputar arah menuju ke kampung Sepat. Lima belas menit kemudian sampailah kami di sebuah perkampungan dan disambut dengan senyum ramah warganya. Benar-benar di luar perkiraan. Mereka semua, para warga Kampung Sepat begitu terlihat bahagia. Wajah mereka tampak berseri bak kedatangan malaikat penolong yang mungkin akan sedikit mengentas kegundahan mereka.

“Beginilah nasib rakyat kecil, sudah jelas kami berada di pihak yang benar tapi nyatanya tetap saja kami harus menanggung akibatnya. Seolah-olah warga kampung Sepat yang salah,” tutur Bu Mul membuka percakapan.

Sembari bercerita, kami kemudian diajak mengintip waduk lewat celah kecil di antara beton-beton yang membentang hingga ujung waduk. Serasa hati begitu tersayat ketika membayangkan urat nadi kehidupan warga Kampung Sepat dijagal begitu bengis oleh kaum borjuis. Kami semua hanya bisa geleng-geleng kepala seraya menyaksikan bangunan- bangunan yang berdiri begitu megahnya di balik tembok derita yang dirasakan kaum tertindas Sepat.

Silang sengkarut ini dimulai pada 2008. Bermula dari putusan Pemerintah Kota Surabaya yang melakukan tukar guling dengan PT. Ciputra Surya selaku pengembang yang akan membangun perumahan elit di atas waduk tersebut. “Sungguh tanah ini memang benar- benar hak kami. Para leluhur kami dulu bekerja keras membuat waduk ini. Lha kok bisa-bisanya sekarang mau dilenyapkan oleh orang asing,” cerita wanita dengan senyum bersahaja itu menjawab keheranan saya.

Bertahun- tahun lamanya warga Sepat tak pernah mengenal kata lelah dan menyerah dalam mempertahankan tanah leluhur nenek moyang mereka. Beberapa kali bahkan mereka harus bentrok dengan aparat pemerintahan. Tak ayal, kejadian tersebut bahkan pernah memakan korban.

Ibu Mulyani melanjutkan ceritanya. Pada Desember 2011, terjadi bentrok antara warga dengan aparat dan preman- preman yang diduga berasal dari utusan pihak Citraland. Para perempuan perkasa Kampung Sepat berada di garda terdepan. Mereka adalah pejuang lingkungan. Darah mereka seakan mendidih tatkala secuil tanah yang merupakan urat nadi kehidupan mereka diprivatisasi oleh penguasa.

Suatu pagi, tiba-tiba Citraland melakukan pemagaran di waduk. Ratusan aparat kepolisian menghadang. “Allahu Akbar,” terdengar riuh suara takbir mengiringi ketegangan. Warga bersikukuh mempertahankan Waduk Sepat, sebuah ruang publik yang seperti diungkapkan Bu Mulyani memiliki nilai filosofi yang mendalam.

Aksi saling dorong tak dapat ditepis lagi. Perempuan-perempuan perkasa tadi menjerit sakit. Bukan sakit fisik yang mereka rasakan,melainkan kepedihan yang amat sangat hingga menggores kelambutan hati mereka.

“Ibu hamil terkapar tak sadarkan diri, seorang pria pingsan akibat adu fisik dengan para antek Citraland, dan masih banyak lagi,” kenang Bu Mul menceritakan kisah pedih yang mereka alami kepada kami.

Kucuran peluh hingga tetesan darah telah mereka korbankan demi menyelamatkan mata air kehidupan mereka. Betapa tak sampai hati para pemilik modal bahkan pemerintah daerah itu, ketika dengan semena-mena menggunakan kekuasaan untuk merebut tanah rakyat cilik.

Bukan hanya perkara kepentingan ekonomi yang akan terganggu, nilai-nilai sejarah, sosial budaya, ekologi, hingga nilai sakralitas akan terusik jika Waduk Sakti Sepat benar-benar dilenyapkan. Pasalnya, warga Kampung Sepat memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam merawat sumber air mereka.

“Kami sangat khawatir apabila waduk diuruk, nanti airnya akan menggenangi kampung kami,” keluh Bu Mul. Posisi waduk memang lebih tinggi dari perkampungan warga. Warga juga mengeluhkan saat musim hujan, terkadang mereka mencium aroma busuk yang menyeruak dari sekitar waduk karena saat ini waduk menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga dari perumahan elit Citraland.

Saat ini, Warga Sepat hanya bisa mengadu kepada Sang Pencipta. Gema takbir selalu mereka kumandangkan di balik beton. Rintihan doa selalu mereka panjatkan rutin tiap senin dan kamis di sekitar waduk demi keselamatan lingkungan mereka. Mau bagaimana lagi, mereka kini tak bisa dengan leluasa beribadah di musala waduk karena terhalang bentangan beton itu.

Dari perbincangan dengan Bu Mulyani itulah kami akhirnya memahami akar permasalahan tentang konflik yang terjadi di Waduk Sakti Sepat. Ketika pemerintah tak melibatkan warganya dalam meutuskan suatu perkara, maka pasti akan terjadi sengketa. Tak sepatutnya pemerintah begitu saja menyerahkan Waduk Sakti Sepat ke pemilik modal. Sudah pasti keberlangsungan ekologi akan terganggu. Permintaan warga tak muluk-muluk, mereka hanya ingin lingkungan hidupnya tetap lestari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA