Bakti Si Anak Malam

Suaka menghitam di langit kota, sementara ribuan cahaya menyala di bawahnya. Ada yang sudah lelah pulang lemah bernapas

Ilustrasi : Jalal
Dokumentasi/LPM Siar

Suaka menghitam di langit kota, sementara ribuan cahaya menyala di bawahnya. Ada yang sudah lelah pulang lemah bernapas lega, ada juga yang baru melek segar gembira memesan minuman soda. Tua, muda, segala usia, setiap kepala punya cerita dalam hingar akhir pekan.

Di antara semuanya, Sona kecil senang melihat ular jinak di alun-alun kota. Di sampingnya ada anak-anak sebaya, hanya saja baju mereka kelihatan lebih rapi sembari didampingi orang tua. Berbeda dengan Sona yang datang sendiri dengan lusinan bungkus keripik pisang diasongnya. Sejenak dia lupakan tugas jualan, hanya ingin asyik bermain bersama ular.

~~~

Dalam remang sudut alun-alun yang sepi, Wawan memilih untuk menyendiri. Ia merasa lelah hari ini, selepas konsultasi penelitian untuk tugas akhir. Cukup baginya secangkir kopi hitam panas dan beberapa batang rokok untuk relaksasi, memanjakan diri di sudut ruang alun-alun. Hanya saja keramaian kota masih terdengar sumbang di telinga. Wawan langsung mengambil earphone, memasangnya, lalu menyetel lagu favoritnya. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Lagu terus melantun hingga pada bait yang amat berkesan baginya.

“Hallo, Bandoeng.”

Ja moeder, hier ben ik ….”

Panggilan dari wanita tua kepada putranya di seberang dunia terjawab setelah puluhan tahun tak bersua.

Wawan selalu merenung ketika mendengar lagu Hallo Bandoeng. Gambaran haru seorang wanita tua Belanda di akhir hayatnya menabung mati-matian untuk menghubungi putranya di Bandung. Ia berhasil mendengar suara sang putra setelah sekian tahun, bahkan mendengar suara si cucu bungsu untuk pertama kalinya, hingga salam sayang cucu bungsu menjadi suara terakhir yang ia dengar di dunia. 

Yang menjadi pikiran Wawan adalah perasaan sang putra sepeninggal ibunya. Apakah ia merasa gagal karena tidak berada di samping ibu ketika menghembuskan napas terakhirnya? Apakah ia merasa gagal karena tidak mampu mempertemukan keluarga barunya kepada sang ibu? Apakah ia merasa gagal membahagiakan sang ibu? Bagaimana pun dia tahu bahwa ibu telah menabung mati-matian selama sebulan hanya untuk menghubunginya. Pikiran liar Wawan ke mana-mana hingga mempertanyakan apa sejatinya bakti anak kepada orang tua, ia belum mengerti. 

Sona datang menepuk lutut Wawan hingga terbangun dari lamunan, mendapati seorang anak kecil tak dikenal duduk di sampingnya.

“Hei, cak, bangun! Jangan tidur di sini! Mana sambil melek lagi.” Sona menepuk sambil meledek.

Wawan sedikit merasa kesal, hal yang tadi ia pikiran sudah setengah hilang. Ia mengambil napas besar, mendongakkan kepala sembari memutar mata ke samping lalu menoleh ke Sona.

“Mau apa, Cil? Kenal juga nggak!” ucapnya agak membentak.

“Mau beli keripik pisang, cak? Lumayan buat camilan, daripada ngelamun terus nanti kesurupan.” 

Wawan mencoba mengamati bocah ini. Celana pendek pramuka SD, kaos hitam pudar agak kedodoran, serta tas pinggang menempel di bahu, setidaknya Wawan sedikit tahu bocah seperti apa yang sedang dia hadapi. Dengan perasaan kesal bercampur iba, ia bertanya harganya. 

“Seribu-an,” jawab Sona.

“Ya sudah, beli tiga!”

“Cuma tiga? Oke.” 

Dengan sigap, Sona mengambil tiga bungkus keripik pisang. Wawan semakin kesal setelah diledek sekali lagi, kemudian merogoh selembar uang sekitar lima ribu rupiah dari kantong celananya. 

“Nggak ada uang pas? Aku nggak ada kembalian soalnya. Apa mau keripik aja?”

Tidak mau ambil pusing, Wawan mengiyakan. Sambil tersenyum sumringah Sona mengambil dua bungkus lagi.

“Nih, cak! Dua lagi. Pas ya? Terima kasih.” Dengan perasaan puas Sona bergegas beranjak.

“Eh, mau kemana, Cil? Sini dulu napa, nggak usah buru-buru!”

Seorang anak kecil berjualan keripik pisang malam-malam, ini bukanlah hal yang biasa bagi Wawan. Apakah hal seperti ini sudah biasa terjadi di sini? Entahlah, Wawan sendiri tidak terlalu suka dan jarang ke alun-alun.

“Aku Wawan. Kamu?”

“Sona.”

“Sering jualan di sini, son?”

Wawan mulai menanyakan apa yang dilakukan Sona, apa alasannya, seberapa sering dia berjualan, di mana saja, dan pertanyaan-pertanyaan serupa. 

Kini Wawan tahu bahwa Sona berjualan karena disuruh ibunya. Bukan hanya akhir pekan, Sona berjualan keripik pisang hampir tiap malam dengan jatah harian yang harus habis setiap malam. Sona bukan satu-satunya anak yang mengalami hal ini, tapi ada beberapa temannya yang punya nasib serupa.

“Tapi kamu sekolah, kan?” tanya Wawan setelah melihat celana pramuka Sona. 

“Iya.”

“Kelas berapa? Makan, nih!” Wawan memberikan sebungkus keripik pisang yang dia beli barusan.

Tanpa menjawab, Sona menunjukkan telapak tangan kirinya, empat jari terbuka hanya jempol yang ditekuk. Tangan kanannya mengambil keripik yang Wawan tawarkan. 

“Kalau jualan terus kapan belajarnya?”

“Kan udah di sekolah.”

“Kalau ada PR gimana?”

“Kan ada Hardi.”

Tanpa diberitahu, Wawan sudah paham perihal posisi Hardi. Ia mungkin tipe anak pintar pendiam yang sering mendapat paksaan untuk memberi contekan atau bahkan di-bully. Melihat perangai Sona, Wawan semakin yakin.

“Jangan suka bully orang, ya!”

“Aman.” Sona menjawab malas dengan mulut yang masih mengunyah keripik. 

Dalam hati Wawan merasa iba karena melihat anak kecil yang tidak mendapat haknya sebagai seorang anak secara penuh. Ia khawatir dengan masa depan Sona jika tidak mendapat pendidikan moral yang memadai dari orang tua dan justru menyuruhnya untuk bekerja. Ibu macam apa yang bisa berbuat seperti ini? Dalam sesaat, pertanyaan itu berubah. Kondisi macam apa yang memaksa seorang ibu berbuat seperti ini? 

Wawan terdiam, dia merasa tidak pantas menanyakan kondisi keluarga Sona. Saat ini, dia sedang berhadapan dengan anak kelas 4 SD. Seketika Wawan mengingat lagu yang baru saja ia dengar. 

“Sona sayang ibu?”

Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Wawan. Mendengar hal itu, Sona langsung beranjak pergi begitu saja tanpa berkata apapun. Wawan baru sadar, pertanyaan semacam itu memang terdengar memalukan bagi anak seusia Sona. Dengan sedikit merasa bodoh, dia menertawakan diri sendiri. 

Dia menarik napas besar dan menghembuskannya, urusan orang lain bukanlah hal yang patut ia pikirkan. Dilihatnya langit malam yang kusam tanpa bintang, dengan perasaan merendah dia keluhkan apa yang barusan terjadi entah kepada siapa. Yang jelas, kini Wawan kembali menikmati malamnya.

~~~

Sona beranjak dari tempat yang membuatnya bosan sambil menggenggam selembar uang 50.000-an rupiah yang diambil dari tas Wawan. Ia mau pergi sebelum ketahuan, tapi masih ada waktu dua jam sebelum waktunya pulang. Mungkin sudah saatnya bagi Sona berjualan keliling pinggir jalan. Dia juga kepikiran, sudah lama dia pengen punya mainan.

Penulis : Muh. Ali Faqih / Siar

Editor : Tarisa Della

Baca Juga : Pandangan Hampa dan Langkah Harapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

CAPTCHA